POTRETTERKINI.COM,
Pekanbaru – Surya
Darmadi alias Apeng bos PT Duta Palma sebelumnya diduga secara
sengaja menyuap Gubri untuk legalkan puluhan ribu hektar kebun sawit
di Indragiri Hulu (Inhu), Riau.
“Sudah
kita periksa Surya Darmadi alias Apeng pada Jumat tanggal 24 Oktober
2014 kemarin oleh penyidik KPK di ruang Catur Prasetya Sekokolah
Polisi Negara (SPN) Jalan Patimura Pekanbaru,” kata Kabag
Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha dkontak ponselnya
tadi ini.
Priharsa
menjelaskan selain Apeng, sejumlah petinggi perusahaan perkebunan
tersebut juga telah diperiksa penyidik KPK terkait dugaan suap
terhadap Gubernur Riau Annas Maamun untuk memuluskan proses izin alih
fungsi hutan menjadi lahan perkebunan. “Kantor PT Duta Palma di
belakang purna MTQ kita geledah,” urainya.
Perusahaan
perkebunan itu diperiksa penyidik KPK menguatkan dugaan adanya kaitan
kuat dengan kasus yang menyebabkan Gubri nonaktif dan Gulat Manurung
dijadikan KPK tersangka sekaligus ditahan. Namun Gulat Manurung dalam
kesaksiannya menolak adanya suap dari bos PT Duta Palma tersebut.
Informasinya,
ada lima anak perusahaan PT Duta Palma memperluas kebun sawit di
kawasan terlarang. Baik di Hutan Produksi bisa di-Korversikan (HPK)
maupun di Hutan Produksi (HP) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) di
wilayah Inhu.
Kelima
perusahaan tersebut adalah PT Kencana Amal Tani dengan kebun sawit
seluas 4.420 hektar berlokasi di HPK. PT Banyu Bening Utama seluas
7.850 hektar di kawasan HPT dan HP. PT Palma Satu seluas 11.044
hektar di kawasan HPK. PT Siberida Subur dengan kebun kelapa sawit
seluas 2.340 hektar yang ditanam di kawasan HPT. Dan PT Panca Agrindo
Lestari seluas 3.562 hektar di kwasan HPT dan HP.
Versi
pihak Dinas Kehutanan Riau menyebutkan usulan pelepasan kawasan dari
group PT Duta Palma tak ada satupun yang masuk rekomendasi Tim
Terpadu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), namun faktanya saat
diusulkan pada Menteri Kehutanan untuk dijadikan SK, justru
seluruhnya diminta untuk dijadikan kawasan Areal Penggunaan Lain
(APL).
Priharsa
Nugraha membenarkan kalau setiap saksi yang diperiksa dalam kasus
Gubri nonaktif terindikasi punya kaitan dengan kasus tersebut.
“Itu
masih diselidiki dari mana asal uang suap pada Gubernur Riau. Kalau
memang ada kaitan langsungnya, nanti pasti ada perkembangan
selanjutnya,” ujarnya. (*)
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
KASUS
GUBRI NA ANNAS MAAMUN
Surya
Darmadi Terancam Dipanggil Paksa oleh Jaksa
| HUKRIM
Rabu, 08 April 2015 - 21:04:01 WIB
BANDUNG,
RIAUSATU.COM-Jaksa Penuntut Umum (JPU) Tipikor sedang
mempertimbangkan upaya menghadirkan secara paksa Direktur Utama PT
Duta Palma Group Surya Darmadi sebagai saksi sidang perkara suap alih
gungsi lahan dengan terdakwa Gubernur Riau nonaktif Annas
Maamun.
Langkah menghadirkan paksa tersebut dimungkinkan, setelah Surya Darmadi tiga kali mangkir dari panggilan untuk bersaksi di sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Bandung tersebut.
''Ini sudah yang ketiga kali. Setiap kali dipanggil dia menggunakan alasan sakit dan selalu diperiksa di rumah sakit sehari sebelum sidang berlangsung,'' ungkap JPU Tipikor Irene Putri menjawab riauterkini usai menghadiri sidang lanjutan di PN Bandung, Rabu (8/4/15)
Karena selalu berulang, tidak bisa hadir sebagai saksi di sidang dengan alasan sakit, Irene mencurigai sebagai sebuah kesengajaan untuk menghindari kewajiban bersaksi.
Sementara itu, Hakim Ketua Barita L Gaol menyarankan pada JPU Tipikor untuk melakukan pengecekan kondisi Surya Darmadi terlebih dahulu sebelum melakukan pemaksaan untuk menghadiri sidang.
''Dicek dulu kondisinya dan dimusyawarahkan dulu. Pemanggilan paksa bisa dilakukan tapi harus ada nusyawarah dulu antara kami,'' jelas Barita kepada riautekrinicom usai memimpin sidang.
Keinginan menghadirkan paksa Surya Darmadi juga datang dari Ketua Tim Pengacara Annas Maamun, Sirra Prayuna. Jaksa diminta menggunakan power untuk menghadirkan paksa saksi yang selalu mankir dari panggilan.
''Saya menghimbau kepda KPK agar mengeluarkan kekuatanya. Masa ini sudah tiga kali mangkir, dibiarkan. Menteri saja yang sibuk bisa dihadirkan. Kalau dibiarkan bisa menghambat persidangan,'' keluh Sirra.
Keterangan Surya Darmadi dianggap penting, karena dalam dakwaan JPU, ia disebutkan telah menyetor suap Rp3 miliar dari janji Rp8 miliar untuk melegalkan 18 ribu hektar kebun kelapa sawit tiga perusahaan group PT Duta Palma di Indragiri Hulu.
Sementara itu, dalam sidang hari ini, empat saksi dihadirkan JPU Tipikor. Mereka adalah mantan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Direktur Perencanaan Kawasan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kemudian Edison Marudut Marsadaulai Siahaan, Direktur PT Citra Hokian dan Odor Juliana Sidabutar, istri terpidana suap alih fungsi lahan Gulat Manurung.
Sidang lanjutan dengan agenda masih pemeriksaan saksi digelar lagi pada pekan depan, Rabu (15/4/15). (dri)
DIBACA : 1327 KLIK
Langkah menghadirkan paksa tersebut dimungkinkan, setelah Surya Darmadi tiga kali mangkir dari panggilan untuk bersaksi di sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Bandung tersebut.
''Ini sudah yang ketiga kali. Setiap kali dipanggil dia menggunakan alasan sakit dan selalu diperiksa di rumah sakit sehari sebelum sidang berlangsung,'' ungkap JPU Tipikor Irene Putri menjawab riauterkini usai menghadiri sidang lanjutan di PN Bandung, Rabu (8/4/15)
Karena selalu berulang, tidak bisa hadir sebagai saksi di sidang dengan alasan sakit, Irene mencurigai sebagai sebuah kesengajaan untuk menghindari kewajiban bersaksi.
Sementara itu, Hakim Ketua Barita L Gaol menyarankan pada JPU Tipikor untuk melakukan pengecekan kondisi Surya Darmadi terlebih dahulu sebelum melakukan pemaksaan untuk menghadiri sidang.
''Dicek dulu kondisinya dan dimusyawarahkan dulu. Pemanggilan paksa bisa dilakukan tapi harus ada nusyawarah dulu antara kami,'' jelas Barita kepada riautekrinicom usai memimpin sidang.
Keinginan menghadirkan paksa Surya Darmadi juga datang dari Ketua Tim Pengacara Annas Maamun, Sirra Prayuna. Jaksa diminta menggunakan power untuk menghadirkan paksa saksi yang selalu mankir dari panggilan.
''Saya menghimbau kepda KPK agar mengeluarkan kekuatanya. Masa ini sudah tiga kali mangkir, dibiarkan. Menteri saja yang sibuk bisa dihadirkan. Kalau dibiarkan bisa menghambat persidangan,'' keluh Sirra.
Keterangan Surya Darmadi dianggap penting, karena dalam dakwaan JPU, ia disebutkan telah menyetor suap Rp3 miliar dari janji Rp8 miliar untuk melegalkan 18 ribu hektar kebun kelapa sawit tiga perusahaan group PT Duta Palma di Indragiri Hulu.
Sementara itu, dalam sidang hari ini, empat saksi dihadirkan JPU Tipikor. Mereka adalah mantan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Direktur Perencanaan Kawasan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kemudian Edison Marudut Marsadaulai Siahaan, Direktur PT Citra Hokian dan Odor Juliana Sidabutar, istri terpidana suap alih fungsi lahan Gulat Manurung.
Sidang lanjutan dengan agenda masih pemeriksaan saksi digelar lagi pada pekan depan, Rabu (15/4/15). (dri)
DIBACA : 1327 KLIK
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Diperiksa KPK, Big Bos PT Duta Palma Surya Darmadi Lari Terbirit-birit
Penulis
: user | Jumat,
24 Oktober 2014 - 14:15 WIB | Dibaca: 2938 Kali
Beritariau.com,
Pekanbaru - Saat
pemeriksaan marathon terhadap sejumlah saksi kasus dugaan suap Annas
Maamun dan Gulat Manurung oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Jumat (24/10/14), di Ruang Catur Prasetya Sekolah Polisi
Negara (SPN) Polda Riau di Pekanbaru, terjadi pemandangan
menggelikan.
Pantauan
Beritariau.com di lapangan, seorang saksi yang diketahui merupakan
Big Bos perusahaan kebun kelapa sawit PT Duta Palma Nusantara, Surya
Darmadi, usai diperiksa sekitar pukul 11.00 WIB, lari terbirit-birit
menuju mobil Land
Cruiser warna
Hitam dengan nomor polisi B 19 P.
Sumber Beritariau.com di
lokasi pemeriksaan, bahwa pria tua yang lari terbirit-birit itu
adalah Surya Darmadi yang merupakan pemilik perusahaan kebun itu. Ia
datang ditemai dua orang staffnya.
Petugas
KPK yang dikonfirmasi terkait identitas Surya Darmadi tak hanya
terdiam. Biasanya, meski enggan membenarkan, jika saat ditanya
terdiam, maka, pertanyaan ini dibenarkan oleh KPK.
"Apa
harus dijawab untuk membenarkan. Diam kan bisa juga membenarkan,"
ujar seorang penyidik kemarin saat dihujani pertanyaan oleh wartawan
terkait identitas para saksi.
