Friday, March 9, 2012

“KEBUN SAWIT BANGKRUT, SEORANG IBU BAKAR DIRI”.

Mar 8, '12 8:42 AM
for everyone

“KEBUN SAWIT BANGKRUT, SEORANG IBU BAKAR DIRI”.

Demikian judul berita harian Kompas, 13 November 2008. Keluarga Mashudi sempat menikmati manisnya kehidupan berkat penghasilan milyaran rupiah per tahun dari 130 hektare kebun sawit miliknya. Ketika harga buah sawit terjun bebas dari Rp.1500 menjadi hanya Rp.500 per kg, keluarga ini kontan tidak mempunyai penghasilan sama sekali. Ongkos produksi sudah lebih tinggi dari harga jual. Isteri Mashudi putus asa lalu bunuh diri.

Hancurnya harga minyak sawit, malapetaka bagi bangsa Indonesia.

Lebih dari 2 juta keluarga menggantungkan hidupnya pada kebun kelapa sawit miliknya. Harga minyak sawit yang melambung 2 tahun terakhir telah membuat kehidupan petani sawit sangat sejahtera.

2 juta keluarga lainnya mendapat nafkah bekerja di perusahaan perkebunan besar. Mereka turut menikmati berkah meningkatnya harga minyak sawit berupa bonus akhir tahun dan berbagai fasilitas kesejahteraan yang lebih baik.

Kemudian, masih ada jutaan keluarga yang mendapat penghasilan dari berbagai kegiatan penunjang usaha perkebunan kelapa sawit, yang bekerja di berbagai industri hilir, di sektor distribusi dan perdagangan terkait minyak kelapa sawit.

Ringkasnya, industri minyak sawit adalah sumber kehidupan bagi puluhan juta jiwa rakyat Indonesia.

Di sisi lain, negara menerima pemasukan puluhan trilyun rupiah dari pungutan ekspor minyak sawit dan berbagai pajak yang dipungut dari sektor perkebunan kelapa sawit serta industri hilirnya.

Merosotnya harga minyak sawit di pasar dunia telah memiskinkan jutaan keluarga Indonesia. Harga yang tidak lagi cukup untuk menutupi biaya produksi telah mengakibatkan kerugian (negative income) bagi petani kelapa sawit maupun perkebunan besar. Dikuatirkan industri perbankanpun akan terkena dampaknya. Petani dan perkebunan besar tidak mampu lagi memenuhi kewajibannya membayar bunga pinjaman, apalagi cicilan pokok.

Sadar atau tidak, seluruh rakyat Indonesiapun terkena dampaknya karena negara kehilangan penerimaan puluhan trilyun rupiah untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum.

Perkebunan kelapa sawit dan industri hilirnya sangatlah vital bagi kehidupan bangsa Indonesia. Penurunan harga CPO adalah malapetaka bagi jutaan rakyat Indonesia.

Minyak Sawit sahabat rakyat Indonesia, dimusuhi LSM Barat.

Minyak sawit yang tidak dapat tumbuh di belahan bumi Utara adalah momok yang menakutkan bagi minyak kedelai dan minyak sayur lainnya yang menjadi produk andalan petani Eropa dan Amerika. Banyak alasan mengapa minyak sawit lebih layak menggantikan minyak kedelai.

a. Tanaman kedelai sangat tidak bersahabat dengan lingkungan karena membutuhkan lahan 10 kali luasan yang dibutuhkan kelapa sawit untuk memproduksi jumlah minyak yang sama.

b. Daya serap karbonnya sangat rendah, jauh dibawah kelapa sawit yang daya serap karbonnya setara dengan hutan sekunder.

c. Tanah untuk pertanian kedelai, yang adalah tanaman musiman, berulang ulang harus diolah setiap tahunnya yang mengakibatkan pencemaran terlepasnya karbon dioksida dari tanah ke atmosfir sementara kelapa sawit baru ditanam ulang setiap 25 tahun.

d. Biaya produksi minyak sawit yang lebih rendah mengakibatkan minyak kedelai tidak mampu bersaing.

e. Kandungan Trans Fatty Acid (TFA) yang berbahaya bagi kesehatan yang ditemukan di minyak kedelai telah mendorong konsumen beralih ke minyak sawit yang bebas TFA.

Tidak dapat dihindari, dominasi minyak kedelai akhirnya tergeser oleh minyak sawit. Pada tahun 2004 penjualan minyak sawit melampaui volume minyak kedelai.

Akibatnya, tekanan terhadap minyak sawit Indonesia semakin gencar dan keras dilakukan oleh LSM Barat. Kampanye anti sawit dengan jargon cinta orang utan, penyelamatan paru paru dunia, pemanasan global dan perubahan iklim menjadi isu strategis untuk menghambat minyak sawit di pasar dunia. Kekuatan finansil di belakang LSM Eropa berhasil membentuk opini bahwa minyak sawit adalah musuh lingkungan dan karena itu dilarang untuk digunakan sebagai bahan bakar nabati (biofuel), bahkan harus dilarang masuk ke pasar Eropa.

Tak pelak lagi, harga CPO anjlok jauh dibawah harga minyak kedelai, mengakibatkan penderitaan bagi jutaan petani sawit dan keluarganya, serta tewasnya Nurjani isteri Mashudi, bunuh diri karena putus asa kebahagiaanya dirampas oleh LSM Eropa.

Menjadi bangsa yang bermartabat.

“Tidak ada satu bangsa di dunia ini yang layak memerintah bangsa lain,” kata bung Karno saat memperingati Hari Kebangkitan Nasional ke-50. Tidak ada bangsa yang dapat memerintah bangsa lain sebaik bangsa itu sendiri.

LSM Eropa, seperti Greenpeace dan LSM lainnya, dengan kekuatan ekonomi raksasa di belakangnya memposisikan diri sebagai polisi dunia yang menentukan hitam putihnya suatu negara. Mereka menentukan aturan yang harus dipatuhi oleh dunia, terutama negara berkembang. Mereka bahkan merasa dirinya adalah penguasa kolonial yang berhak untuk berbuat apapun di negeri orang. Dengan kekuatan uangnya, berulang kali Greenpeace dengan bebas menghadang dan mencorang-coreng kapal pengangkut CPO di pelabuhan negara berdaulat, Indonesia. Luar biasa.

Cukup sudah pelecehan dan penghinaan ini. LSM nasional harus mampu mengawal sendiri industri bangsanya berjalan di koridor yang aman, tidak merusak lingkungan dan habitatnya.

Indonesia adalah bangsa yang berdaulat, yang harus menjaga martabatnya dalam pergaulan dunia. Untuk itu, undang undang dan peraturan telah dibuat dan ditetapkan berkesesuaian dengan norma norma yang diterima masyarakat internasional. LSM nasional harus mampu mengusulkan penyesuaian undang undang dan peraturan terkait dengan perkembangan dunia yang berubah dengan cepat. Lebih dari itu, LSM nasional harus pula mampu mengawasi pemerintah dalam penegakan hukum secara tegas.

Mengawal dan mendidik dunia usaha bekerja sesuai norma dan prinsip internasional, membantu pemerintah untuk menyempurnakan dan menjamin ditegakkannya peraturan dan hukum yang berlaku, adalah dua peranan penting yang harus dipikul oleh LSM nasional dengan penuh dedikasi.

Namun, untuk dapat menjalankan peranannya secara mandiri, sejajar dengan LSM luar negeri, negara dan masyarakat Indonesia haruslah bertanggung jawab mendukung pembiayaan kegiatan LSM nasional. Ketergantungan banyak LSM nasional kepada dana dari LSM dan instansi lain di luar negeri haruslah dihentikan. Hanya dengan demikianlah LSM Indonesia bisa berdiri tegak, tidak lagi membungkuk dihadapan LSM dunia.

Siapa mengotori, dia harus membersihkan.

Pola pikir yang beranggapan bahwa fungsi hutan Indonesia adalah untuk menyerap pencemaran karbon dunia adalah pola pikir yang sesat.

Adalah fakta bahwa 80% pencemaran karbon dunia yang menciptakan gas rumah kaca penyebab pemanasan global, berasal dari alat transportasi dan pabrik pabrik di negara negara Eropa dan Amerika Serikat. Hutan alam di dua benua itu, yang seharusnya menyerap gas karbon yang mereka hasilkan, telah mereka tebang habis. Mereka megotori udara dan tidak punya hutan untuk membersihkannya. Karena itu negara negara adi kuasa itu mendatangi negara negara pemilik hutan tropis dan mendiktenya untuk menghisap setiap kotoran gas karbon yang mereka buang.

Kalau tidak mampu membersihkan, jangan mengotori. Mereka harus menghentikan pencemaran yang mereka lakukan. Janganlah berlagak seperti seorang tuan menyuruh hambanya membersihkan kotoran tuannya. Zaman perbudakan sudah berlalu.

Hutan Indonesia adalah milik bangsa Indonesia dan digunakan untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Prasyaratnya adalah, adanya perencanaan tata ruang dan wilayah yang baik.

Sangatlah tidak adil bila LSM Eropa menghalanginya, terlebih bila alasannya untuk membersihkan kotoran mereka.

Adalah adil bila dunia membiarkan Indonesia memanfaatkan lahannya secara bertanggung jawab, demi kesejahteraan rakyatnya, termasuk untuk perkebunan kelapa sawit.

Penulis: Maruli Gultom

Pancoran, 24 November 2008

(Tulisan di atas adalah naskah asli dari artikel berjudul “Green Peace, Arogansi Kolonial” yang dimuat di harian SUARA PEMBARUAN edisi 5 Desember 2008)

Masyarakat Adat di Bengkulu Terancam Tergusur

http://metrotvnews.com/read/news/2011/12/20/75970/Masyarakat-Adat-di-Bengkulu-Terancam-Tergusur

Masyarakat Adat di Bengkulu Terancam Tergusur
Sosbud / Selasa, 20 Desember 2011 07:15 WIB


Metrotvnews.com, Kaur: Tujuh marga atau masyarakat adat yang mendiami Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu, terancam tergusur. Pasalnya, pemerintah daerah memberi izin konsesi pertambangan dan hak guna usaha perkebunan kelapa sawit di wilayah yang didiami masyarakat adat.

"Sebagian besar izin-izin itu dikeluarkan oleh kepala daerah yang lama dengan total luas areal 125 ribu hektare," kata Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Bengkulu Haitami Sulami di Kaur, Selasa (20/12).

Ia mengatakan luas areal konsesi pertambagan dan HGU perkebunan tersebut tidak sebanding dengan luas area penggunaan lain atau lahan kelola rakyat yang hanya 92 ribu hektar. Artinya luas lahan konsesi untuk pertambangan dan perkebunan lebih luas dari areal kelola masyarakat.

"Dari kondisi ini ada dua kemungkinan yang terjadi yakni tumpang tindih HGU atau lahan yang diberikan kepada koorporasi sudah memasuki kawasan hutan," katanya.

Haitama mengatakan dengan keberadaan perusahaan perkebunan dan pertambangan tersebut tujuh masyakarakat adat terancam eksistensinya.

Ketujuh masyarakat adat tersebut yakni Suku Semende Nasal, Semende Ulu Nasal, Semende Banding Agung, Semende Muara Sahung, Semende Kaur Tanjung Agung, Marga Sambat, dan Suku Kaur Nasal.

Menurutnya, jika masyarakat adat tersebut kehilangan hak ulayat yakni tanah mereka maka eksistensinya sebagai masyarakat adat akan punah. Sebab, salah satu unsur penting yang membentuk masyarakat adat adalah berdaulat atas suatu wilayah atau tanah.

"Ciri masyarakat adat ada tiga dan yang utama adalah penguasaan terhadap teritorial atau sebuah wilayah yang menjadi areal kekuasan secara turun temurun," katanya.

Ketika ciri tersebut tercerabut maka dengan sendirinya kumpulan masyarakat tersebut tidak lagi disebut sebagai masyarakat adat. Haitami mengatakan terdapat tujuh perusahaan perkebunan sawit dan sembilan perusahaan pertambangan biji besi yang mengancam eksistensi masyarakat adat tersebut.

Perusahaan perkebunan itu antara lain PT Dinamika Selaras Jaya yang mengantongi izin prinsip dari Bupati Kaur pada 2009 seluas 7.000 hektare dan 2010 seluas 2.438 hektare.

Selanjutnya PT Desaria Plantation Mining dengan luas areal 16.000 hektare, PT Sepang Makmur Perkasa seluas 10.000 hektare, PT Era Guna Mitra seluas 1.500 hektare, PT Ciptamas Bumi Selaras seluas 10.000 hektare.

Terdapat juga perkebunan sawit milik PT Anugerah Pelangi Sukses seluas 50 hektare dan PT Tagara Agro Lestari seluas 350 hektare.

Sementara konsesi tambang biji besi yang sudah berproduksi antara lain dikantongi PT Selomoro Banyu Arto seluas 1.300 hektare dan PT Bengkulu Mega Steel seluas 58,39 hektare.

Sedangkan izin eksplorasi biji besi diberikan kepada CV Cakra Buana untuk tambang biji besi seluas 3.609 hektare dan batu besi seluas 17.241 hektare, PT Bukit Resource seluas 4.263 hektare, PT Maha Bara Karya seluas 5.815 hektare, PT Sebuku Mitra Energi seluas 19.298 hektare.

Izin melakukan eksplorasi biji besi juga diberikan kepada PT Berangas Prima South seluas 20.760 hektare, PT Bumi Hamilton Resources seluas 5.998 hektare dan PT Asia Hamilton Resources seluas 5.495 hektare.

Haitami mendesak pemerintah mengevaluasi pemberian izin tersebut sebab sebagian besar kawasan yang dicadangkan sdudah dikelola masyarakat.

"Termasuk HGU PT Desaria Plantation Mining yang berdiri di atas lahan masyarakat adat seluas 5.000 hektare. Kalau itu diserobot maka masyarakat akan kehilangan areal kelola mereka dan menjadi buruh di atas tanahnya sendiri," katanya. (Ant/*)

Tuesday, March 6, 2012

Ganda and Wilmar

Wilmar and the Ganda Group: new insights into the dealings of the Sitorus family

Mr. Martua Sitorus’ brother, Mr. Ganda, was previously employed by the Wilmar Group but has now built his own plantation group through the holding company PT Gandaerah Hendana (the Ganda Group). Subsidiaries under the Ganda Group include:

1. PT Kartika Prima Nabati (Jakarta)
2. PT Patiware (Bengkayang, West Kalimantan)
3. PT Sumatera Unggul Makmur (Sambas, West Kalimantan)
4. PT Sentosa Asih Makmur (Sambas, West Kalimantan)
5. PT Putralirik Domas (Sambas, West Kalimantan)
6. PT Inecda Plantation (13,000 ha, Indragiri Hulu, Riau)
7. PT Jatim Jaya Perkasa (Riau)
8. PT Wawasan Kebun Nusantara (18,500 ha, Bengkayang, West Kalimantan)
9. PT Perkebunan Kaltim Utama I (20,000 ha, Kutai Kartanegara, East Kalimantan)
10. PT Ganda Dinamika (previously: PT Karya Musi Lestari)
11. PT Karya Agung Megah Utama (Agam, West Sumatra)
12. PT Perkebunan Anak Negeri Pasaman (West Pasaman, West Sumatra)
13. PT Sumatra Agro Nusa Plantations Prima
14. Jumbo Glory Holdings
15. PT Enviro Mitra Abadi (Riau)

Of these companies, four are active in Sambas District:

PT Patiware:
A castor oil plantation company of 10,500 hectares in Jawai and Teluk Keramat
sub-districts. The company was granted a Location Permit (Ijin Lokasi) by BPN, number 05/ILBPN/Bky/2003, dated 23 September 2003 (last update on July 2006).

PT Sumatera Unggul Makmur:
An oil palm company of 16,000 hectares in Tebas, Semparuk, Selakau and Pemangkat sub-districts. The company was granted a Plantation Operation Permit (Ijin Prinsip) by the District Head, number 82/2006, dated 3 April 2006.

PT Sentosa Asih Makmur:
An oil palm company of 18,000 hectares in Galing, Sejangkung and Teluk Keramat sub-districts. The company was granted a Principal Permit (Ijin Prinsip) by the District Head, number 81/2006, dated 3 April 2006.

PT Putralirik Domas:
An oil palm company of 3,100 hectares in Subah sub-district. The company was granted a Plantation Operation Permit (Ijin Prinsip) by the District Head, number 83/2006, dated 3 April 2006.

None of these companies have approved EIA reports, but all of these companies have already and irregularly, been granted a Plantation Operation Permit by the Sambas District Head.
In essence, the Ganda and Wilmar Groups are very closely related

=============================================

See profile of Martua Sitorus at https://en.wikipedia.org/wiki/Martua_Sitorus

Martua Sitorus (born 1960), also known as Thio Seng Hap (吴笙福), was a Chinese Indonesian businessman. He was once known as the fourth richest person in Indonesia (and #377 in the world), but had decreased to fifteenth by November 2013,[2]according to Forbes.[3] He and his partner, Kuok Khoon Hong founded Wilmar International, the largest palm oil producer in the world.
Wilmar's business activities include oil palm cultivationoilseeds crushing, edible oils refining, sugar milling and refining, specialty fats, oleochemicalsbiodiesel and fertilizers manufacturing and grains processing. It has over 300 manufacturing plants and an extensive distribution network covering ChinaIndiaIndonesiaUnited States and some 50 other countries.[4]

Personal life[edit]

Martua was born in Pematang Siantar, a town located in North Sumatra, Indonesia. After finishing high school, he continued to the University of HKBP Nomensen, Medan which was the largest city in North Sumatera to finish his economic degrees. During his teenager, Martua traded fish, when grown up he started his business as a palm oil and mesocarp trader.

Business Empire[edit]

Martua along with Kuok Khoon Hong, the nephew of Malaysia's richest tycoon Robert Kuok, founded Wilmar InternationalLimited and by 1991 he owned 7.100 hectare of palm tree plantations, and also build his own palm oil refinery in North Sumatra. The Wilmar International business has grown rapidly; by 2013 Wilmar owns more than 50 other companies with 300 manufacturing plants around the world.[5] Martua also owns London skycraper Aviva Tower and a hospital in Medan, Murni Teguh Memorial Hospital, which is named after Martua's mother, Murni Teguh. The hospital was launched on 12 December 2012 (12/12/2012).[6]

Saturday, March 3, 2012

Court decision upsets plantation companies

(GAPKI)

http://www.thejakartapost.com/news/2012/03/03/court-decision-upsets-plantation-companies.html

Court decision upsets plantation companies
The Jakarta Post, Jakarta | Sat, 03/03/2012 7:35 PM
A | A | A |

The Constitutional Court’s recent decision to approve a request from a number of local governments to change an article in the Forestry Law has raised uncertainties over the legal status of land owned by plantation companies and forest concession owners.

The chairman of the Indonesian Forestry Businessmen Association (APHI), Nanang Rofandi, said in Jakarta on Friday that with the court’s decision, the association’s members felt that the status of their land had become uncertain.

“The ruling raises a lot of questions and confusion among us and we now have no certainty in carrying out our business,” Nanang told The Jakarta Post.

On Feb. 21, the court issued a ruling to drop the phrase “allocated and/or”, which appears in the third paragraph of the Forestry Law’s first article, at the request of regents from five regencies in Central Kalimantan on the ground that the phrase made the article contrary to the 1945 Constitution.

The regents also argued that the full sentence, which reads: “A forested area is a certain area that is ‘allocated and/or’ determined by the government as a permanent forest area”, gave an absolute authority to the central government to declare some of their areas as permanent forests.

With the original article, the plaintiff said, the central government had the power to determine non-forest areas, which are already owned by local people, to become forest areas. But legal experts say that the removal of the phrase could lend even more power to the government in determining forest areas.

Legal expert Hikmahanto Juwana, who is also the dean of the University of Indonesia’s Law Faculty, said the deletion of the phrase did not really change the meaning because there was no explanation on the legal implication of the change.

“When we talk about the government, which government are we talking about? The word ‘government’ is misleading because it can mean the central government or the local government,” Hikmahanto told the Post.

He said that both central and local governments should sit together and discuss further about the forestry issue. He also said that the ruling still needed to make an explanation in order to make everything clear.

“We discussed this issue at the Forestry Ministry today. We want them to issue circulars that will help us to retain legality in our business,” he said.

In line with the APHI, the Indonesian Palm Oil Producers’ Association (GAPKI) also said that the legality of palm oil business activity in Indonesia has become unclear following the courts’ decision.

“The ruling brings a lot of problems. We are going to consult with legal experts about this issue in order to get some clarity for our business,” GAPKI’s executive director, Fadhil Hasan, told the Post.

In a separate interview, Greenomics Indonesia executive director Elfian Effendi said that all the Forestry Ministry’s decrees on provincial forestry area allocations issued after Sept. 30, 1999, no longer had a legal base as one of the reasons why the court decided to change the article was because it contravened the Constitution.

Elfian added that the court’s ruling also effectively delegitimized the presidential decrees on new permits and prime forest management, and the forest spatial management plan (RTRW) in Sumatra, Kalimantan and Sulawesi by removing their legal foundation.