Seperti
diberitakan sebelumnya, kecurigaan publik akan keterlibatan
perusahaan kebun kelapa sawit dalam kasus dugaan suap semakin kuat
sejak penggeledahan markas operasi kantor PT Duta Palma Nusantara di
Riau belakang kawasan Purna MTQ Jalan M Jamil Kecamatan Bukit Raya
Kota Pekanbaru, Senin (20/10/14) lalu.
Pada
penggeledahan itu, sumber Beritariau.com menyatakan
bahwa bukti dan dokumen pengeluaran uang menjadi incaran KPK. Selain
memeriksa jajaran manajemen, KPK juga memeriksa sejumlah komputer
pencatat data transaksi laporan keuangan.
Informasi
yang berhasil dirangkum, seorang pegawai PT Duta Palma Nusantara
berinisial ST, cukup dikenal di jajaran Pemprov Riau. Karena
jabatannya, beberapa sumber di Pemprov Riau cukup mengenal namanya
saat ditanyakan Beritariau.com.
Namun,
saat akan ditanyakan apakah Ia ikut diperiksa saat digeledah di
kantornya, nomor seluler ST yang biasanya aktif, beberapa hari sejak
penggeledahan tak bisa dihubungi.
Bahkan,
konfirmasi terhadap beberapa pemberitaan sebelumnya yang dikirimkan
melalui surat elektronik ke kantor pusat PT Darmex Agro yang menaungi
sejumlah anak perusahaan Duta Palma, tak juga berbalas.
Perlu
diketahui, beberapa bulan belakangan, sejumlah perusahaan grup Duta
Palma cukup sering mendapat sorotan warga.
Selain
di konflik dengan warga di Kabupaten Kuansing yang sempat
"meledak" ,
juga di Kabupaten Pelalawan dan
di Kabupaten Indragiri Hulu. [TIM]
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
IKAM FH UI Minta Agar KPK Menangkap Surya Darmadi
Jakarta,
hariandialog.com.-
Ikatan Keluarga Alumni Magister Fakultas Hukum Universitas Indonesia
(IKAM FH UI) melalui juru bicaranya Said Bakhrie, S.Sos, SH, MH,
meminta agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Surya
Darmadi selaku Dirut dari PT Duta Palma Nusantara.
Ungkapan
Said Bakhrie itu disampaikan melalui siara persnya yang dikirimkan
melalui faximal ke redaksi yang menyebutkan bahwa Annas Maamun mantan
Gubernur Riau telah dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Tipikor dengan
pidana penjara selama 6 tahun, karena terbukti menerima suap dari
Gulat Medali Emas Manurung yang juga sudah di vonis 3 tahun penjara
terkait kasus alih fungsi kawaan hutan di Riau.
Disebutkan
dalam siaran per situ, dari segi beratnya hukuman,vonis terhadap
Annas Maamin dan Gulat Manurung patut diapresiasi karena memang berat
bila dibandingkan kasus serupa. Namun, dari segi penuntasan
perkara tersebut masih terasa menggantung karena pemberi suap sama
sekali belum disentuh oleh KPK. Padahal seperti diketahui Kantor PT
Duta Palma Nusantara, Jalan OK M Jamil, Kec. Bukit Raya, Pekannbaru,
Riau, dimana tempat berkantornya Surya Darmadi sudah digeledah
penyidik KPK pada 20 Oktober 2014 mulai dari pukul 09.00 hingga
14.30. Kendaraan penyidik KPK mobil Innova BM.1493-CL dan BM.1907-SH,
keluar dengan membawa dokumen.
Untuk
kasus suap ahli fungsi hutan dimana terungkap dalamamar putusan
perkara korupsi dengan terdakwa Annas Maamun dan Gulat Manurung
disebut salah satu sumber dana untuk menyuap dalam perkara tersebut
adalah Surya Darmadi selaku pemilik PT Duta Palma Nusantara. Gulat
Medali Emas manurung dalam kasus suap ahli fungsi hutan itu hanyalah
perantara memasukkan lahan PT Duta Palma ke dalam rencana alih
fungfsi lantaran kedekatannya dengan Annas Maamun selaku Gubernur
saat itu.
Lahan
yang diupayakan dalam usulan revisi berlokasi di Kabupaten Indra Hulu
(Inhu) Riau, seluas 18 ribu hectare. Sebelumnya, lahan tersebut
merupakan kaawasan hutan. Namun, Surya Darmadi meminta bantuan Gulat
untuk melobi Annas Maamun (Gubernur Riau) agar dimasukkan menjadi
usulan revisi sehingga diubah menjadi Area Penggunaan Lain (APL) agar
legal dan bisa ditanami sawit.
IKAM
FH UI juga secara tegas menyebutkan dalam Undang-undang Nomor 20
tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi bahwa baik pemberi suap,
perantara suap maupun penerima suap sama-sama melanggar hokum dan
sama-sama harus diadili dan dihukum. Setiap warga Negara mempunyai
kedudukan yang sama dihadapan hukum begitu juga Surya Darmadi.
Sebagai warga Negara Surya Darmadi tidak boleh dibiarkan menjadi
kebal hukum.
Sebut
saja Bupati Bogor, penerima suap, perantara dan pemberi atau orang
yang menyiapkan dana diproses oleh KPK dan semuanya sudah dihukum
melalui vonis majelis hakim Pengadilan Tipikor. Begitu juga
sebelumnya nunjauh kebelakang kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan
dengan pemberinya Artalita Suryani. Kasus Bupati Amran Batalipu
dengan Hartati Murdaya. Kasus Akil Muchtar dengan Ratu Atut
Chosiyah. Untuk itu diharapkan dalam waktu dekat KPK telah
memproses Surya Darmadi hingga ke Pengadilan Tipikor.(tob).
Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Kerabat SBY dan Perampasan Tanah Dayak Iban
Perampasan
Lahan Masyarakat Adat di Perbatasan didukung TNI.
PONTIANAK
- Figur Presiden Soekarno ternyata berperan dalam menentukan pilihan
masyarakat Dayak Iban di perbatasan Desa Semunying Jaya, Kecamatan
Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat, untuk
menjadi Warga Negara Indonesia (WNI).
Itu
terungkap dalam amar putusan hakim Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-X/2013, Kamis, 16 Mei 2013, tentang pengukuhan keberadaan
masyarakat adat. Putusan itu menegaskan, tanah adat milik masyarakat
adat, lokasinya di luar tanah negara, tanah adat bukan milik negara.
Sidang
putusan dibacakan Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Akil
Mochtar, hakim anggota Achmad Sodiki, Ahmad Fadlil Sumadi, Harjono,
Muhammad Alim, Hamdan Zoelva, Maria Farida Indrati, Anwar Usman,
Arief Hidayat, dan Panitera Pengganti Dewi Nurul Savitri.
“Waktu
itu wilayah kedua negara (Indonesia-Malaysia) dibagi. Kala itu
masyarakat adat yang tadinya eksodus diberi pilihan oleh Presiden
Soekarno. Pilihan yang diberikan adalah, ‘apakah masyarakat adat
ingin masuk sebagai warga negara Malaysia atau memilih sebagai warga
Indonesia?’ Saat itu, mereka menyatakan memilih sebagai warga
Indonesia,” demikian amar putusan MK.
Menurut
sejarahnya, orang yang pertama kali membuka daerah Semunying Jaya
adalah Jampung bersama enam saudaranya. Di daerah bernama Bejuan atau
dikenal dengan Tembawang Pangkalan Acan—yang kini terletak di KM 31
wilayah Semunying Jaya—adalah tempat pertama mereka singgah dan
membuka daerah tinggal saat itu.
Dalam
perjalanan berikutnya, mereka saat itu bergeser ke beberapa tempat,
seperti daerah kaki Gunung Kalimau, lalu sampai ke Pareh (kini
menjadi lokasi persawahan), kemudian ke Semunying atas dan daerah
Semunying, serta selanjutnya sampailah ke daerah pusat desa yang kini
dikenal dengan Kampung Pareh.
Kerabat
SBY
Ketulusan
warga Dayak Iban di perbatasan Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten
Bengkayang yang memilih jadi WNI pada era Presiden Soekarno, hilang
sirna saat era Demokrasi.
Lahan
adat suku Dayak Iban seluas 1.420 hektare di Desa Semunying Jaya,
bagian dari 28.000 hektare hutan produksi yang sejak 2006 disulap
menjadi perkebunan kelapa sawit oleh manajemen PT Ledo Lestari—grup
PT Duta Palma Nusantara (DPN) milik Surya Darmadi, pengusaha hitam
kerabat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono—sebelum ada surat
keputusan alih fungsi hutan dari Kementerian Kehutanan.
Sejak
Agustus 2013, Pemerintah Kabupaten Bengkayang mengirim surat kepada
Kepala Badan Pertanahan Nasional dan Menteri Kehutanan di Jakarta,
untuk tidak menerbitkan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) atas nama PT
Ledo Lestari di Kecamatan Jagoi Babang seluas 28.000 hektare. Ini
karena jelas-jelas prosesnya menabrak aturan hukum.
Pada
Juli 2013, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dua kali
mengecek lapangan untuk mengetahui lebih jauh kondisi lahan jarahan
PT Ledo Lestari di Kecamatan Jagoi Babang. Inilah salah satu tindak
kejahatan kehutanan terbesar di Kalimantan. Hal ini semakin
menghebohkan masyarakat karena tindak kejahatan memperalat personel
TNI dan Polri dari Jakarta dalam meneror masyarakat.
Hutan
primer
Surya
Darmadi adalah cukong kelas kakap yang membiayai kampanye
Pemilihan Presiden (Pilpres) Indonesia 2004 dan 2009; Dua pemilu yang
berhasil mengantarkan Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden
Indonesia selama dua periode, 2004-2014.
Ketika terjadi
konflik perampasan tanah adat Dayak Iban di Desa Semunying Jaya 2006,
Mayjen (Purn) Sardan Marbun, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi,
bolak-balik Jakarta-Jagoi Babang dan Bengkayang untuk melindungi
bisnis hitam Surya Darmadi.
Selain
1.420 hektare lahan masyarakat Adat Dayak Iban, amar putusan MK
mengungkapkan masih ada 7.105 hektare lagi areal hutan primer yang
masuk dalam bagian hutan produksi 28.000 hektare yang dijarah Surya
Darmadi di Kecamatan Jagoi Babang.