“This is because the RTRW uses map attachments from a ministerial decree that was issued after Sept. 30, 1999,” he said.

In addition, Greenomics said the ruling would also affect the Master Plan for the Acceleration and Expansion of Indonesia’s Economic Development (MP3EI) because some of the economic programs included in the MP3EI were based on ministerial decrees issued after Sept. 30, 1999, when the Forestry Law became effective.

In a separate interview, Forestry Minister Zulkifli Hasan said that the ruling did not disadvantage any party, including businesspeople.

“There is no party that is disadvantaged by the ruling,” Zulkifli told the Post.

He said the ruling benefited the government because it could help speed up the program to establish forest boundaries in the country. “This will strengthen efforts in establishing the forest land-use plan [TGHK],” he said.

The minister added that the TGHK was very important for Indonesia as the country possessed some 95 million hectares of forested land — the largest amount in Southeast Asia — and played an important role in the global fight against climate change and reducing gas emissions.

In addition, he said he had urged all regents across the country to make an extra effort to accelerate the establishment of forest boundary areas in their respective regions. He gave local governments three months to complete the task.

According to Tahrir Fathoni, the ministry’s human resources development chief, the ministry has requested assistance from consultants and academics to help accelerate the task.

Tahrir said the ministry had outsourced more than 1,000 people to get the job done.

Normally, it takes a full year to obtain the results of a boundary area. (nfo)

Human rights abuses and land conflicts in the PT Asiatic Persada concession in Jambi

(Wilmar)

Executive Summary

The forests of southern Jambi have long been home to indigenous peoples who produced the forest products on which the regional trading kingdoms, Malayu and later Srivijaya of the 7th to 13th centuries, relied. The forest peoples had their own polities and bounded territories and paid tribute to the chiefs of these kingdoms. The Batin Sembilan peoples lived from rotational farming, hunting, fishing and gathering and from the trade in resins, dyes, valuable woods and medicines from the forest. Under the Dutch these local systems were affirmed and their rights in land recognised, to some extent.

With independence their situation changed. Along with other social groups in Jambi they were officially classed as a poor and backward people – a „tribe of children of the interior‟ – and their rights in land were not recognised. The government handed out their lands to logging, transmigration, cocoa and palm oil projects without consultation or their consent. This seriously disrupted the peoples‟ connections with their ancestral territories, diminished the remaining forests and deprived them of land and livelihood. The land-squeeze led to out-migration of the indigenous people and the intrusion into their area of settlers from Java.

PT Asiatic Persada (AP) used to be named PT BDU, which since the 1970s held an extensive logging concession in the area. In 1987, PT BDU, with questionable legality, was given a 20,000 ha. license within its logging area to develop as plantations but it was not until the 1990s that much oil palm began to be planted. The company was renamed PT AP in 1992. As the plantations began to expand on the Batin Sembilan‟s lands, disputes emerged and, once the political situation changed allowing communities to express their views, they began to demand land rights and compensation for lands lost to oil palm. The company also changed ownership several times being bought out first by the Commonwealth Development Corporation and Pacific Rim (2000), then by Cargill (2006) and finally Wilmar later in 2006.

In response to community demands for lands and compensation, in 2004/5 the intermediate companies offered 650 ha. of smallholdings in the south and a further 350 ha. in the northern part of the concession. Maps clearly marked the areas and signs were even put up indicating their purpose. However, after Wilmar took over, the company withdrew the offer of providing smallholdings within the concession. The result was an increase in conflicts, which Wilmar, in response to a series of NGO complaints to the World Bank Group‟s International Finance Corporation, agreed be mediated by the IFC‟s Compliance Advisory Ombudsman process. Some community groups refused this negotiation process while others acceded. In the northern part of the concession participatory maps were developed showing the wide extent of the indigenous peoples‟ land claims within the concession. However, Wilmar refused to recognise their lands within the concession or provide smallholdings but instead offered a 1000 ha. joint venture on State lands west of their concession. While the mediation broke down, one northern group refused the offer but another group initially accepted. However, the leader of that group recently repudiated the joint venture agreement, which is claimed to offer better returns to the company than the people, and he is again demanding the return of customary lands within the concession.

Meanwhile there was no progress resolving the land issues in the south of the concession. When Batin Sembilan people moved back into the concession and set up settlements, PT AP initially offered them piece work for picking up loose fruits. PT AP became concerned that substantial fruit was being stolen and marketed outside the concession by an entrepreneur residing in one of the settlements in the concession. Meetings with the communities did not resolve the land dispute or the conflict over fruit. In July 2011, the company contracted the mobile police brigade (BRIMOB) to secure control of their plantation.

In August, a dispute over stolen fruit with the entrepreneur led to: his lorry being impounded; a fight with police; the alleged theft of police weapons and; a large operation by BRIMOB to recover the weapons. The confrontation turned ugly – with different parties blaming each other for initiating the violence. A policeman was badly cut and shots were fired by BRIMOB which caused villagers to flee into the forest and one person to be wounded in the back by a spent bullet. The entrepreneur and his family, with 12 other suspects (later freed), were taken into custody. The entrepreneur and his family are still in jail awaiting trial.

According to testimony recorded in our investigation, the following day, without warning, BRIMOB and PT AP staff returned to the settlement firing shots and seeking to chase the people out of the settlement. Their houses were then flattened using excavators and their properties scattered. Over the following week, BRIMOB returned to rout the people while PT AP staff, under PT AP instruction and using company heavy plant, systematically destroyed the houses of 83 families in three settlements, even using caterpillar tractors to bulldoze up concrete floors. Most people fled, some taking refuge in the forests and others in nearby towns and settlements. BRIMOB closed the area for a week while the operation continued, denying access to NGOs, the media and local people. BRIMOB remain in the area and, at the time of the study, were said to be daily continuing to intimidate people by firing their guns.

The events received considerable media coverage in the local papers. The government Department of Social Affairs brought in emergency tenting and some food for the affected people, while NGOs responded with a more sustained humanitarian operation to bring them food and clothes. Some of those evicted remain in the forests, while others have returned to their settlements to live in the temporary tenting provided. A number of NGOs appealed to the Wilmar Group to cease operations in the area and remove BRIMOB.

Wilmar repudiated the NGO complaints arguing that the case was unrelated to the land dispute and paid an RSPO-accredited assessor, PT TUV, to review the situation. The short investigation, with Wilmar and PT AP staff present, came to partial conclusions, but did note that the underlying land dispute would have to be resolved for the company to be certified.

Forest Peoples Programme, SawitWatch and HuMa, signatories of the original complaint to IFC, decided that the situation warranted a more detailed investigation. This was communicated to Wilmar which welcomed the enquiry. The seven-person team including anthropologists, environmentalists and lawyers, thus spent a week in the area interviewing villagers, medical personnel, NGOs, government officials and PT AP and Wilmar staff. This report is the result. A provincial government investigation into the evictions, carried out on 8th October 2011, confirms the three locations and the number of houses destroyed.

The team concludes that PT AP remains in violation of the IFC Performance Standards, is operating contrary to the RSPO P&C especially with respect to land and dispute resolution. We also find that BRIMOB and PT AP between them share responsibility for serious human rights violations. These violations demand further investigation to ascertain the individuals responsible. They should be charged and brought to trial by the government authorities. The independence of assessor companies, Daemeter Consulting and TUV, is also called into question, casting doubt on the credibility of RSPO‟s reliance on 3rd party assessments. We make recommendations to Wilmar, RSPO, CAO and the Government to resolve the dispute.

Introduction to this study: context, rationale and methods

The team which carried out this study are all from organisations that were signatories to complaints submitted in 2006 and 2008 to the Compliance Advisory Ombudsman (CAO) of the International Finance Corporation (IFC) and to the Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) about the social and environmental problems associated with subsidiary companies of the Wilmar Group. The complaints triggered CAO-mediated negotiations between impacted communities and Wilmar to seek resolution of the land conflicts. These mediated negotiations are ongoing. One of the cases being mediated under CAO supervision was the PT Asiatic Persada (PT AP) operation in Jambi, which focused on the land claims of people in the north of the concession. The mediation ran into difficulties in June and July 2011 and led to the mediation process being terminated.

In August 2011, a stream of reports emerged from Jambi through the independent media, as well as through NGOs, of serious conflicts, violence and mass evictions in the southern part of the PT AP concession. Several NGOs appealed to Wilmar to remedy the situation and also address the underlying land conflicts that had been the subject of the mediation. Wilmar replied strongly repudiating the reports and suggesting that there was no connection between land conflicts and the problems in the south of the concession, that the land dispute was already resolved, that the evictions were justified and that there had been no abuses or injuries. A report from a third party auditor, TUV, an RSPO-accredited Certification Body, which was contracted by Wilmar to look into the situation, was later issued substantially corroborating Wilmar‟s account of the situation. The TUV report did however mention that there was an underlying land dispute which would need to be resolved before the operation could be certified.

Given the termination of the mediation process, the discrepancies between the reports from Wilmar and TUV with respect to the land disputes and the much wider discrepancies between these reports and the accounts of local NGOs and journalists, the Forest Peoples Programme, in communication with Indonesian civil society groups and affected communities, decided that an independent investigation should be carried out. This was communicated to Wilmar and the RSPO Board. Wilmar wrote back welcoming the study and offering to help provide logistical help.

IFC CAO Case Topic 2 and Topic 3

(Wilmar)

Topic 2: Issues related to Wilmar's compliance with national laws and procedures particularly with respect to environmental permits and burning.


Adri: Agreement last year to form two working groups:

  • social and legal aspects

  • want to know how CAO deals with category number 3 (April 19 or 25, put the appraisal)


Communities and CSOs are concerned that:

  • Wilmar is sometimes operating without full permits and

  • has cleared land without waiting to complete environmental impact assessments and

  • Obtain the necessary environmental permits.

  • Furthermore, they believe Wilmar has been responsible for using fire to clear land.


From Wilmar’s perspective, in common with other operators in the sector, local government authorities have sometimes given permission to clear land while environmental impact assessments are still underway. There are inconsistencies between the national and kabupaten levels of government which make it difficult to know which rules to follow. Wilmar and IFC have both expressed concern that local regulating authorities sometimes require Wilmar to utilize contractors that are not timely, and often lacking in experience/capacity. This means that EIA’s are poorly integrated into the decision-making process.


With respect to the use of fire to clear land, Wilmar is willing to work with CSO’s as well as others to demonstrate, beyond reasonable doubt, that it does not set or promote fire on its properties. Wilmar has requested that CSOs meet, together with external experts, to agree how to create a system that provides credible and trustworthy information on this important topic.


In addition to addressing specific concerns associated with Wilmar, there may be an opportunity to find effective solutions that will have relevance to the sector as a whole. However, in order to work, these issues will require involvement of environmental and fire experts, and possibly representatives from the government of Indonesia, including the Ministry of Environment.


Topic 3: Issues related to the IFC.

Complainants have also raised questions which relate to the IFC’s investment in the project, and specifically its adherence to applicable IFC policies and guidelines:


Is the environmental category designated by IFC (Category C) appropriate? How does IFC provide adequate safeguards to protect affected communities and their environment in this case, and what is the role of other IFC initiatives that have been implemented?


Why were the older Safeguard Policies, rather than the new Policy and Performance Standards, applied, at least to IFC's last investment in Wilmar?


How can IFC provide more consistent access to information when requested by civil society?


How can IFC serve as a responsible investor within the Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)? What does it mean to apply RSPO principles and criteria at the same time as IFC standards? How should IFC make public comments or notifications in its documents/websites that are consistent with RSPO?


IFC staff/managers in Jakarta and Washington have acknowledged that the concerns raised by the complaints – relating to community land insecurity, confusing permitting procedures and proper use of EIA’s – are highly visible and problematic. From IFC’s perspective, the problems raised go beyond the operations of Wilmar and raise complicated issues relating to national regulations in Indonesia. Through its own membership of RSPO as well as the specific projects launched alongside its investments in Wilmar, IFC believes that it has taken some steps to address these concerns seriously. IFC have agreed to meet with the involved CSOs to discuss these issues and explore additional options for resolving them in a way that is constructive and fair.


IFC has also stated that they believe the terminology in the public release documents (the SPI and other web documents) has been misunderstood. IFC has informed CAO that it did not mean to claim that Wilmar was already in compliance with the RSPO Principles and Critera, or that RSPO has certified Wilmar in any way. As of November 9, IFC has revised the language on the website to provide some clarification on this matter.

‘Mencuri di Rumah Kami Sendiri’

(Sime Darby)
‘Mencuri di Rumah Kami Sendiri’ (lihat Promised Land)

Dimana suaminya? “Suami saya sekarang di penjara, ayah dan ibu saya telah tiada, saya juga tidak punya kakak maupun adik,” tutur seorang ibu muda, Ibu Ata. Mengapa suaminya dipenjara? Thomas Ata ditahan di penjara karena bermasalah dengan PT MAS. Pada tanggal 14 Juli, 2003, dia bersama dengan tujuh orang temannya sedang memanen buah kelapa sawit segar di lahan mereka. Namun karena buah yang dipanen dari lahan mereka seluas 1.2 hektar tidak cukup memenuhi kehidupan sehari-hari mereka, Thomas bersama dengan Libertus Sukiat, Thomas A, Elisius, Klaudius Piam, Antonius, Yulius Yuh dan Sipir memanen di lahan perkebunan inti milik perkebunan. “Tidak banyak. Hanya enam puluh tandan. Tandan kelapa sawit tersebut kemudian kami kembalikan pada perusahaan,” kata Ibu Jumina yang mengalami masalah yang sama. Dia mengaku bahwa suaminya telah melakukan hal tersebut karena penghasilan rata-rata dari pemanenan kelapa sawit tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan subsisten mereka.

Menurut orang-orang yang dipenjarakan tersebut, yang diwawancarai oleh Kalimantan Review, aksi pencurian tersebut baru pertama kali mereka lakukan. Sayangnya, mereka dimata-matai oleh dua orang penjaga keamanan dan dua orang petugas yang sedang berpatroli. Siang harinya mereka tertangkap. Kemudian mereka dikirim ke Kantor Polisi Sektor Bodok dan diinterogasi. Setelah tinggal di penjara beberapa hari menjadi tahanan sementara, antara bulan September dan Desember 2003, mereka ditangkap secara resmi oleh Kejaksaan Sanggau.

“Yang membuat saya kecewa dengan kedatangan perusahaan disini adalah karena perusahaan datang dan memanfaatkan tanah adat milik kami. Kami masih menerapkan hukum adat, tetapi mengapa mereka menerapkan hukum negara (dalam kasus ini). Mereka sudah seharusnya mencoba menyelesaikan masalah ini dengan cara-cara adat terlebih dahulu,” Kata Pak Anton, pimpinan adat Desa Tantang B.

Sejak Bulan September 2003, tujuh orang tersebut tidak pernah bertemu dengan keluarga, istri dan anak-anak mereka. “Anak saya ingin sekali bertemu dengan anak mereka. Semakin lama situasi semakin sulit. Saya sangat berharap suami saya dapat pulang ke rumah. Namun, saya tidak tahu bagaimana cara membebaskan mereka” kata Jumina dengan sebih.

Seperti yang dijelaskan oleh Bapak Anton, dan masyarakat desa lainnya, Tantang B dan masyarakat Desa Sebombo menerima kehadiran perkebunan kelapa sawit karena mereka menginginkan pembangunan jalan ke desa mereka. Sebuah jalan dari Parindu menuju Desa Tantang B telah dibangun oleh pemerintah lokal tetapi tidak dirawat dengan baik, terutama di Desa Engkayuk (10 kilometer dari Parindu). Oleh karena itu, para anggota masyarakat berharap mampu memanfaatkan jalan-jalan perusahaan ke Parindu dan desa-desa sekitarnya.

Cukong Sawit yang Tak Mujur

Cukong Sawit yang Tak Mujur

KANTOR PT First Mujur Plantation and Industry di lantai 27 gedung Artha Graha, kompleks niaga terpadu Sudirman, Jakarta, dijaga ketat petugas. Tak sembarang orang diizinkan berkunjung, tak terkecuali Tempo.

"Apa tujuan Anda ke sini? Mengapa Anda mengambil gambar kantor kami tanpa izin?" seorang anggota staf pengaman berseragam batik membentak. Padahal, sesaat sebelumnya, Tempo baru saja menemui staf hubungan masyarakat perusahaan itu.

Tak cukup hanya menginterogasi, petugas itu menyita kamera dan telepon seluler Tempo. Semua foto kantor First Mujur yang telah terekam dihapus paksa. "Di sini ada peraturan, tak boleh foto-foto," kata petugas yang lain. Ditahan setengah jam, Tempo lalu diizinkan pergi.

Tempo mungkin beruntung mengunjungi kantor First Mujur pada saat-saat awal-ketika belum banyak wartawan lain berkunjung, ketika perusahaan itu belum menjadi kepala berita di koran-koran. Sebab, jika informasi dari seseorang yang mengetahui kasus suap Bank Indonesia ke Dewan Perwakilan Rakyat itu benar, Mujur memang sedang tak mujur. Perusahaan ini diduga membeli 480 cek pelawat dari Bank Internasional Indonesia. Ratusan cek yang masing-masing bernilai Rp 50 juta ini kemudian disebar ke 40-an anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode lalu, pada Juni 2004.

Salah satu penerimanya, Agus Condro Prayitno, mantan anggota parlemen dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, menduga pembagian cek itu adalah imbalan atas kemenangan Miranda Swaray Goeltom dalam uji kelayakan dan kepatutan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, dua pekan sebelumnya.

l l l

FIRST Mujur adalah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit. Mereka memiliki lebih dari 12 ribu hektare lahan sawit di Desa Aek Kulim dan Desa Marlaung, Kecamatan Barumun Tengah, Langkat Batu, Sumatera Utara.

Dari akta pendirian perusahaan itu terungkap bahwa keluarga Arsyad Lis-saudara kandung buron terpidana kasus pembalakan liar Adelin Lis-adalah pemilik awal First Mujur. Perusahaan itu berdiri pada 24 September 1980 di Medan. Dengan modal awal Rp 50 juta yang disetor Arsyad Lis dan sejumlah rekan, perusahaan itu diplot bergerak di bidang perkebunan, pertanian, dan eksploitasi hutan. Seorang purnawirawan brigadir jenderal polisi, Benny Notosoebioso, juga tercatat sebagai pendiri dan penyetor modal awal.

Komposisi kepemilikan saham berubah tujuh tahun kemudian. Sejumlah nama baru masuk dalam jajaran direksi dan komisaris, antara lain Karim Tano Tjandra, Hermanto Tjandra, Sony Wicaksono, dan Supendi. Nama keluarga Arsyad Lis menghilang sama sekali.

Setahun setelah perubahan itu, First Mujur mengajukan izin ke Direktorat Jenderal Perkebunan di Departemen Pertanian serta Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk membuka perkebunan kelapa sawit 6.000 hektare di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Sejak itulah bisnis inti First Mujur terfokus pada usaha perkebunan kelapa sawit.

Pada Januari 1994, masuk satu nama baru dalam jajaran pemegang saham: Lintong Mangasa Siahaan. Saat itu modal awal First Mujur sudah menggelembung menjadi Rp 27 miliar. Masuknya Lintong menyulut konflik kepemilikan di First Mujur hingga harus diselesaikan di pengadilan.

Lintong, mantan Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara IV di Sumatera Utara, menuding Karim Tano Tjandra menyerobot First Mujur dari tangannya dan menggelapkan Rp 30,9 miliar dana perusahaan. Berdasarkan gugatan Lintong, hakim Pengadilan Negeri Medan memutuskan Karim yang bersalah dan menghukumnya tiga setengah tahun penjara. Karim bahkan langsung dijebloskan ke Penjara Tanjung Gusta, Medan, meski kasusnya sedang dalam proses banding.

Pada April 2001, Mahkamah Agung membebaskan Karim dari semua tuduhan. Sebulan kemudian, Karim keluar dari bui dan mengambil kembali kepemilikan First Mujur dari tangan Lintong.

l l l

TIDAK mudah mencari hubungan First Mujur dengan kelompok usaha Artha Graha. Dokumen kepemilikan perusahaan ini sama sekali tak menyinggung nama Artha Graha. Meski satu anggota staf perusahaan ini di Jakarta membenarkan keterlibatan Tomy Winata di First Mujur, salah satu pemegang saham Artha Graha itu menganggap berita itu rumor belaka. "Jangan digosip-gosipin, deh," katanya ketika dimintai konfirmasi oleh Tempo.

Hubungan antara Artha Graha dan First Mujur Plantation terungkap pertama kali dari sebuah berita yang dimuat The Jakarta Post pada Agustus 2005. Berita itu mengabarkan rencana Artha Graha menanamkan modal Rp 1 triliun untuk membangun perkebunan tebu di Jawa Barat. "Modal itu akan ditanamkan Artha Graha melalui First Mujur Plantation," kata Iwan Dermawan, Ketua Kamar Dagang dan Industri Jawa Barat, seperti dikutip koran itu.