Pada
2012, majalah Forbes meliris 45 orang terkaya di Indonesia,
menempatkan Surya Darmadi pemilik PT DPN di nomor urut ke-30 dengan
total kekayaan Rp 13,516 triliun.
Korban
Surya Darmadi
Dengan
kekuatan uang, Surya Darmadi lolos dari dua kasus hukum. Surya
Darmadi mampu memperalat petinggi TNI dan Polri sehingga di kalangan
pengusaha perkebunan kelapa sawit dijuluki Panglima TNI Bayangan dan
Kapolri Bayangan.
Surat
Ketetapan Nomor 246/X/2009/Dit Reskrimsus, 30 Oktober 2009
ditandatangani Direktur Reskrimsus Polda Metro Jaya Komisaris Besar
Polisi, Agus K Sutisna, mengeluarkan Surat Perintah Penghentian
Penyidikan (SP3) atas nama tersangka Surya Darmadi, setelah sempat
mendekam di tahanan Polda Metro Jaya atas tindak penipuan penjualan
Bank Kesawan kepada Adi Sumasto, alias Asin sebesar Rp 36 miliar.
Menjelang
akhir 2010, Kapolda Jambi Brigjen (Pol) Dadang Garhadi dan Pangdam
II/Sriwijaya Mayjen TNI Muhammad Sochib dicopot setelah Surya
Darmadi jadi tersangka pengemplangan pajak Rp 300 miliar, melalui
perusahaan perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolahan minyak
mentah kepala sawit PT Deli Muda Perkasa di Kabupaten Batang Hari.
Kapolda
Jambi Brigjen (Pol) Dadang Garhadi dicopot tanpa sebab setelah baru
sebulan menjabat. Kasus Surya Darmadi di Polda Jambi kemudian menguap
begitu saja. Muhammad Sochib kena getahnya karena dinilai mendukung
Dadang Garhadi membela kepentingan daerah.
Akil Mochtar
Berangkat
dari kasus di Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dan
Provinsi Jambi, berbagai kalangan menilai kasus Ketua Mahkamah
Konstitusi Akil Mochtar ditangkap penyidik KPK di Jakarta, Selasa, 2
Oktober 2013 dengan tuduhan terima suap, implikasi menimbulkan
kegerahan jaringan Surya Darmadi akan materi amar hakim Mahkamah
Konstitusi tanggal 16 Mei 2013.
Amar
putusan MK mengutip keterangan saksi Jamaludin, warga Desa Semunying
Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Provinsi
Kalimantan Barat. “Putusan MK ini telah mengungkap vulgar bisnis
hitam Surya Darmadi, kerabat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di
Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan
Barat,” kata Jamaludin.
Pertanyaannya
kemudian, apakah Surya Darmadi masih bisa lolos dari jeratan hukum
atas tindakan kriminalnya menjarah hutan produksi 28.000 hektare
milik suku Dayak Iban di perbatasan Provinsi Kalimantan Barat?
Sumber : Sinar Harapan
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Sidang
Kesebelas perkara Suap Alih Fungsi Kawasan Hutan Riau terdakwa Annas
Maamun
http://www.rct.or.id/index.php/berita/311-surya-darmadi-urusan-perizinan-tanggung-jawab-suheri-tirta
“Kami
tahu Saudara baru keluar dari rumah sakit. Bisa ya mengikuti sidang.
Sebentar saja, tidak lama-lama. Hampir saja Saudara dipanggil paksa
oleh jaksa, untung tidak terjadi,” komentar Hakim Ketua Barita
Lumban Gaol sebelum Surya Darmadi dimintai keterangan.
Surya
Darmadi mengaku sebagai salah satu Komisaris PT Darmen Agro Group.
“Itu perusahaan asing, saham saya hanya minoritas, 5 persen saja di
sana,” ujarnya. Sehari-hari Surya Darmadi berkantor di Gedung Palma
One, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan.
“Apakah
Darmen Agro sebuah induk perusahaan?” tanya Jaksa Irene Putrie.
“Holding
Company,” jawab Surya Darmadi.
“Apakah
PT Duta Palma Nusantara adalah anak perusahaan PT Darmen Agro?”
“Iya.”
“Palma
One?”
“Iya.”
Selain
itu, Surya Darmadi menerangkan Panca Agro Lestari, Kencana Amal Tani,
Banyu Bening, Wana Jingga Timur, Seberida Subur juga anak perusahaan
PT Darmen Agro. “Semua perusahaan itu berlokasi di Propinsi Riau,”
jelasnya.
“Apakah
Saudara mengetahui tentang perizinan perusahaan-perusahaan tersebut?”
tanya Irene lagi.
“Saya
tidak urus soal perizinan. Saya hanya mengawasi bidang produksi,
SDM.”
“Siapa
yang bertanggung jawab urusan perizinan di perusahaan Saudara?”
“Suheri
Tirta.”
Suheri
Tirta sudah memberikan keterangan di depan persidangan pada 1 April
2015. Saat bersaksi, ia mengaku sebagai Humas PT Duta Palma. Ia tidak
mengetahui siapa saja direktur di perusahaannya sendiri. Ia hanya
mengetahui Surya Darmadi salah satu direktur di PT Duta Palma.
“Suheri
Tirta tidak pernah melapor masalah perizinan. Seingat saya, kita
sudah 10 tahun tidak buka kebun baru lagi, semuanya kebun lama,”
kata Surya Darmadi.
Suheri
Tirta menyebutkan bahwa ia dibawa oleh Surya Darmadi untuk bertemu
dengan Annas Maamun, Zulher, hingga Zulkifli Hasan, saat itu jabat
Menteri Kehutanan, untuk mengurus rencana tata ruang wilayah Riau.
Semua
pernyataan Suheri Tirta dikonfirmasi kepada Surya Darmadi.
“Zulher
teman lama saya. Saya pernah bertemu Zulher di kediaman Gubernur
Riau. Kita silaturahmi sebentar. Rumahnya besar, kita duduk di ruang
makan,” kata Surya. Pertemuan kedua dengan Zulher, lanjut Surya, di
kantor Zulher di Dinas Perkebunan Riau.
“Hari
itu saya mau berangkat ke Jakarta, tapi karena ada kabut, tidak jadi.
Saya ajak Suheri pergi makan malam sate padang. Selesai makan, kita
lewat kantor Zulher. Suheri ajak mampir. Saya tanya untuk apa ke
kantornya malam-malam begini. Dia jawab mampir sebentar saja.”
“Saya
lalu turun. Kantornya ramai sekali. Seperti pasar. Ada 7-8 orang di
sana. Saya hanya mampir sebentar, sekitar 5 menit. Setelah itu saya
pulang diantar Suheri Tirta.”
“Apa
yang Saudara bicarakan dengan Zulher?” tanya Irene.
“Tidak
ada yang penting. Saya bilang dulu tahun 80-an saya pernah ke kantor
ini saat ingin buka lahan perkebunan. Itu saja,” jawab Surya
Darmadi.
Giliran
jaksa Ariawan Agustiartono bertanya pada Surya Darmadi.
“Apakah
Anda pernah bertemu dengan Zulkifli Hasan?”
“Pernah.
Sekitar bulan itu juga, Agustus 2014. Saya mau urus lahan di
perbatasan Kalimantan Barat. Tapi tidak ada tanggapan dari beliau, ya
sudah.”
“Apakah
Anda kenal dengan Arsyadjuliandi Rahman?”
“Tidak
kenal.”
“Arsyadjuliandi
Rahman akrab disapa dengan Anto Rahman?”
“Tidak
kenal... Eh Anto Rahman yang Wakil Gubernur itu ya? Kenal... Kenal...
Aku kenal dari tahun 1990-an.”
“Pernah
bertemu dengannya?”
“Pernah.
Antara bulan Juni atau Juli 2014. Saya bilang kebun saya tidak
kondusif karena banyak pencurian kayu.”
“Apakah
Anda pernah menunjukkan surat disposisi dari Gubernur Riau kepada
Anto Rahman bersama Suheri Tirta?”
“Tidak
pernah. Saya tidak pernah bertemu dia dengan Suheri Tirta karena saya
tidak urus masalah perizinan. Kalau Suheri bertemu dengan dia, saya
tidak tahu. Saya hanya bertemu maksimal 15 menit saja. Saya tidak
pakai janji, karena saya pikir kawan lama pasti mau bertemu. Beliau
tidak bisa lama-lama karena ada janji lain.”
Surat
disposisi yang dimaksud Ariawan adalah surat disposisi dari Gubernur
Riau atas surat permohonan PT Duta Palma Nusantara agar lahannya
seluas 18 ribu hektar dimasukkan dalam revisi tata ruang wilayah
Riau. Gubernur Riau Annas Maamun memberi persetujuan berbentuk surat
disposisi. Isinya memerintahkan Wakil Gubernur Arsyadjuliandi Rahman
untuk mengadakan rapat dengan Bappeda, Dinas Perkebunan dan Dinas
Kehutanan membahas lebih lanjut usulan tersebut.
Surya
Darmadi memberi keterangan di persidangan sekitar 30 menit. Sesekali
ia mengambil napas panjang sambil memegang dada. Tiga sampai empat
kali hakim ketua Barita Lumban Gaol bertanya apakah ia bisa
melanjutkan persidangan. Surya sempat menjawab agak berat. Namun
Barita meminta pemeriksaan tetap dilanjutkan sambil berkata, “Tidak
lama kok, sebentar lagi, sebentar saja. Tahan sedikit lagi, ya.
Penuntut Umum dan Panasehat Hukum, tolong pertanyaannya
singkat-singkat saja,” katanya.
Saat
menunggu persidangan di kursi pengunjung, beberapa kali Surya Darmadi
menutup muka dengan kedua telapak tangan.
Menjelang
akhir kesaksian, Surya Darmadi menegaskan bahwa ia tidak pernah
memberikan sesuatu berupa uang atau menjanjikan sesuatu ataupun uang
kepada Annas Maamun melalui Suheri Tirta maupun Gulat Medali Emas
Manurung. “Saya tidak kenal dengan yang namanya Gulat Manurung,”
katanya.