Riset pustaka yang dilakukan Tempo menemukan setidaknya dua kali nama First Mujur Plantation disebut-sebut terkait dengan kasus pidana. Kasus pertama menyangkut skandal suap kakap di Mahkamah Agung. Pada saat beperkara pada 2001, Lintong Siahaan dan Karim Tano Tjandra-dua pemegang saham First Mujur-dituduh menyuap hakim agung Syafiuddin Kartasasmita.

Rasuah ini terungkap ketika Yopie Darmono, seorang "makelar" kasus di Mahkamah yang juga dikenal sebagai kawan dekat hakim agung Kartasasmita, diperiksa polisi. Tanpa ba-bi-bu, Yopie mengaku menerima Rp 250 juta dari Karim dan Rp 975 juta dari Lintong. Uang itu, kata Yopie, diteruskan ke Syafiuddin. Belakangan, setoran fulus dari Lintong terpaksa dikembalikan karena hakim Syafiuddin Kartasasmita memenangkan Karim Tjandra dalam perkara itu.

Meski buktinya sudah terang-benderang, kasus dugaan suap ini tak terdengar lagi lanjutannya. Salah satu sebabnya: sang tersangka penerima suap, Syafiuddin Kartasasmita, pada Juli 2001 keburu tewas ditembak orang suruhan putra mantan presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra.

Persoalan lain yang menimpa First Mujur adalah dugaan penyerobotan 105 ribu hektare hutan lindung di Hutan Register 40, di kawasan Padang Lawas, Tapanuli Selatan. Bersama sejumlah perkebunan lain, First Mujur dituduh menggunduli area hutan lindung itu dan mengubahnya menjadi perkebunan kelapa sawit. Sejumlah organisasi nonpemerintah di bidang lingkungan getol mendorong pengusutan atas kasus ini. Kasus ini pun tak berlanjut ke meja hijau, meski Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Padang Lawas sempat meminta polisi turun tangan.

l l l

BERDIRI hampir tiga dekade silam, kantor utama First Mujur tak pernah dipindahkan dari Medan. Tatkala Tempo bertandang ke sana pada akhir pekan lalu, suasana gedung berlantai dua bercat cokelat yang jadi kantor perusahaan ini tampak lengang. Keberadaannya di lingkungan TNI Angkatan Udara memang membuat aksesnya tak seterbuka perkantoran perusahaan umum lain.

Ketika memasuki lobi kantor, barulah kesibukan mulai terasa. Sebuah poster soal bahaya kerusakan hutan menghias dinding ruang kecil yang hanya menyediakan tiga kursi tamu itu. Di sebelahnya ada kalender besar berlogo Artha Graha, berwarna merah. Setelah ditunggu dua jam, salah satu pemimpin First Mujur, Wagner Tobing, Kepala Bagian Personalia dan Umum, bersedia menemui Tempo.

Wagner membantah keterkaitan perusahaannya dengan Tomy Winata. "Saya kira tidak," katanya. Dia juga mengaku tidak tahu-menahu soal pembelian cek pelawat untuk anggota parlemen. "Kami kaget mendengar informasi ini," katanya lagi.

Wahyu Dhyatmika, Budi Setyarso, Vennie Melyani (Jakarta), Soetana Monang Hasibuan (Meda

PT Darmex Agro Sesalkan Pemukulan Karyawan oleh Bupati Inhu

http://news.detik.com/read/2011/11/11/161416/1765687/10/pt-darmex-agro-sesalkan-pemukulan-karyawan-oleh-bupati-inhu?browse=frommobile

(Darmex Agro)

PT Darmex Agro Sesalkan Pemukulan Karyawan oleh Bupati Inhu

Fitraya Ramadhanny - detikNews
Jumat, 11/11/2011 16:14 WIB
Browser anda tidak mendukung iFrame
Jakarta Bupati Indragiri Hulu (Inhu) Riau, Yopi Arianto dipolisikan karena memukul dua karyawan perkebunan sawit. PT Darmex Agro selaku induk perusahaan, menyesalkan pemukulan atas karyawan mereka.

"Kami menyayangkan terjadinya peristiwa tersebut, karena kami selalu mendudukkan pihak pemerintah daerah sebagai mitra perusaahan dan pengayom masyarakat, bahkan sesungguhnya kami pun komponen dari masyarakat," kata Corporate Secretary dan Manajer Humas PT Darmex Agro, Yearline Ristiady, dalam email kepada detikcom, Jumat (11/11/2011).

Yearline mengklarifikasi lokasi kejadian bukanlah di perkebunan sawit PT Dutapalma Nusantara di Kabupaten Kuantan Sengingi. Pemukulan terjadi di PT Palma Satu yang berlokasi di Kabupaten Indragiri Hulu. Keduanya anak perusahaan PT Darmex Agro.

Menurut Yearline, PT Palma Satu sudah mengantungi SK Bupati Inhu No 90/2007 untuk izin pembangunan kebun kelapa sawit dan SK Bupati Inhu No 91/2007 untuk izin usaha perkebunan. PT Darmex Agro meminta pemkab memberikan contoh yang baik pada masyarakat.

"Pemda selaku pengayom dan pelayan masyarakat agar lebih bijak dan memberikan contoh yang baik kepada masyarakat dalam menanggapi setiap permasalahan yang ada," ujarnya.

Pada Kamis (10/11) kemarin, Bupati Inhu Riau, Yopi Arianto mengakui telah menampar dua karyawan kebun sawit PT Duta Palma (Palma Satu-red). Dia mengaku melakukan itu demi membela kepentingan masyarakat yang lahannya dirampas perusahaan.

"Saya menampar mereka tentu ada alasan. Ini karena saya sebagai kepala daerah ditantang pihak perusahaan untuk perang. Bayangkan saja, saya bupati saja diajak perang, bagaimana dengan masyarakat," kata Yopi dalam perbincangan dengan detikcom, Kamis kemarin.

Masih menurut Yopi, kehadirannya di Kecamatan Batang Gangsal, Inhu untuk menyelesaikan kasus sengketa lahan antara perusahaan dengan masyarakat sekitar. Bupati Inhu ini mengklaim, ribuan hektar kebun sawit menyerobot lahan rakyat.

"Pihak PT Dulta Palma di Kecamatan Batang Gangsal tidak memiliki izin perkebunannya. Mereka merampas tanah rakyat dengan semena-mena. Wajarkan saya membela rakyat yang tertindas. Jangan seenaknya perusahaan itu mencaploki tanah masyarakat untuk kepentingan bisnisnya," kata Yopi.

(fay/vit)

STOP KONVERSI HUTAN UNTUK PERKEBUNAN BESAR (SAWIT)

http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=4&dn=20080918134947

(Arta Graha)
STOP KONVERSI HUTAN UNTUK PERKEBUNAN BESAR (SAWIT)

Oleh : Rudy Handoko | 18-Sep-2008, 21:56:47 WIB

Lomba Tulis YPHL
Rudy Handoko
Pontianak Kalimantan Barat

Lahan hutan yang telah mendapatkan persetujuan untuk dikonversi menjadi perkebunan besar semakin luas, dan ini mendapat persetujuan negara (pemerintah). Luar biasa memang pemerintah negara ini, di saat negara lain berupaya mempertahankan keaslian, kelestarian dan menjaga hijaunya hutan dan lingkungan lestari mereka, tapi negara ini malah menyiapkan perang bagi aktivis dan elemen masyarakat yang mereka anggap menjalankan ’propaganda’ anti sawit. Lihat saja, statemen dari Direktur Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, Ir Achmad Manggabarani seperti yang pernah dilansir oleh Pontianak Post. Bahwa Pemerintah Indonesia dan Malaysia sepakat mengumpulkan dana untuk melawan semua kampanye negatif terhadap ekspansi perkebunan kelapa sawit di dua negara tersebut. Seakan-akan negara ini perlu mengambil tindakan layaknya menghadapi kaum separatis saja yang bernama ’Gerakan Anti-Sawit,” sehingga harus dihentikan.

Ditambahkan pula seperti yang disampaikan pejabat publik pemerintahan yakni Sekda Ketapang yang menuding bahwa masyarakat yang menolak sawit adalah provokator. Argumennya tetap sama, bahwa sawit adalah komoditas ekspor yang menggiurkan, menghasilkan devisa dan bakal mensejahterakan rakyat. Lebih lanjut aparatur Departemen Pertanian ini menyatakan bahwa ”kita ini negara yang dianugerahi, Negara lain tidak bisa mengembangkan sawit karena tanahnya tidak cocok. Kita memiliki potensi untuk itu. Jadi sangat rugi, kalau potensi itu tidak bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin,”.

Entah pembenaran yang dipaksakan itu datang darimana, yang jelas Pak Dirjen pura-pura tidak tahu dengan adanya efek negatif nyata akibat perkebunan sawit yang semakin dipaksakan ekspansinya tersebut, rakyat semakin tertindas, tergusur dari hak-hak kepemilikan mereka, dan lingkungan semakin terdegradasi. Pertanyaannya, siapa yang sejahtera, dan untuk siap yang menikmati hasil tersebut, rakyatkah atau pemilik modal (baca: kapitalis) yang di ’backing’ negara. Bukankah hanya untuk pemilik modal kapitalis dan penguasa yang memberi izin dan mendapatkan nilai kontrak yang dapat untung. Sedangkan rakyat jadi kuli dan terjajah di tanah sendiri, belum lagi dampak negatifnya seperti bencana dan sebagainya.

Kemudian tak cukup itu, Dirjen menyatakan lagi agar para kelompok-kelompok yang menolak kelapa sawit bisa lebih arif. Dan, dengan bahasa ala Rezim, Dirjen menegaskan bahwa “Harus dikedepankan kepentingan nasional. Persoalan lingkungan yang selama ini dikampanyekan, kita sudah terapkan sistem terpadu yang komprehensif,”. Cukup kuatkah argumen itu?

Pertanyaannya, sistem terpadu seperti apa yang diterapkan dan terbukti mampu mengeliminir laju perusakan hutan dan semakin tidak seimbangnya daya dukung lingkungan akibat sawitisasi. Pernyataan Pak Dirjen yang mudah-mudahan terhormat hanya menampilkan sisi keuntungannya saja, bahwa kelapa sawit menjadi komoditas ekspor nomor dua setelah tekstil di luar minyak dan gas.

Bahwa hingga tahun 2006, nilai ekspor kelapa sawit mencapai USD 4,3 miliar dengan total produksi sebanyak 1,5 juta ton. Sehingga kelapa sawit dianggap menjadi andalan penghasil devisa bagi negara. Terang saja akan menggiurkan, tapi coba kaji efek negatifnya.

Namun itulah negara yang sudah memang setali tiga uang dengan kepentingan pemilik modal. Padahal pada sisi yang lain, kehidupan masyarakat yang bertopang pada sektor pertanian dan perkebunan dengan berbagai keanekaragaman tanaman, cukup besar dan potensial untuk dikembangkan. Karena perkebunan rakyat seperti karet, kopi dan lada merupakan salah satu tulang punggung terbesar perekonomian rakyat yang lebih menjanjikan, untuk penjualan hasil produksipun bisa kompetitif karena tidak hanya satu arah ke pabrik dan monopolistik seperti sawit. Persoalan kepemilikan pun langsung dimiliki oleh masyarakat, bukan dikuasai pemilik modal.

Jika perkebunan sawit yang terus dikembangkan dengan mengkonversi hutan yang ada, maka belajarlah pada beberapa kasus di daerah-daerah yang telah ada, memang secara jangka pendek berdampak baik bagi pertumbuhan perekonomian, namun berdampak negatif dalam jangka panjang, baik bagi pengembangan perkebunan lain, pertanian juga bagi kelestarian lingkungan karena akan berdampak merusak lingkungan dan hutan. Kerugiannya bukan saja secara ekonomi, tapi kehancuran ekosistem, keanekaragaman hayati, penghancuran kultur sosial budaya masyarakat setempat, bencana alam banjir, erosi, longsor dan sebagainya karena keseimbangan ekosistem semakin tidak menentu.

Lihatlah bencana banjir yang terjadi di beberapa daerah seperti beberapa Kabupaten di Sumatera Utara dan Riau, juga di beberapa Kabupaten di Kalimantan Barat, jika musim penghujan tiba maka akan kebanjiran, sedangkan jika musim kemarau berkepanjangan maka akan kekeringan, bukankah hal ini terjadi akibat daya dukung hutan yang melemah sehingga tak mampu menjadi tanggul hidup yang menyerap dan menahan air, sebab daerah resapan air berkurang karena telah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan besar sawit.

Padahal fenomena perkebunan kelapa sawit, bukan rahasia umum lagi juga merupakan kedok penguasaan lahan dan perampokan hutan atas nama perkebunan. Sistem pengelolaan hutan yang diserahkan ke swasta tidak membuat masyarakat sejahtera, masyarakat pinggiran hutan tetap saja miskin, malah terus dikadali, malah menimbulkan konflik. Toh perkebunannya juga tidak membawa hasil yang bisa diharapkan untuk mensejahterakan masyarakat. Penguasa dan pengusaha sangat pintar dalam mengibuli masyarakat yang relatif polos dengan janji dan berbagai argumen bahwa jika hutan ditebang dan jika hutan dijadikan perkebunan maka akan mensejahterakan.

Contoh nyata seperti yang terjadi daerah saya, yakni di Kabupaten Kayong Utara, yang baru-baru ini terjadi permasalahan antara masyarakat Desa Matan Jaya Kecamatan Simpang Hilir Kabupaten Kayong Utara dengan pihak PT. Cipta Usaha Sejati (PT. CUS), yakni tentang indikasi adanya kesalahan prosedur dalam penggunaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit oleh PT. CUS terhadap lahan, tanah, perkebunan dan ladang milik masyarakat setempat.

Masyarakat desa tersebut merisaukan dan sempat melaporkan ke parlemen daearh setempat mengenai pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit oleh PT. CUS yang menimbulkan dampak negatif yang merugikan masyarakat setempat. Masyarakat merasa dirugikan atas pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit tersebut, karena lahan, tanah, perkebunan, dan areal ladang hingga pemukiman milik masyarakat yang digarap tanpa kompromi oleh pihak perusahaan, seperti di daerah yang paling dominan untuk lahan garapan yang terletak di areal Bukit Mulung, Mungguk Jereng serta di areal peladangan Payak Air Putih yang berada di Dusun Air Manis Desa Matan Jaya Kecamatan Simpang Hilir Kabupaten Kayong Utara, dan masih banyak lokasi lain yang disampaikan masyarakat setempat.

Modusnya sederhana saja, sepanjang yang dapat terlihat dan dipantau, banyak daerah-daerah yang masih terbakar, dengan hipotesa adanya indikasi kesengajaan dari pihak perusahaan untuk menghilangkan bukti bahwa areal tersebut adalah milik masyarakat. Sedangkan mengenai batas area masyarakat, ganti rugi dan perkebunan plasma yang dijanjikan oleh pihak perusahaan belum ada kejelasan. Malah dalam pertemuan yang pernah difasilitasi oleh parlemen setempat, masyarakat menyatakan bahwa pihak perkebunan tidak menghargai eksistensi perangkat desa diwilayahnya masing-masing, hanya karena/dengan dalih pihak perusahaan sudah mendapatkan rekomendasi dari Bupati atau pejabat yang lebih tinggi, terhadap pembukaan lahan tersebut.

Kemudian masyarakat menyatakan kurang adanya sisi positif yang diterima masyarakat akan keberadaan perusahaan pada wilayahnya, dengan tingkat perekonomian masyarakat yang rendah, tidak seperti yang mereka harapkan, malah seakan masyarakat tidak dapat berperan serta atau dengan kata lain masyarakat hanya sebagai penonton dan tidak mendapatkan apa-apa. (Sumber: Catatan Pribadi yang di komparasikan dengan hasil Kunjungan Kerja DPRD KKU).

Namun lagi-lagi penyelesaian tak kunjung datang, pemerintah dan parlemen daerah setempat juga cenderung abai dan membiarkan, malah mendiamkan persoalan ini agar dengan sendirinya akan hilang. Jika begini adanya, maka tampak sekali bahwa hak-hak warga ditindas dan dimarjinalkan. Pemerintah yang berkewajiban untuk membela hak-hak warga apalagi jika terkait dengan status fungsi lahan dan hutan seharusnya mengambil tindakan yang pro rakyat dan pro lingkungan, bukan malah mendiamkan atau “pro pihak perusahaan-pemodal.”Sekarang tidak semua masyarakat bisa dibodoh-bodohi dengan kalimat bahwa sawit menyejahterakan.

Mestinya negara sadar untuk tidak memaksakan diri mendorong investor sawit untuk merusak hutan, kehidupan sosial-budaya, merampas hak ulayat, merampas sumber penghasilan mereka melalui kebun dan hasil hutan serta pertanian, dan menindas rakyat atas nama kesejahteraan ala sawit. Pemerintah saya rasa bukannya tuli, tapi telah kehilangan nurani dan suara hati, bahwa yang harus disejahterakan adalah rakyatnya, bukan mementingkan kepentingan pribadi dan pemilik modal. Begitu habis masa jaya sawit yang cuma 10-15 tahun, siapa yang menanggung kerugian akibat tanaman monokultur ini yang bisa mencapai puluhan tahun.


Siapa yang menanggung beban derita akibat bencana banjir, kekeringan dan hilangnya mata pencaharian serta rusaknya tatanan sosial-budaya. Kemudian, seharusnya para aparat pemerintahan baik mulai dari dinas, DPRD sampai kepada camat dan bahkan kepala desa, janganlah buta mata-buta telinga, atau malah mengatas-namakan masyarakat desa menyatakan persetujuan, mengundang investor sawit, masuk tanpa pernah dengan cerdas memahami efek negatifnya. Apalagi jika kebijakan diambil tanpa melibatkan masyarakat.

Jangan menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki, seakan-akan rakyat itu tak mengerti apa-apa. Sungguh luar biasa kebijakan negara ini, sudah seperti begitu tunduk kepada kekuatan modal dengan kebijakan melepaskan segala pengelolaan sumber daya alam termasuk hutan untuk perkebunan besar seperti sawit atas nama kesejahteraan. Para pengambil kebijakan harusnya menyadari, bahwa dalam tiap kebijakan yang dibuat hendaknya jangan sekadar dilihat dari satu perspektif saja yakni perspektif nilai ekonomisnya, tapi harusnya mempertimbangkan keseimbangan ekologis.

Stop Ekspansi dan Konversi Hutan untuk Perkebunan Besar! Ini harusnya menjadi mindset berpikir para pengambil kebijakan jika mereka menyadari bahaya ekspansi dan konversi skala besar hutan untuk perkebunan. Jika hal ini tidak dilaksanakan maka, boleh jadi luas areal hutan hijau dari hari ke hari, bulan ke bulan dan tahun ke tahun akan semakin berkurang drastis, yang tentunya semakin mengurangi daya dukung lingkungan, sehingga kitapun akan semakin sering melihat terjadinya bencana baik bencana alam, dan bencana sosial berupa perubahan sosial kultur yang negatif, konflik sosial dan sebagainya.

Stop Ekspansi dan Konversi Hutan untuk Perkebunan Besar! Ini juga harus terus dikampanyekan secara massif baik oleh elemen masyarakat sipil dan kelompok penekan (pressure group), sehingga terbangun gerakan yang terintegrasi dan mampu mempengaruhi opini dan kebijakan, dengan harapan adanya perubahan kebijakan yang pro penghentian konversi hutan tersebut baik di tingkat nasional maupun di daerah-daerah. Dengan adanya kesefahaman bersama bahwa hutan harus dijaga agar tidak terlalu mudah mengubah fungsi hutan menjadi perkebunan besar, maka mudah-mudahan laju deforestisasi dapat diminimalisir, sehingga kita dapat mewariskan kepada generasi berikutnya, hutan yang masih hijau dengan segala keaneka-ragaman hayati di dalamnya. Semoga!

Konflik Lahan di Sumsel Mulai Dimediasi Komnas HAM

http://news.okezone.com/read/2008/07/03/1/124320/konflik-lahan-di-sumsel-mulai-dimediasi-komnas-ham

(Musim Mas)

Konflik Lahan di Sumsel Mulai Dimediasi Komnas HAM

Arpan Rachman - Okezone
Kamis, 3 Juli 2008 13:00 wib
PALEMBANG - Perebutan lahan antara masyarakat Desa Sinar Harapan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, dengan PT Berkat Sawit Sejati (BSS) mengundang perhatian Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM).

Dari pemetaan posisi kasus yang dilakukan Sub Komisi Mediasi Komnas HAM, diketahui 73 hektare lahan diklaim PT BSS sebagai bagian dari Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan perkebunan itu.

"Dari 73 ha lahan, 50 ha sudah dibersihkan PT BSS, termasuk telah dibuat parit gajah dan tanam-tanaman warga sudah dibersihkan," kata Syarifuddin Lukman Simeule dari Subkom Mediasi Komnas HAM kepada para wartawan di Palembang, Kamis (3/7/2008).

Dijelaskan, yang dilakukan Komnas HAM dalam kunjungannya ke Desa Sinar Harapan antara lain mengunjungi warga yang membuat pengaduan serta memverifikasi dokumen-dokumen terkait, baik di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumsel, Pemkab Muba, maupun Pemprov Sumsel.