Di
dalam dakwaannya, jaksa KPK menyebutkan bahwa PT Duta Palma melalui
Surya Darmadi dan Suheri Tirta memberikan uang Rp 3 Miliar dari yang
dijanjikan Rp 8 Miliar kepada Annas Maamun melalui Gulat Medali Emas
Manurung dalam rangka pengurusan revisi tata ruang wilayah Riau.
SAKSI
AHLI Warisman
Sinaga dan Joko Sarwono diperiksa bergantian setelah Surya Darmadi
selesai memberi keterangan.
Warisman
Sinaga diminta menerjemahkan beberapa percakapan whatsapp antara
Gulat Medali Emas Manurung dan Edison Marudut Marsadauli Siahaan.
Pada perkara ini, Gulat bertindak sebagai penyuap dan penghubung
penyerahan uang suap kepada Annas Maamun.
Edison
Direktur PT Citra Hokiana Triutama. Jaksa mendakwa Edison memberikan
uang Rp 500 juta kepada Annas Maamun melalui Gulat Manurung agar
sejumlah proyek pembuatan jalan Pemerintah Propinsi Riau dimenangkan
PT Citra Hokiana Triutama. Edison juga memberikan uang Rp 1,5 Miliar
kepada Gulat Manurung terkait pengurusan tata ruang wilayah Riau.
Saat
bersaksi di persidangan, Edison mengakui bahwa ia tidak memberikan
uang kepada Gulat Manurung, melainkan meminjamkan. “Maksud
percakapan itu saya meminjamkan uang,” katanya saat jaksa KPK
menunjukkan rekaman pembicaraan whatsapp berbahasa Batak antara
dirinya dan Gulat.
“Tidak
ada kata meminjam di dalam percakapan itu,” tegas Warisman Sinaga,
penerjemah Bahasa Batak yang dihadirkan penuntut umum.
Joko
Sarwono, ahli identifikasi suara dari Institut Teknologi Bandung
dihadirkan penuntut umum untuk membuktikan bahwa suara dalam rekaman
adalah benar suara Annas Maamun maupun Gulat Manurung.
“Saya
dibekali dua set suara oleh penyidik KPK. Setiap set terdiri dari
norm sampel dan a norm sampel. A norm sampel itu hanya digital suara
saja yang diambil sepotong-sepotong oleh penyidik KPK dari seluruh
rekaman pembicaraan yang ada. Norm sampel adalah suara yang sudah
diketahui identitasnya. Saya diminta mencocokkan, apakah norm dan a
norm sampel tersebut sama atau tidak,” jelas Joko.
Hasil
identifikasi Joko menunjukkan bahwa dua set suara tersebut identik.
“Maksudnya norm dan a norm sampelnya sama. Orang yang berbicara
pada norm sampel dan a norm sampel adalah orang yang sama,”
katanya.
Barita
Lumban Gaol menyatakan tidak ada sanggahan dari saksi Gulat Manurung
bahwa rekaman yang didengarkan bukan suaranya. “Jadi cukup ya.
Tidak usah diperpanjang lagi,” katanya pada tim penasehat hukum.
Sidang
perkara alih fungsi kawasan hutan Riau atas nama Annas Maamun
dilanjutkan minggu depan. Penasehat hukum akan menghadirkan 8 saksi
meringankan dari pihak terdakwa. #rct-lovina
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Kasus Suap Alih Fungsi Hutan Riau
Ada Surya Darmadi Si 'Raja' Sawit Dibelakang Atuk
RADARPEKANBARU.COM-Cicil
Suap Rp3 Miliar untuk Legalkan 18 Ribu Hektar Sawit Duta Palma di
Inhu.Nama ketiga disebut Jaksa Tipikor penyuap Gubri nonaktif Annas
Maamun adalah Surya Darmadi. Bos PT Duta Palma Group tersebut
mencicil Rp3 miliar untuk legalkan 18 ribu hektar kebun kelapa
sawit.
Selain didakwa menerima suap dari Gulat Medali Emas Manurung dan Edison Marudut Marsauli Sihaan, terdakwa suap alih fungsi lahan Gubernur Riau nonaktif Annas Maamun juga didakwa menerima suap dari Surya Darmadi, bos sejumlah perusahaan perkebunan anak perusahaan PT Darmex Agro.
Ket Foto : Surya Darmadi Bos PT Duta Palma Group
Pada 17 September 2014, Surya Darmadi melalui stafnya Suheri Tirta menemui Annas Maamun di rumah dinasnya di Jalan Diponegoro Pekanbaru yang diprakarsai oleh Zulher Kadis perkebunan Riau, zulher mengaku disuap sejumlah Rp 10Juta namun menurutnya uang itu sudah dikembalikan ke pihak Duta Palma. Surya Darmadi bersama Gulat Manurung, keduanya menyerahkan uang Rp3 miliar. Jumlah tersebut baru uang muka untuk total suap Rp8 miliar yang dijanjikan.
Ket Foto : Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau Zulher menjawab pertanyaan hakim saat menjadi saksi dalam sidang lanjutan Gulat Manurung di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
Menurut Jaksa Tipikor, Surya Darmadi rela menyuap Annas, agar bersedia memasukan kebun kelapa sawit PT Palma Satu, PT Panca Agro Lestari, PT Banyu Bening Utama dan PT Sebirada Subur, seluruhnya di Kabupaten Indragiri Hulu untuk dimasukan ke dalam Surat Gubernur Riau No.050/BAPPEDA/8516 tentang Revisi Usulan Perubahan Luas Kawasan Bukan Hutan di Provinsi Riau, sebagai usulan revisi Keputusan Menteri Kehutanan Nomor KS673/menhut-II/2014 tanggal 8 Agustus 2014.
Padahal, areal perkebunan kelapa sawit keempat perusahaan dengan total luas sekitar 18.000 hektar yang dimiliki Surya Darmadi tersebut tak termasuk dalam rekomendasi Tim Terpadu Dinas Kehutanan Provinsi Riau yang menyusun Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau.
Usulan Surya Darmadi tersebut memicu persoalan, karena seluruh areal perkebunannya tak masuk pada usulan Pemkab Indragiri Hulu, namun kerena tergiur Rp8 miliar yang dijanjikan, akhirnya Annas Maamun nekad memasukannya pada usulan revisi yang dikirim kepada Menteri Kehutanan.
Setelah disepakati, sekitar pukul 13.00 WIB, 17 September 2014, Gulat Manurung menemui Suheri Terta di Hotel Aryaduta Pekanbaru. Tujuannya, mencairkan dana suap untuk Annas Maamun. Kepada Gulat, Suheri menyerahkan dua amplop.
Amplop pertama berisi Rp3 miiar untuk Annas Maaun, sisa Rp5 miliar akan dibayarkan setelah Menteri Kehutanan menyetujui usulan revisi yang diajukan Gubri. Sementara amplop kedua berisi Rp650 juta untuk 'uang rokok' Gulat Manurung.
Setelah menerima uang dari Suheri Terta, sekitar pukul 17.00 WIB, pada hari yang sama, Gulat meluncur ke rumah dinas Annas Maamun sebagai Gubernur Riau. Tujuannya menyerahkan uang yang baru diterima dari Suheri Tirta.
"Ini Pak uang dari PT Duta Pala dan katanya kalau sudah diteken menteri akan ditambah lagi," ujar Gulat saat menyerahkan uang pada Annas.
Sedangkan Annas hanya berujar pendek , "Iyolah, nanti kita usahakan," sambil menerima uang haram tersebut.
Pada akhirnya, uang suap Surya Darmadi pada Annas berhenti pada angka Rp3 miliar. Sisanya Rp5 miliar tak pernah dibayar karena Annas keburu ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
'Kacang Pukul' Rp500 Juta Membuat Edison Panen Proyek Pemprov
Edison Marudut Masdauli Sihaan tak sekedar menyuap Gubri nonaktif Annas Maamun untuk melegalkan kebun sawitnya, tapi juga memberi 'kacang pukul' agar panen proyek di Pemprov Riau.
Meskipun sampai saat ini statusnya sebatas saksi kasus suap alih fungsi lahan Provinsi Riau, namun dalam dakwaan Jaksa Tipikor terhadap terdakwa Gubernur Riau nonaktif Annas Maamun, nama Edison Marudut Masdauli Sihaan paling banyak disebut, setelah terdakwa Gulat Medali Emas Manurung. Bahkan, pengusaha tersebut disebutkan menyuap Annas Maamun dua kali untuk dua keperluan berbeda.
Ket Foto : Edison Marudut Masdauli Sihaan
Pada dakwaan pertama untuk Annas, jaksa menyebut Edison menyuap sebesar Rp125.000 Dolar Singapura atau setara Rp1,5 miliar untuk melegalkan kebun kelapa sawitnya seluas 120 hektar di Kecamatan Mandau, Kabupaten Siak. Jumlah tersebut tiga kali lipat dari suap terdakwa Gulat Manurung pada Annas untuk keperluan yang sama.
Untuk melegalkan kebun sawitnya seluas 1.188 hektar di Kuantan Singingi dan 1.214 hektar di Rokan Hilir, Gulat hanya memberi 41.000 Dolar Singapura atau setara Rp500 juta.
Selain suap di atas, nama Edison bahkan menjadi penyuap tunggal untuk dakwaan kedua yang ditujukan pada Annas Maamun. Direktur Utama PT Hokian Triutama tersebut memberi uang Rp500 juta melalui Jones Silitonga diserahkan pada Gulat Manurung dan akhirnya sampai pada Annas Maamun.
Nama Jones Silitonga juga disebut Jaksa Tipikor dalam dakwaannya sebagai pihak yang mengantar daftar rekap lelang proyek di Dinas Pekerjaan Umum Pemprov Riau yang sedang diikuti PT Hokian Triutama. Rekap tersebut diseahkannya pada Gulat Manurung.
Perjalanan uang Rp500 juta dari Edison kepada Annas ini cukup berliku. Setelah menerima uang melalui Jones Silitonga, Gulat lantas menghubungi Kabag Protokol Biro Umum Setdaprov Riau Fuadilazi agar mengantarkan uang tersebut kepada Annas yang sedang berada di Jakarta.
Dalam dakwaan tersebut kemudian dirincikan, bahwa pada akhirnya uang Rp500 juta tersebut sampai ke rumah pribadinya di Perumahan Citra Gran Blok RC 3 Nomor 2, Cibubur, Bekasi, Jawa Barat melalui tiga pegawai Bagian Protokol Biro Umum Setdaprov Riau. Mereka adalah Piko Tampati, Said Putrasyah dan Ahmad Taufik.