Dalam pertemuan dengan jajaran pemerintah, Syarifuddin menuturkan, terutama yang diminta Komnas HAM apa tindakan yang telah dilakukan otoritas setempat.

"Komnas HAM mendesak penyelesaian kasus ini secepatnya dengan mengacu kepada instrumen-instrumen HAM. Sesuai Pasal 71 UU 39/1999 yang menyebut bahwa pemerintah wajib menghormati dan bertanggung jawab atas Hak-hak Asasi Manusia, termasuk bila hak-hak warga negaranya dilanggar," pungkas Syarifuddin.

SPI Cabang Asahan tuntut penyelesaian sengketa tanah

SPI Cabang Asahan tuntut penyelesaian sengketa tanah


ASAHAN. Ratusan massa yang tergabung dalam Serikat Petani Indonesia (SPI) Kabupaten Asahan mendatangi Kantor Bupati Asahan (5/3) menuntut penyelesaian sengketa tanah yang dialami oleh anggota SPI Basis Simpang Kopas dan SPI Basis Sei Kopas Kecamatan Bandar Pasir Mandoge Kabupaten Asahan dalam usaha merebut kembali lahan pertanian milik mereka yang dikuasai oleh PT Jaya Baru Pratama dan PT Bakrie Sumatera Plantation.

Pada tahun 1949 masyarakat yang berasal dari Tomuan Holbung dan Desa Huta Padang membuka lahan pertanian dan sekaligus membuka perkampungan. Perkampuang yang mereka diami diberi nama Sordang Tonga-tonga (Desa Simpang Kopas – sekarang). Pada saat itu pemerintahan masih bersistem kewedanaan (setingkat desa) dan Desa Huta Padang masih dipimpin oleh kepala kampong M. Bosir Sinurat. Tahun 1984, diadakan pencekingan atas areal masyarakat oleh oknum penguasa desa dengan alasan akan digantirugikan dengan pihak perusahaan, tanpa ada musyawarah tentang harga atas areal/tanah yang dikelola oleh masyarakat. Kemudian memanggil pemilik tanah untuk menerima ganti rugi atau lap keringat tanpa diketahui harga dan luas areal masing-masing penduduk yang diambil yang diambil tanahnya dan disuruh menandatangani tanda terima uang. Ternyata uang lap keringat hanya Rp 25.000/Ha dibagikan per orang tanpa melihat luas lahan yang dikelola masyarakat. Jika masyarakat menolak dan tidak bersedia menerima ganti rugi tersebut diintimidasi dan dituduh sebagai PKI atau penghalang pembangunan, sehingga intimidasi dan penindasan oleh oknum petugas pengawas pihak perusahaan untuk mengerjakan lahan tersebut. Lahan seluas 600 Ha saat ini dikuasai oleh PT Jaya Baru Pratama yang jelas-jelas tidak memiliki HGU.

Sementara itu, pada tahun 1953 masyarakat Sei Kopas membuka lahan di Desa Silau Jawa (Desa Sei Kopas – sekarang). Tahun 1983, Bupati Asahan pada waktu itu (Bahmit Muhammad – red) melalui Kepala Desa Silau jawa dan Huta Padang menghimbau agar masyarakatnya menginventariskan tanah tersebut kepada pemerintah setempat dengan maksud agar dijadikan pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat – red) dan menunjuk PT USP (Usaha Swadaya Pradana – red) sebagai bapak angkat dari program PIR. Tahun 1989, Bupati (Bahmit Muhammad) mengalihkan lahan kepada pihak-pihak pribadi staff PT Usaha Swadaya Pradana.

Selanjutnya PT Usaha Swadaya Pradana, yang ditunjuk sebagai bapak angkat pola PIR, merubah nama perusahaannya menjadi PT United Sumatera Plantation. PT United Sumatera Plantation menggunakan kesempatan untuk memperluas arealnya dengan menanami pohon karet ke daerah perladangan Sionggang Kecamatan Bandar Pasir Mandoge seluas kurang lebih 1.442 Ha, tanpa ada izin surat-surat penggarapan. Dari lahan yang digarap PT USP, seluas 674 Ha di dalamnya adalah lahan milik masyarakat Silau Jawa (sekarang Sei Kopas) dan Huta Padang. Tahun 1998, bapak angkat pola PIR mengusulkan izin HGU kepada Gubernur Sumatera Utara, namun ditolak dan ditangguhkan karena masih tergolong dalam lahan sengketa, dengan dikeluarkannya SK Gubernur Sumatera Utara Nomor: 593.05/1392/K tahun 1998. Melalui SK tersebut telah dibentuk tim penertiban Permasalahan Garapan Penduduk di Areal PTPN II dan lainnya di Propinsi Sumatera Utara. Besar kemungkinan dikarenakan ketidakmampuan dalam pengelolaan maupun dalam pengurusan HGU. PT USP mengalihkan lahan sengketa kepada PT Bakrie Sumatera Plantation. Sampai saat ini lahan seluas 220 Ha tersebut masih dikuasai oleh PT Bakrie Sumatera Plantation.

Sejak bergulirnya masa reformasi masyarakat menghimpun kekuatan untuk merebut kembali lahan mereka, masyarakat yang tinggal di Desa Simpang Kopas bergabung menjadi anggota SPI Basis Simpang Kopas berjuang merebut kembali lahan mereka seluas 600 Ha yang dikuasai oleh PT Jaya Baru Pratama. Sementara itu masyarakat yang bermukim di Desa Sei Kopas menggabungkan diri menjadi anggota SPI Basis Sei Kopas berjuang merebut kembali lahan mereka seluas 220 Ha yang dikuasai oleh PT Bakrie Sumatera Plantation.

Dalam perjalanan memperjuangkan lahan ini, berbagai tindakan intimidasi dan kekerasan kerap terjadi. Walau demikian berbagai usaha juga ditempuh untuk merebut kembali lahan tersebut, mulai dari membuat pengaduan ke pihak Legislatif, Eksekutif, dan BPN, dari tingkat Kabupaten hingga Propinsi yang masih dalam proses penyelesaian, bahkan petani anggota SPI Basis Sei Kopas juga melakukan pendudukan terhadap lahan dengan membangun gubuk-gubuk di lahan serta menanami lahan dengan tanaman pangan seperti ayur. Hal ini dilakukan selain untuk mempertahankan lahan milik mereka juga sebagai upaya meningkatkan taraf ekonomi.

Kali ini kembali petani anggota SPI Basis Simpang Kopas dan SPI Basis Sei Kopas membuat pengaduan dengan malakukan aksi bersama dengan anggota SPI Kabupaten Asahan di Kantor Bupati Asahan, menuntut agar pihak Pemkab Asahan segera menyelesaikan sengketa lahan yang dihadapi ini. Massa diterima oleh Asisten I Pemkab Asahan Zulkarnaen yang berjanji dalam dua minggu ini akan mengundang kedua perusahaan (PT Jaya Baru Pratama dan PT Bakrie Sumatera Plantation – red) untuk berdialog mengenai lahan yang dalam sengketa. ”Untuk selanjutnya kami juga akan mengundang anggota SPI Kabupaten Asahan setelah pertemuan tersebut” lanjut Zulkarnaen.

Pihak BPN Kabupaten Asahan juga hadir dalam kesempatan ini, dan mereka membenarkan bahwa PT Jaya Baru Pratama tidak memilik HGU. Namun, ketika massa meminta surat keterangan tidak memiliki HGU pihak BPN Kabupaten Asahan tidak mau memberikannya. ”BPN Asahan mengarahkan agar kami meminta langsung ke Kanwil BPN Sumut. Kami dijadikan seperti bola, karena jika kami meminta ke Kanwil BPN Sumut maka akan dianjurkan ke BPN Kabupaten” kata Zubaidah Ketua SPI DPC Asahan.

3.400 Hektar Lahan Dalam Status Konflik

http://regional.kompas.com/read/2011/09/20/05535858/3.400.Hektar.Lahan.Dalam.Status.Konflik

(Bakrie)

PADANG, KOMPAS.com - Seluas 3.400 hektar lahan di Sumatera Barat berada dalam status konflik agraria dengan perusahaan perkebunan seperti PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI dan Bakri PT Bakrie Sumatra Plantation.

Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Barat Sukardi Bendang, di Padang, Senin (19/9/2011) mengatakan, sebanyak 2.000 hektare berada di Air Bangis, Kabupaten Pasaman Barat, 600 hektare di Batang Lambau, Kinali, Kabupaten Pasaman Barat, dam 800 hektare di Gunung Melintang Kabupaten Limapuluh Kota.

"Di Air Bangis terdapat sekitar 766 petani, di Kinali 200 petani dan 300 petani di Kinali," ujarnya dalam diskusi peringatan Hari Tani Nasional di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang, Jalan Gandariah I No 9 C, Padang.

Menurut dia, konflik agraria tersebut disebabkan karena tidak jelasnya hak guna usaha yang diberikan perusahaan kepada petani dan adanya klaim dari masyarakat bahwa tanah yang digarap merupakan milik mereka.

"Saat ini sengketa tersebut masih dalam tahap proses mediasi di Badan Pertanahan Nasional dan kita tidak bisa menjamin urusan ini dapat diselesaikan tanpa ada pihak yang dirugikan terutama bagi petani kecil," katanya.

Selama ini, lanjutnya masyarakat petani kerap kali dirugikan karena hanya pihak perusahaan yang difasilitasi dalam penyelesaian konflik agraria tersebut.

Untuk mengatasi hal itu, Sukardi menyebutkan SPI telah mengirimkan surat kepada Presiden agar segera membentuk Badan Otoritas Sengketa Agraria karena dalam sengketa ini bukan hanya menyangkut soal perdata.

Namun, harapan pembentukan badan itu buntu setelah presiden membalas surat yang dikirimkan tersebut agar konflik yang ada dimediasi oleh Badan Pertanahan Nasional.

"Selama ini, hanya digunakan Undang-undang Agraria jika ada konflik seperti itu, sementara peraturan lain seperti ketetapan MPR dan regulasi lain diabaikan apalagi persoalan itu bukan hanya menyangkut soal perdata saja melainkan ada unsur adat dan tanah ulayat," paparnya.

Walau demikian, dia berharap kasus agraria ini dapat terselesaikan sebagaimana mestinya dan tidak sampai dalam persidangan di pengadilan.

"Sidang di pengadilan membutuhkan biaya yang besar karena harus melewati persidangan di Pengadilan Negeri, pengadilan negeri bahkan sampai ke Mahkamah Agung," ujarnya.