Pengiriman uang tersebut terjadi pada 25 Agustus 2014. Atas perintah Kasubah Protokol Firman Hadi, uang Rp500 juta dipecah dua. Piko Tampati membawa Rp300 juta dan Rp200 juta dibawa Said Putra. Saat mengirim uang, mereka menyebutnya sebagai 'kacang pukul' untuk Bapak Gubernur.
Berdasarkan penjelasan dalam dakwaan Jaksa Tipikor, uang Rp500 juta tersebut untuk memastikan kemenangan PT Hokian Triutama dalam sejumlah lelang proyek di Dinas Pekerjaan Umum Pemprov Riau.
Setidaknya ada tiga proyek besar yang kemudian dimenangi perusahaan Edison. Yakni, kegiatna peningkatan jalan Taluk Kuanan-Cerernti senilai Rp18.53 miliar. Kedua, kegiatan peningkatan jalan Simpang Lago-Simpang Buatan, Siak senilai Rp2.741 miliar dan ketiga, kegiatan peningkatan jalan Lubuk Jambi-Simpang Ibul-Simpang Ifa dengan nilai kontrak Rp4.934 miliar.
Gulat dan Edison Patungan Suap Demi Legalitas Kebun Sawit
Terdakwa suap alih fungsi lahan Gubri nonaktif Annas Maamun mulai disidang. Dalam dakwaannya, teruangkap patungan suap Gulat dan Edison agar kebun sawit mereka dilegalkan.
Rabu (11/2/15) awal bagi proses pembuktian atas dakwaan menerima suap terhadap Gubernur Riau nonaktif Annas Maamun. Proses persidangannya digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Bandung di Jalan RE Kartadina.
Ket Foto : Gulat Medali Emas Manurng
Lokasi tersebut dipilih berdasarkan lokasi perisita atau locus delicti. Di mana, pada 25 September 2014 lalu, Annas Maamun ditangkap aparat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di rumah pribadinya di Perumahan Citra Gran, Blok RC 3 Nomor 2, Cibubur, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Dalam sidang perdana tersebut, Jaksa Penutut Umum KPK membacakan dakwaan terhadap mantan Bupati Rokan Hilir tersebut. Ada tiga dakwaan sekaligus yang dirangkum dalam laporan setebal 47 halaman.
Pada dakwaan pertama, disebutkan bahwa Annas Maamun ditenggarai melakukan tindak menerima suap dari Gulat Medali Emas Manurng dan Edison Marudut Marsadauli Sihaan. Keduanya memberi Annas uang USD 166.00 yang diserahkan ke rumah pribadi Annas di Cibubur. Uang tersebut kemudian disita KPK saat operasi tangkap tanggan atau OTT.
Dalam dakwaan JPU KPK lantas dipaparkan tujuan pemberian uang kepada Annas. Ternyata, Gulat dan Edison telah membuka kebun kelapa sawit di lahan terlarang. Berada di kawasan hutan produksi terbatas atau HPT. Mereka ingin ribuan hektar kebun kelapa sawit tersebut menjadi legal. Caranya, menyuap Annas Maamun, selaku Gubernur Riau agar memasukan kebun keduanya pada usulan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Riau pada Menteri Kehutanan.
Targetnya, kebun Gulat Manurung di dua lokasi, yakni 1.188 hektar di Loagas Tanah Datar, Kuantan Singingi dan 1.214 hektar di Bagansinembah, Rokan Hilir serta kebun Edison seluas 120 hektar di Kecamatan Mandau, Bengkalis kelak statusnya dirubah dari HPT menjadi areal peruntukan lain atau APL, status lahan yang halal untuk membuka perkebunan.
Untuk keperluan tersebut, maka dosen nonaktif Universitas Riau Gulat Manurung mengajak pengusaha Edison patungan memberi uang pelican pada Annas Maamun. Semula Annas minta sebesar Rp2,9 miliar yang dalihnya untuk memberi kan pada 60 anggota Komisi IV DPR RI yang akan membahas revisi RTRWP Riau.
Pada 22 September 2014 keduanya lantas patungan dan hanya berhasil mengumpulkan uang USD 160.000 atau setara dengan Rp2 miliar. Rinciannya, dari Edison USD 125.000 atau Rp1,5 miliar, sisanya USD 41.000 atau setara Rp500 juta dari Gulat Manurung.
Kemudian pada 24 September 2014, Gulat Manurung dengan diantar Edi Ahmad alias Edi RM berangkat mengantar uang tersebut untuk diserahkan pada Annas Maamun. Mereka berdua terbang ke Jakarta dan selanjutnya menuju rumah pribadi Annas di Cibubur. Uang haram tersebut akhirnya diserahkan Gulat pada Annas melalui Triyanto, ajudan Annas.
Ket Foto : Edi Ahamd baju putih (kiri)
Keesokan harinya, atau 25 September 2014 Annas menelphon Gulat Manurung. Ia tak mau menyimpan uang dalam bentuk Dolar Amerika, karena itu minta ditukar menjadi Dolar Singapura. Gulat bersama Edison lantas menukarkan uang tersebut di money changer PT Ayu Masagung di daerah Kwitang, Jakarta Pusat.
Hasil penukaran berupa uang Dolar Singapura sebwesar 156.000 dan Rp500 juta lantas diserahkan Gulat kepada Annas di rumah pribadinya di Cibubur. Tak lama setelah penyerahan itu, datang aparat KPK melakukan operasi tangkap tangan.(ahmad s.udi/rtc/radarpku)
Editor : Alamsah
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Selain didakwa menerima suap dari Gulat Medali Emas Manurung dan Edison Marudut Marsauli Sihaan, terdakwa suap alih fungsi lahan Gubernur Riau nonaktif Annas Maamun juga didakwa menerima suap dari Surya Darmadi, bos sejumlah perusahaan perkebunan anak perusahaan PT Darmex Agro.
Ket Foto : Surya Darmadi Bos PT Duta Palma Group
Pada 17 September 2014, Surya Darmadi melalui stafnya Suheri Tirta menemui Annas Maamun di rumah dinasnya di Jalan Diponegoro Pekanbaru yang diprakarsai oleh Zulher Kadis perkebunan Riau, zulher mengaku disuap sejumlah Rp 10Juta namun menurutnya uang itu sudah dikembalikan ke pihak Duta Palma. Surya Darmadi bersama Gulat Manurung, keduanya menyerahkan uang Rp3 miliar. Jumlah tersebut baru uang muka untuk total suap Rp8 miliar yang dijanjikan.
Ket Foto : Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau Zulher menjawab pertanyaan hakim saat menjadi saksi dalam sidang lanjutan Gulat Manurung di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
Menurut Jaksa Tipikor, Surya Darmadi rela menyuap Annas, agar bersedia memasukan kebun kelapa sawit PT Palma Satu, PT Panca Agro Lestari, PT Banyu Bening Utama dan PT Sebirada Subur, seluruhnya di Kabupaten Indragiri Hulu untuk dimasukan ke dalam Surat Gubernur Riau No.050/BAPPEDA/8516 tentang Revisi Usulan Perubahan Luas Kawasan Bukan Hutan di Provinsi Riau, sebagai usulan revisi Keputusan Menteri Kehutanan Nomor KS673/menhut-II/2014 tanggal 8 Agustus 2014.
Padahal, areal perkebunan kelapa sawit keempat perusahaan dengan total luas sekitar 18.000 hektar yang dimiliki Surya Darmadi tersebut tak termasuk dalam rekomendasi Tim Terpadu Dinas Kehutanan Provinsi Riau yang menyusun Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau.
Usulan Surya Darmadi tersebut memicu persoalan, karena seluruh areal perkebunannya tak masuk pada usulan Pemkab Indragiri Hulu, namun kerena tergiur Rp8 miliar yang dijanjikan, akhirnya Annas Maamun nekad memasukannya pada usulan revisi yang dikirim kepada Menteri Kehutanan.
Setelah disepakati, sekitar pukul 13.00 WIB, 17 September 2014, Gulat Manurung menemui Suheri Terta di Hotel Aryaduta Pekanbaru. Tujuannya, mencairkan dana suap untuk Annas Maamun. Kepada Gulat, Suheri menyerahkan dua amplop.
Amplop pertama berisi Rp3 miiar untuk Annas Maaun, sisa Rp5 miliar akan dibayarkan setelah Menteri Kehutanan menyetujui usulan revisi yang diajukan Gubri. Sementara amplop kedua berisi Rp650 juta untuk 'uang rokok' Gulat Manurung.
Setelah menerima uang dari Suheri Terta, sekitar pukul 17.00 WIB, pada hari yang sama, Gulat meluncur ke rumah dinas Annas Maamun sebagai Gubernur Riau. Tujuannya menyerahkan uang yang baru diterima dari Suheri Tirta.
"Ini Pak uang dari PT Duta Pala dan katanya kalau sudah diteken menteri akan ditambah lagi," ujar Gulat saat menyerahkan uang pada Annas.
Sedangkan Annas hanya berujar pendek , "Iyolah, nanti kita usahakan," sambil menerima uang haram tersebut.
Pada akhirnya, uang suap Surya Darmadi pada Annas berhenti pada angka Rp3 miliar. Sisanya Rp5 miliar tak pernah dibayar karena Annas keburu ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
'Kacang Pukul' Rp500 Juta Membuat Edison Panen Proyek Pemprov
Edison Marudut Masdauli Sihaan tak sekedar menyuap Gubri nonaktif Annas Maamun untuk melegalkan kebun sawitnya, tapi juga memberi 'kacang pukul' agar panen proyek di Pemprov Riau.
Meskipun sampai saat ini statusnya sebatas saksi kasus suap alih fungsi lahan Provinsi Riau, namun dalam dakwaan Jaksa Tipikor terhadap terdakwa Gubernur Riau nonaktif Annas Maamun, nama Edison Marudut Masdauli Sihaan paling banyak disebut, setelah terdakwa Gulat Medali Emas Manurung. Bahkan, pengusaha tersebut disebutkan menyuap Annas Maamun dua kali untuk dua keperluan berbeda.
Ket Foto : Edison Marudut Masdauli Sihaan
Pada dakwaan pertama untuk Annas, jaksa menyebut Edison menyuap sebesar Rp125.000 Dolar Singapura atau setara Rp1,5 miliar untuk melegalkan kebun kelapa sawitnya seluas 120 hektar di Kecamatan Mandau, Kabupaten Siak. Jumlah tersebut tiga kali lipat dari suap terdakwa Gulat Manurung pada Annas untuk keperluan yang sama.
Untuk melegalkan kebun sawitnya seluas 1.188 hektar di Kuantan Singingi dan 1.214 hektar di Rokan Hilir, Gulat hanya memberi 41.000 Dolar Singapura atau setara Rp500 juta.
Selain suap di atas, nama Edison bahkan menjadi penyuap tunggal untuk dakwaan kedua yang ditujukan pada Annas Maamun. Direktur Utama PT Hokian Triutama tersebut memberi uang Rp500 juta melalui Jones Silitonga diserahkan pada Gulat Manurung dan akhirnya sampai pada Annas Maamun.
Nama Jones Silitonga juga disebut Jaksa Tipikor dalam dakwaannya sebagai pihak yang mengantar daftar rekap lelang proyek di Dinas Pekerjaan Umum Pemprov Riau yang sedang diikuti PT Hokian Triutama. Rekap tersebut diseahkannya pada Gulat Manurung.
Perjalanan uang Rp500 juta dari Edison kepada Annas ini cukup berliku. Setelah menerima uang melalui Jones Silitonga, Gulat lantas menghubungi Kabag Protokol Biro Umum Setdaprov Riau Fuadilazi agar mengantarkan uang tersebut kepada Annas yang sedang berada di Jakarta.
Dalam dakwaan tersebut kemudian dirincikan, bahwa pada akhirnya uang Rp500 juta tersebut sampai ke rumah pribadinya di Perumahan Citra Gran Blok RC 3 Nomor 2, Cibubur, Bekasi, Jawa Barat melalui tiga pegawai Bagian Protokol Biro Umum Setdaprov Riau. Mereka adalah Piko Tampati, Said Putrasyah dan Ahmad Taufik.
Pengiriman uang tersebut terjadi pada 25 Agustus 2014. Atas perintah Kasubah Protokol Firman Hadi, uang Rp500 juta dipecah dua. Piko Tampati membawa Rp300 juta dan Rp200 juta dibawa Said Putra. Saat mengirim uang, mereka menyebutnya sebagai 'kacang pukul' untuk Bapak Gubernur.
Berdasarkan penjelasan dalam dakwaan Jaksa Tipikor, uang Rp500 juta tersebut untuk memastikan kemenangan PT Hokian Triutama dalam sejumlah lelang proyek di Dinas Pekerjaan Umum Pemprov Riau.
Setidaknya ada tiga proyek besar yang kemudian dimenangi perusahaan Edison. Yakni, kegiatna peningkatan jalan Taluk Kuanan-Cerernti senilai Rp18.53 miliar. Kedua, kegiatan peningkatan jalan Simpang Lago-Simpang Buatan, Siak senilai Rp2.741 miliar dan ketiga, kegiatan peningkatan jalan Lubuk Jambi-Simpang Ibul-Simpang Ifa dengan nilai kontrak Rp4.934 miliar.
Gulat dan Edison Patungan Suap Demi Legalitas Kebun Sawit
Terdakwa suap alih fungsi lahan Gubri nonaktif Annas Maamun mulai disidang. Dalam dakwaannya, teruangkap patungan suap Gulat dan Edison agar kebun sawit mereka dilegalkan.
Rabu (11/2/15) awal bagi proses pembuktian atas dakwaan menerima suap terhadap Gubernur Riau nonaktif Annas Maamun. Proses persidangannya digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Bandung di Jalan RE Kartadina.
Ket Foto : Gulat Medali Emas Manurng
Lokasi tersebut dipilih berdasarkan lokasi perisita atau locus delicti. Di mana, pada 25 September 2014 lalu, Annas Maamun ditangkap aparat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di rumah pribadinya di Perumahan Citra Gran, Blok RC 3 Nomor 2, Cibubur, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Dalam sidang perdana tersebut, Jaksa Penutut Umum KPK membacakan dakwaan terhadap mantan Bupati Rokan Hilir tersebut. Ada tiga dakwaan sekaligus yang dirangkum dalam laporan setebal 47 halaman.
Pada dakwaan pertama, disebutkan bahwa Annas Maamun ditenggarai melakukan tindak menerima suap dari Gulat Medali Emas Manurng dan Edison Marudut Marsadauli Sihaan. Keduanya memberi Annas uang USD 166.00 yang diserahkan ke rumah pribadi Annas di Cibubur. Uang tersebut kemudian disita KPK saat operasi tangkap tanggan atau OTT.
Dalam dakwaan JPU KPK lantas dipaparkan tujuan pemberian uang kepada Annas. Ternyata, Gulat dan Edison telah membuka kebun kelapa sawit di lahan terlarang. Berada di kawasan hutan produksi terbatas atau HPT. Mereka ingin ribuan hektar kebun kelapa sawit tersebut menjadi legal. Caranya, menyuap Annas Maamun, selaku Gubernur Riau agar memasukan kebun keduanya pada usulan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Riau pada Menteri Kehutanan.
Targetnya, kebun Gulat Manurung di dua lokasi, yakni 1.188 hektar di Loagas Tanah Datar, Kuantan Singingi dan 1.214 hektar di Bagansinembah, Rokan Hilir serta kebun Edison seluas 120 hektar di Kecamatan Mandau, Bengkalis kelak statusnya dirubah dari HPT menjadi areal peruntukan lain atau APL, status lahan yang halal untuk membuka perkebunan.
Untuk keperluan tersebut, maka dosen nonaktif Universitas Riau Gulat Manurung mengajak pengusaha Edison patungan memberi uang pelican pada Annas Maamun. Semula Annas minta sebesar Rp2,9 miliar yang dalihnya untuk memberi kan pada 60 anggota Komisi IV DPR RI yang akan membahas revisi RTRWP Riau.
Pada 22 September 2014 keduanya lantas patungan dan hanya berhasil mengumpulkan uang USD 160.000 atau setara dengan Rp2 miliar. Rinciannya, dari Edison USD 125.000 atau Rp1,5 miliar, sisanya USD 41.000 atau setara Rp500 juta dari Gulat Manurung.
Kemudian pada 24 September 2014, Gulat Manurung dengan diantar Edi Ahmad alias Edi RM berangkat mengantar uang tersebut untuk diserahkan pada Annas Maamun. Mereka berdua terbang ke Jakarta dan selanjutnya menuju rumah pribadi Annas di Cibubur. Uang haram tersebut akhirnya diserahkan Gulat pada Annas melalui Triyanto, ajudan Annas.
Ket Foto : Edi Ahamd baju putih (kiri)
Keesokan harinya, atau 25 September 2014 Annas menelphon Gulat Manurung. Ia tak mau menyimpan uang dalam bentuk Dolar Amerika, karena itu minta ditukar menjadi Dolar Singapura. Gulat bersama Edison lantas menukarkan uang tersebut di money changer PT Ayu Masagung di daerah Kwitang, Jakarta Pusat.
Hasil penukaran berupa uang Dolar Singapura sebwesar 156.000 dan Rp500 juta lantas diserahkan Gulat kepada Annas di rumah pribadinya di Cibubur. Tak lama setelah penyerahan itu, datang aparat KPK melakukan operasi tangkap tangan.(ahmad s.udi/rtc/radarpku)
Editor : Alamsah
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Bos PT Dutapalma Sudah Dicegah KPK ke Luar Negeri
Jakarta, CNN
Indonesia --
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencegah bos PT Dutapalma
Nusantara, Surya Darmadi, ke luar negeri. Pencegahan Surya terkait
dengan kasus dugaan korupsi yang membelit mantan Gubernur Riau Annas
Maamun (AM).
Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha mengonfirmasi pencegahan tersebut. "Benar dicegah ke luar negeri sejak 5 November 2014 selama enam bulan," kata Priharsa kepada CNN Indonesia, Rabu petang (4/2).
Surya Darmadi telah beberapa kali menjalani pemeriksaan KPK sebagai saksi untuk tersangka Annas yang diduga menerima duit suap. Pemeriksaan terhadap Surya dilakukan di Riau pada akhir tahun 2014.
KPK belum mengonfirmasi keterkaitan Surya dalam kasus yang terungkap lewat operasi tangkap tangan itu. Namun Priharsa memastikan pencegahan Surya ke luar negeri terkait Annas. "Terkait kasus AM," ujar Priharsa.
Annas Maamun tertangkap tangan ketika menerima duit suap dari seorang pengusaha bernama Gulat Medali Emas Manurung pada 25 September 2014. Penangkapan terjadi di kediaman Annas di Perumahan Citra Gran Blok RC 3 Nomor2, Cibubur, bersama barang bukti uang senilai Sin$ 156 ribu, Rp 400 juta, dan Rp 60 juta.
Dalam persidangan pekan lalu, 29 Januari 2015, Gulat membeberkan permintaan duit dari Annas untuk memuluskan revisi alih fungsi kawasan hutan yang dimohonkan oleh PT Dutapalma Nusantara. Dutapalma merupakan anak usaha dari PT Darmex Agro. Di Darmex Agro, nama Surya Darmadi tercantum sebagai Presiden Direktur.
Menurut Gulat, perusahaan yang berbasis di Riau itu menyanggupi untuk membayar uang pelicin sebesar Rp 8 miliar.
"PT Dutapalma menjanjikan Rp 8 miliar untuk Annas, tetapi baru realisasi Rp 3 miliar tanggal 18 (September)," kata Gulat dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Kamis (29/1).
Untuk menutupi kekurangan Rp 5 miliar, Gulat meminjam uang rekannya yaitu Edison Marudut Marsdauli. Sebagai perantara suap, Gulat menerima Rp 100 juta.
PT Dutapalma sebelumnya meminta Gulat untuk memasukkan lahan perusahaan itu dalam daftar permohonan revisi alih fungsi lahan hutan di Riau. Pasalnya, lahan milik Dutapalma belum berstatus dapat ditanami sawit.
Saat itu, berdasarkan surat dakwaan Gulat, mantan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan membuka kesempatan kepada korporasi untuk mengajukan revisi alih fungsi lahan dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas 30 ribu hektare.