Warga Binasari Tuntut PT ANJ Agri Kembalikan Lahan

http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/05/14/34254/warga_binasari_tuntut_pt_anj_agri_kembalikan_lahan/#.T1IB1B29UvN

(Austindo)

Sumatera Utara
Sabtu, 14 Mei 2011 08:04 WIB
MedanBisnis – Medan. Warga Dusun Binasari, Desa Huta Pardomuan, Kecamatan Angkola Selatan, Tapanuli Selatan menuntut PT PT Austindo Nusantara Jaya (ANJ) Agri Siais mengembalikan lahan seluas 1.200 hektare kepada warga. Tidak hanya itu, warga juga meminta Badan Pertahanan Nasional (BPN) Pusat tidak mengabulkan dan menerbitkan izin HGU atas permohonan perluasan lahan 2.750 hektare. (chandra siregar)
"PT ANJ Agri telah melakukan penyerobotan terhadap lahan warga dan sampai saat ini persoalan ini belum selesai," ujar Ketua Wahana Masyarakat Binasari Mandiri, Pendi Tambunan, didampingi Kepala Dusun Binasari II Amron Daulay, tokoh masyarakat H Muhammad Nur Harahap dan Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut, Syahrul, di Kantor Walhi Sumut, Jalan Sei Serapuh, Medan, Jumat (13/5).

Dikatakannya, perkampungan Binasari diresmikan pada 1998 dan saat itu terjadi transmigrasi lokal oleh Pemkab Tapsel. Dimana, lanjutnya, warga yang tinggal disana diberikan lahan seluas 2,5 hektare, termasuk lahan perumahan untuk warga.

"Tahun 2004, PT ANJ Agri masuk ke Binosari dan melakukan penyerobotan dengan merusak lahan perkebunan warga dengan cara tindak kekerasan," katanya. Dijelaskannya, warga Binasari telah melakukan perlawanan guna mendapatkan hak-haknya kembali termasuk dengan menduduki Kantor DPRD Tapsel selama 98 hari. "Namun kami diusir oleh pihak kepolisian dan Satpol PP dan tidak membuahkan hasil," ungkapnya.

Pendi tidak membantah sudah ada kesepakatan yang dilakukan dengan pihak PT ANJ Agri dengan warga Binasari lainnya dengan memberikan lahan seluas 876,9 hektare dijadikan kebun plasma. "Setelah dilakukan pendataan, lahan tersebut akan dibagikan kepada 205 Kepala Keluarga (KK) yang berdomisili di Binasari," terangnya.

Namun, lanjutnya, dalam melakukan sosialisasi kesepakatan tersebut, hanya 35 KK yang diundang oleh PT ANJ Agri. Sehingga hanya 35 KK yang menerima lahan tersebut dengan luas 2 hektare per KK.

"Ini kan menandakan ada upaya untuk memecah belah warga Binasari. Tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan konflik antar warga," tegasnya.

Dia juga menuding, dengan adanya 35 KK yang menerima lahan tersebut akan dijadikan PT ANJ Agri sebagai bahan pertimbangan agar BPN Pusat mengabulkan permohanan perluasan lahan HGU.

"Mereka akan mengklaim, permasalahan ini akan selesai. Padahal sampai saat ini banyak warga yang tidak mendapatkan kebun plasma dan kami juga tidak tahu dimana letak lahan yang diberikan ke warga itu," tegasnya.

Amron Daulay menambahkan, dari permohonan perluasan lahan HGU seluas 2.750 hektare yang diajukan oleh PT ANJ Agri, termasuk di dalamnya seluas 200 hektare merupakan lahan perkampungan atau perumahan.

"Lahan kami sudah diambil, sekarang malah rumah dan perumahan kami pun ingin diambil juga," katanya sembari berharap BPN Pusat tidak menerbitkan dan memberikan izin perluasan HGU.
Divisi Hukum Kelompok Usaha PT ANJ Agri, Maharlika Wiedhayaka, saat dikonfirmasi MedanBisnis membantah pihaknya telah melakukan penyerobotan lahan warga Binasari. "Gak ada itu, justru kami memberikan lahan seluas 876,9 hektare kepada warga dalam bentuk kebun plasma," tegasnya.

Terkait perluasan, lanjutnya, pihaknya memang mengajukan permohonannya ke BPN Pusat. Lahan perumahan warga, lanjutnya, akan dilakukan konservasi karena daerah tersebut merupakan daerah rawan bencana.

"Daerah itu kan dibawah perbukitan dan pada tahun 2005 terjadi longsor yang mengakibatkan lima orang tewas," katanya.

Sebelumnya, Direktur Corporate Services PT ANJ Agri Siais, Hari Witono, pada acara penyerahan hasil perdana perkebunan pola kemitraan (plasma) kepada 35 warga Binasari, di kantor perusahaan itu, Desa Huta Pardomuan, Sabtu, 30 April 2011, menjelaskan bahwa sebenarnya ada sekitar 61 KK warga Binasari yang berhak atas program kemitraan ini.

Namun, sebagian di antaranya belum menyatakan persetujuannya. Meski demikian, pihak perusahaan masih membuka pintu selebar-lebarnya bagi warga yang ingin bergabung.
(chandra siregar)

Pemkab, DPRD Palas Dan ANJ Sosialisasi Putusan MA

http://waspadamedan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=15788:pemkab-dprd-palas-dan-anj-sosialisasi-putusan-ma&catid=51:medan&Itemid=206

(Austindo)

Pemkab, DPRD Palas Dan ANJ Sosialisasi Putusan MA
Articles | Medan
Written by Syafri Harahap on Monday, 05 December 2011 04:20

MEDAN (Waspada): Pemerintah Kabupaten bersama DPRD Padanglawas dan PT Austindo Nusantara Jaya (ANJ) Agri Binanga menggelar sosialisasi putusan Mahkamah Agung (MA) No.1021 K/pdt/2010 terkait perkara tuntutan atas tanah ulayat Desa Ramba, Kecamatan Huristak, Kabupaten Padang Lawas.


Acara sosialisasi berbentuk dialog langsung dengan masyarakat itu, digelar di lahan perkebunan sawit yang menjadi sengketa antara PT ANJ Binanga, Kabupaten Padang Lawas dengan warga setempat, Senin (28/11).


Pantauan Waspada di lapangan, dalam sosialisasi tersebut, pihak Pemkab diwakili Kabag Hukum dan Camat Huristak terkesan tidak mampu menyampaikan secara tegas hasil putusan MA dan membuat bingung pihak PT ANJ serta masyarakat Desa Ramba.


Camat Kecamatan Huristak Asnan Siregar mengungkapkan, jika dirinya tidak tahu menahu adanya sengketa maupun pendudukan warga dilahan perkebunan PT ANJ Binanga. “Kepala Desa Rimba tidak pernah memberi tahu saya, adanya konflik warga dengan PT ANJ Binanga ini. Makanya, saya belum dapat berkomentar banyak terkait putusan MA ini,” katanya.


Sementara Kabag Hukum Pemkab Palas Ellin Haposan Rangkuti mengatakan, jika camat tidak tahu soal ini konon juga dirinya.


Kabag mengaku heran, atas adanya dua putusan MA terkait sengekata lahan tersebut yaitu putusan MA RI reg 599/Kpdt/1999 yang dimiliki Sutan Guru Hasibuan dan putusan MA RI no 1021 K/pdt/2010 yang dimiliki PTA ANJ Binanga.


“Jika dua putusan itu benarbenar asli. Maka benarlah putusan itu telah berkekuatan hukum tetap, “ujarnya.


Ungkapan yang mencerminkan ketidaktegasan juga diutarakan, sejumlah anggota DPRD Palas dari komisi II. “Baiknya permasalahan ini dibicarakan di gedung DPRD Palas saja. Yakinlah akan ada solusi terbaik atas kasus ini. Jaga ketertiban selama pendudukan, jangan terjadi insideninsiden kekerasan,” pinta anggota DPRD Palas Haris Simbolon kepada warga dan manajemen PT ANJ Binanga.


Sedangkan Sutan Guru Hasibuan yang mewakili warga kembali menegaskan, putusan MA RI reg 599/kpdt/1999 adalah yang paling benar. “Saya tidak pernah perkara dengan PT ANJ dan Abdul Karim, makanya saya heran atas putusan MA RI No 1021/pdt/2010. Dari nenek moyang dulu, tanah ini sudah milik kami,”terangnya.


Menanggapi pernyataan masyarakat dan pihak pemerintah serta legislatif tersebut, Febriyanti Bangun yang mewakili manajemen PT ANJ mengungkapkan, pihaknya bersedia melanjutkan dialog di gedung DPRD Palas.


“Kami sangat bersedia menerima tawaran DPRD dan Pemkab Palas itu. Kami tunggu undangannya, “ terangnya sembari menyebut jika PT ANJ selalu mengedepankan upaya persuasif dalam menuntaskan sebuah perkara.


Namun ketika Febri meminta agar warga tidak lagi melakukan pendudukan di lahan milik PT ANJ selama proses dialog atau sosialisasi berlangsung, warga tibatiba berteriak menolak permintaan tersebut.


Setelah berlangsung selama dua jam, acara sosialisasi yang dibarengi dengan dialog itu akhirnya berakhir tanpa kesimpulan. Hanya saja disepakati dialog dilanjutkan digedung DPRD pekan depan.


Usai sosialisasi Febri mengungkapkan kekecewaannya atas komentar yang tidak tegas pihak DPRD dan Pemkab Palas atas putusan MA tersebut.

“Padahal, pihak Pengadilan Negeri (PN) P. Sidimpuan dengan tegas menerangkan secara gamblang kepada mereka akan putusan MA tersebut, “ ujar Febri seraya menambahkan pihaknya segera melakukan upaya hukum atas pendudukan lahan sawit milik PT ANJ Binanga itu.


Sebagaimana diketahui, pada 26 Oktober 2011 sekelompok masyarakat dari Desa Ramba Kecamatan Huristak Kabupaten Palas melakukan pendudukan atas perkebunan sawit milik PT ANJ Binanga.


Sekelompok masyarakat itu mengatasnamakan Sutan Guru Hasibuan dan mengklaim bahwa perkebunan sawit milik PT ANJ Binanga yang berbatasan dengan Desa Ramba merupakan milik Sutan Guru Hasibuan.


Dalam pendudukan yang telah berlangsung selama sebulan itu, warga menghentikan segala kegiatan operasional perkebunan PT ANJ Binanga dengan ancaman kekerasan.


Meski demikian pihak PT ANJ Binanga tetap berupa melakukan penyelesaian dengan persuasif berupa pengikutsertaan masyarakat termasuk unsur Pemkab Palas. (m40)

Knowing Malaysian Palm Oil Investors in Indonesia

https://www.palmoilmagazine.com/news/8504/knowing-malaysian-palm-oil-investors-in-indonesia   Main News | 21 January 2021 , 06:02 WIB ...