Hari ini, Kamis (5/2), Gulat bakal menjalani sidang tuntutan jaksa KPK. Gulat didakwa menyuap Annas senilai Rp 2 miliar untuk memuluskan alih fungsi atas lahan miliknya.
Dalam usul revisi kedua, Annas menerbitkan Surat Gubernur Riau Nomor 050/BAPPEDA/8516 untuk mengajukan area tambahan milik Gulat di daerah Kabupaten Kuantan Singingi seluas 1.188 hektare dan Bagan Sinembah di Kabupaten Rokan Hilir seluas 1.214 hektare.
Kawasan hutan milik Gulat berstatus Hutan Tanaman Industri (HTI) dan ingin dibebaskan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) agar dapat ditanami sawit.
Atas tindak pidana tersebut, Gulat didakwa melanggar Pasal 5 Ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Ancaman pidana untuk Gulat yakni lima tahun penjara.
Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha mengonfirmasi pencegahan tersebut. "Benar dicegah ke luar negeri sejak 5 November 2014 selama enam bulan," kata Priharsa kepada CNN Indonesia, Rabu petang (4/2).
Surya Darmadi telah beberapa kali menjalani pemeriksaan KPK sebagai saksi untuk tersangka Annas yang diduga menerima duit suap. Pemeriksaan terhadap Surya dilakukan di Riau pada akhir tahun 2014.
KPK belum mengonfirmasi keterkaitan Surya dalam kasus yang terungkap lewat operasi tangkap tangan itu. Namun Priharsa memastikan pencegahan Surya ke luar negeri terkait Annas. "Terkait kasus AM," ujar Priharsa.
Annas Maamun tertangkap tangan ketika menerima duit suap dari seorang pengusaha bernama Gulat Medali Emas Manurung pada 25 September 2014. Penangkapan terjadi di kediaman Annas di Perumahan Citra Gran Blok RC 3 Nomor2, Cibubur, bersama barang bukti uang senilai Sin$ 156 ribu, Rp 400 juta, dan Rp 60 juta.
Dalam persidangan pekan lalu, 29 Januari 2015, Gulat membeberkan permintaan duit dari Annas untuk memuluskan revisi alih fungsi kawasan hutan yang dimohonkan oleh PT Dutapalma Nusantara. Dutapalma merupakan anak usaha dari PT Darmex Agro. Di Darmex Agro, nama Surya Darmadi tercantum sebagai Presiden Direktur.
Menurut Gulat, perusahaan yang berbasis di Riau itu menyanggupi untuk membayar uang pelicin sebesar Rp 8 miliar.
"PT Dutapalma menjanjikan Rp 8 miliar untuk Annas, tetapi baru realisasi Rp 3 miliar tanggal 18 (September)," kata Gulat dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Kamis (29/1).
Untuk menutupi kekurangan Rp 5 miliar, Gulat meminjam uang rekannya yaitu Edison Marudut Marsdauli. Sebagai perantara suap, Gulat menerima Rp 100 juta.
PT Dutapalma sebelumnya meminta Gulat untuk memasukkan lahan perusahaan itu dalam daftar permohonan revisi alih fungsi lahan hutan di Riau. Pasalnya, lahan milik Dutapalma belum berstatus dapat ditanami sawit.
Saat itu, berdasarkan surat dakwaan Gulat, mantan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan membuka kesempatan kepada korporasi untuk mengajukan revisi alih fungsi lahan dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas 30 ribu hektare.
Hari ini, Kamis (5/2), Gulat bakal menjalani sidang tuntutan jaksa KPK. Gulat didakwa menyuap Annas senilai Rp 2 miliar untuk memuluskan alih fungsi atas lahan miliknya.
Dalam usul revisi kedua, Annas menerbitkan Surat Gubernur Riau Nomor 050/BAPPEDA/8516 untuk mengajukan area tambahan milik Gulat di daerah Kabupaten Kuantan Singingi seluas 1.188 hektare dan Bagan Sinembah di Kabupaten Rokan Hilir seluas 1.214 hektare.
Kawasan hutan milik Gulat berstatus Hutan Tanaman Industri (HTI) dan ingin dibebaskan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) agar dapat ditanami sawit.
Atas tindak pidana tersebut, Gulat didakwa melanggar Pasal 5 Ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Ancaman pidana untuk Gulat yakni lima tahun penjara.
Ikuti
diskusi dan kirim pendapat anda melalui form di bawah ini atau
klik
(rdk)
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Kamis,
13 Nopember 2014 15:21
Big Bosnya Kembali Diperiksa KPK,
PT Duta Palma Diduga Suap Gubri untuk Legalkan Puluhan Ribu Hektar Kebun Sawit di Inhu
http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=83496&judul=Big%20Bosnya%20Kembali%20Diperiksa%20KPK,PT%20Duta%20Palma%20Diduga%20Suap%20Gubri%20untuk%20Legalkan%20Puluhan%20Ribu%20Hektar%20Kebun%20Sawit%20di%20Inhu
Big Bosnya Kembali Diperiksa KPK,
PT Duta Palma Diduga Suap Gubri untuk Legalkan Puluhan Ribu Hektar Kebun Sawit di Inhu
http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=83496&judul=Big%20Bosnya%20Kembali%20Diperiksa%20KPK,PT%20Duta%20Palma%20Diduga%20Suap%20Gubri%20untuk%20Legalkan%20Puluhan%20Ribu%20Hektar%20Kebun%20Sawit%20di%20Inhu
Untuk kali kedua bos besar PT Duta Palma Surya Darmadi alias Apeng diperiksa KPK. Perusahaan tersebut diduga kuat terlibat suap untuk melegalkan puluhan ribu hektar kebun sawit di Inhu.
Riauterkini-PEKANBARU- Bos besar PT Duta Palma Surya Darmadi alias Apeng kemarin, Rabu (12/11/14) kembali diperiksa Komisi Pemberasan Korupsi (KPK) di Jakarta. Sebelumnya, pada Jumat (24/10/14) Apeng juga sudah diperiksa penyidik KPK di ruang Catur Prasetya Sekokolah Polisi Negara (SPN) Jalan Patimura Pekanbaru.
Selain Apeng, sejumlah petinggi perusahaan perkebunan tersebut juga telah diperiksa penyidik KPK terkait dugaan suap terhadap Gubernur Riau Annas Maamun untuk memuluskan proses izin alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan. Bahkan, kantor PT Duta Palma di belakang purna MTQ pada Senin (20/11/14) juga sempat digeledah penyidik lembaga anti rasuah itu.
Intensifnya perusahaan tersebut diperiksa penyidik KPK menguatkan dugaan adanya kaitan kuat dengan kasus yang menyebabkan Gubri nonaktif dan Gulat Manurut dijadikan KPK tersangka sekaligus ditahan. Sejumlah asumsi pun bermunculan terkait dugaan suap dari perusahaan tersebut.
Berdasarkan data yang dirangkum riauterkinicom dari sumber di Dinas Kehutanan Provinsi Riau, setidaknya ada lima anak perusahaan PT Duta Palma yang kebun kelapa sawitnya ditanam di kawasan terlarang. Baik di Hutan Produksi bisa di-Korversikan (HPK) maupun di Hutan Produksi (HP) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Seluruhnya berada di Kabupaten Indragiri Hulu.
Kelima perusahaan tersebut adalah PT Kencana Amal Tani dengan kebun sawit seluas 4.420 hektar berlokasi di HPK. Kedua, PT Banyu Bening Utama seluas 7.850 hektar di kawasan HPT dan HP. Ketiga, PT Palma Satu seluas 11.044 hektar di kawasan HPK.
Keempat PT Siberida Subur dengan kebun kelapa sawit seluas 2.340 hektar yang ditanam di kawasan HPT. Kelima, PT Panca Agrindo Lestari seluas 3.562 hektar di kwasan HPT dan HP.
Masih menurut sumber dari Dinas Kehutanan Riau yang menolak namanya disebutkan, bahwa usulan pelepasan kawasan dari group PT Duta Palma tak ada satupun yang masuk rekomendasi Tim Terpadu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), namun faktanya saat diusulkan pada Menteri Kehutanan untuk dijadikan SK, justru seluruhnya diminta untuk dijadikan kawasan Areal Penggunaan Lain (APL).
Terkait dengan dugaan asal Suap dari PT Duta Palma, juru bicara KPK Johan Budi menolak menanggapi. Ia hanya membenarkan kalau setiap saksi yang diperiksa dalam kasus Gubri nonaktif terindikasi punya kaitan dengan kasus tersebut.
“Itu masih diselidiki dari mana asal uang suap pada Gubernur Riau. Kalau memang ada kaitan langsungnya, nanti pasti ada perkembangan selanjutnya,” ujarnya menjawab wartawan yang menghubunginya, Kamis (13/11/14).***(mad)
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
3 LSM Minta KPK Menetapkan Surya Darmadi Bos Duta Palma Sebagai Tersangka
Rabu,24
Juni 2015|09:49:14 WIB
PEKANBARU-(Riauterbit.com)-Gubernur
Riau yang sedang diberhentikan sementara Annas Maamun akan menghadapi
sidang vonis pada 24 Juni mendatang. Ia didakwa menerima suap sebesar
Rp 5,5 Miliar atas upaya memberi persetujuan atas perubahan status
kawasan hutan. Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Wilayah
Riau, Gulat Medali Emas Manurung, memberi uang kepada Annas Maamun
setara Rp 2 Miliar agar lahan yang dikelolanya di Kuantan Singingi
dan Bagan Sinembah Rokan Hilir diubah statusnya, dari kawasan hutan
menjadi bukan kawasan hutan.
Pemberi suap lain kepada Annas Maamun adalah Surya Darmadi, Pemilik PT Duta Palma Nusantara. Duta Palma, yang lahannya berada di Indragiri Hulu, turut dimasukkan ke dalam usulan perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan di Propinsi Riau. Surya memberikan Rp 3 Miliar dari yang dijanjikan sejumlah Rp 8 Miliar kepada Annas Maamun. “Ini berarti Duta Palma selama beroperasi di atas kawasan hutan yang belum dilepaskan oleh MenLHK. Operasional PT Duta Palma selama ini adalah illegal,” kata Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari.
Peristiwa suap menyuap ini berawal dari Menteri Kehutanan, saat itu Zulkifli Hasan, menyerahkan SK 673 tahun 2014 tentang rencana tata ruang wilayah Riau. Di dalam SK, Zulkifli menanda tangani terkait perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas 1,63 juta hektar, perubahan fungsi kawasan hutan seluas 717 ribu hektar, serta penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas 11 ribu hektar.
Saat menyampaikan pidato sempena Hari Ulang Tahun Propinsi Riau, Zulkifli memberi kesempatan kepada masyarakat Riau melalui pemerintah Propinsi Riau untuk memasukkan revisi terkait SK 673 bila masih ada lahan masyarakat yang belum terakomodir di dalam SK tersebut.
”Mengapa Zulkifli Hasan menawarkan perubahan sementara SK Kawasan Hutan dan Bukan Kawasan Hutan sudah ditetapkan diteken? Disinilah malapetaka bermula,” kata Muslim Rasyid, Koordinator riau corruption trial.
Kesempatan itu tak disia-siakan Gulat Manurung dan Surya Darmadi. Gulat meminta kepada Annas Maamun agar lahan yang dikelolanya di Kuantan Singingi dan Bagan Sinembah dimasukkan ke dalam usulan revisi.
Begitu pula Surya Darmadi. Melalui Suheri Tirta, pada 19 Agustus 2014, PT Duta Palma mengajukan surat permohonan yang pada pokoknya meminta agar Annas Maamun mengakomodir lokasi perkebunan PT Palma Satu, PT Panca Agro Lestari, PT Banyu Bening Utama, PT Seberida Subur—anak perusahaan PT Duta Palma Nusantara—di Indragiri Hulu ke dalam usulan revisi tata ruang wilayah Riau. Surya Darmadi menjanjikan sejumlah uang kepada Annas Maamun yang diberikan melalui Gulat Manurung.
Pada 17 September 2014, Annas Maamun menanda tangani surat usulan revisi rencana tata ruang wilayah Riau dimana lahan Gulat Manurung di Kuantan Singingi seluas 1.118 hektar dan di Bagan Sinembah seluas 1.214 hektar serta lokasi perkebunan PT Palma Satu seluas 11.044 hektar, PT Panca Agro Lestari seluas 3.585 hektar, dan sebagian besar lokasi perkebunan PT Banyu Bening Utama turut masuk di dalamnya. Termasuk pula lahan Edison Marudut Marsadauli Siahaan, pemilik PT Citra Hokiana Triutama seluas 140 hektar di Duri Bengkalis.
Upaya PT Duta Palma melegalkan kawasan hutannya seluas 18 ribu hektar terkait dengan pengurusan sertifikat ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). Zulher, Kepala Dinas Perkebunan Propinsi Riau, saat bersaksi di persidangan mengungkapkan bahwa 3 anak perusahaan PT Duta Palma belum bisa memperoleh sertifikat ISPO karena lahannya masih berada di dalam kawasan hutan. Karena itu mereka getol berupaya agar lahannya bisa masuk ke dalam usulan revisi tata ruang wilayah Riau untuk dialihfungsikan menjadi bukan kawasan hutan.
Hal tersebut tercermin dari upaya Surya Darmadi maupun Suheri Tirta, anak buahnya, menemui sejumlah pihak. Mereka membawa surat disposisi dari Annas Maamun kepada Wakil Gubernur Riau, Arsyadjuliandi Rahman, maupun ke Dinas Kehutanan serta Bappeda Riau, dan menanyakan kemungkinan lahan PT Duta Palma bisa masuk ke dalam usulan revisi.
Upaya lain dilakukan dengan bantuan Zulher yang menghubungkan mereka dengan Gulat Manurung. Gulat dekat dengan Annas Maamun. Surya dan Suheri minta tolong kepada Gulat agar Annas bersedia memasukkan lahan PT Duta Palma ke dalam usulan revisi. Mereka menjanjikan sejumlah uang kepada Annas dan Gulat.
Hingga akhirnya pada 17 September 2014, Annas Maamun menanda tangani surat revisi rencana tata ruang wilayah Riau dengan memasukkan lahan PT Duta Palma di dalamnya. Annas Maamun menerima Rp 3 Miliar dan Gulat Manurung menerima Rp 750 juta dari Surya Darmadi melalui Suheri Tirta. Penuntut Umum menuntut Annas Maamun penjara 6 tahun dan denda Rp 250 juta atas perbuatannya memasukkan lahan yang dikelola Gulat Manurung dan lahan PT Duta Palma yang berada di luar rekomendasi tim terpadu. Namun itu saja belum cukup.
“Kami berharap Majelis Hakim menghukum Atuk Annas dengan hukuman setinggi-tingginya termasuk hak politiknya dicabut,” kata Emerson dari ICW.
ICW, Jikalahari dan riau corruption trial mendesak agar:
1. Selain Atuk Annas dituntut setinggi-tingginya, majelis hakim juga dalam pertimbangannya harus menyebutkan bahwa Surya Darmadi dan Zulkifli Hasan bagian dari tindak pidana korupsi yang dilakukan Atuk Annas.
2. KPK segera menetapkan Surya Darmadi dan PT Duta Palma sebagai tersangka pemberi suap kepada Annas Mammun.(rls)
Pemberi suap lain kepada Annas Maamun adalah Surya Darmadi, Pemilik PT Duta Palma Nusantara. Duta Palma, yang lahannya berada di Indragiri Hulu, turut dimasukkan ke dalam usulan perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan di Propinsi Riau. Surya memberikan Rp 3 Miliar dari yang dijanjikan sejumlah Rp 8 Miliar kepada Annas Maamun. “Ini berarti Duta Palma selama beroperasi di atas kawasan hutan yang belum dilepaskan oleh MenLHK. Operasional PT Duta Palma selama ini adalah illegal,” kata Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari.
Peristiwa suap menyuap ini berawal dari Menteri Kehutanan, saat itu Zulkifli Hasan, menyerahkan SK 673 tahun 2014 tentang rencana tata ruang wilayah Riau. Di dalam SK, Zulkifli menanda tangani terkait perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas 1,63 juta hektar, perubahan fungsi kawasan hutan seluas 717 ribu hektar, serta penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas 11 ribu hektar.
Saat menyampaikan pidato sempena Hari Ulang Tahun Propinsi Riau, Zulkifli memberi kesempatan kepada masyarakat Riau melalui pemerintah Propinsi Riau untuk memasukkan revisi terkait SK 673 bila masih ada lahan masyarakat yang belum terakomodir di dalam SK tersebut.
”Mengapa Zulkifli Hasan menawarkan perubahan sementara SK Kawasan Hutan dan Bukan Kawasan Hutan sudah ditetapkan diteken? Disinilah malapetaka bermula,” kata Muslim Rasyid, Koordinator riau corruption trial.
Kesempatan itu tak disia-siakan Gulat Manurung dan Surya Darmadi. Gulat meminta kepada Annas Maamun agar lahan yang dikelolanya di Kuantan Singingi dan Bagan Sinembah dimasukkan ke dalam usulan revisi.
Begitu pula Surya Darmadi. Melalui Suheri Tirta, pada 19 Agustus 2014, PT Duta Palma mengajukan surat permohonan yang pada pokoknya meminta agar Annas Maamun mengakomodir lokasi perkebunan PT Palma Satu, PT Panca Agro Lestari, PT Banyu Bening Utama, PT Seberida Subur—anak perusahaan PT Duta Palma Nusantara—di Indragiri Hulu ke dalam usulan revisi tata ruang wilayah Riau. Surya Darmadi menjanjikan sejumlah uang kepada Annas Maamun yang diberikan melalui Gulat Manurung.
Pada 17 September 2014, Annas Maamun menanda tangani surat usulan revisi rencana tata ruang wilayah Riau dimana lahan Gulat Manurung di Kuantan Singingi seluas 1.118 hektar dan di Bagan Sinembah seluas 1.214 hektar serta lokasi perkebunan PT Palma Satu seluas 11.044 hektar, PT Panca Agro Lestari seluas 3.585 hektar, dan sebagian besar lokasi perkebunan PT Banyu Bening Utama turut masuk di dalamnya. Termasuk pula lahan Edison Marudut Marsadauli Siahaan, pemilik PT Citra Hokiana Triutama seluas 140 hektar di Duri Bengkalis.
Upaya PT Duta Palma melegalkan kawasan hutannya seluas 18 ribu hektar terkait dengan pengurusan sertifikat ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). Zulher, Kepala Dinas Perkebunan Propinsi Riau, saat bersaksi di persidangan mengungkapkan bahwa 3 anak perusahaan PT Duta Palma belum bisa memperoleh sertifikat ISPO karena lahannya masih berada di dalam kawasan hutan. Karena itu mereka getol berupaya agar lahannya bisa masuk ke dalam usulan revisi tata ruang wilayah Riau untuk dialihfungsikan menjadi bukan kawasan hutan.
Hal tersebut tercermin dari upaya Surya Darmadi maupun Suheri Tirta, anak buahnya, menemui sejumlah pihak. Mereka membawa surat disposisi dari Annas Maamun kepada Wakil Gubernur Riau, Arsyadjuliandi Rahman, maupun ke Dinas Kehutanan serta Bappeda Riau, dan menanyakan kemungkinan lahan PT Duta Palma bisa masuk ke dalam usulan revisi.
Upaya lain dilakukan dengan bantuan Zulher yang menghubungkan mereka dengan Gulat Manurung. Gulat dekat dengan Annas Maamun. Surya dan Suheri minta tolong kepada Gulat agar Annas bersedia memasukkan lahan PT Duta Palma ke dalam usulan revisi. Mereka menjanjikan sejumlah uang kepada Annas dan Gulat.
Hingga akhirnya pada 17 September 2014, Annas Maamun menanda tangani surat revisi rencana tata ruang wilayah Riau dengan memasukkan lahan PT Duta Palma di dalamnya. Annas Maamun menerima Rp 3 Miliar dan Gulat Manurung menerima Rp 750 juta dari Surya Darmadi melalui Suheri Tirta. Penuntut Umum menuntut Annas Maamun penjara 6 tahun dan denda Rp 250 juta atas perbuatannya memasukkan lahan yang dikelola Gulat Manurung dan lahan PT Duta Palma yang berada di luar rekomendasi tim terpadu. Namun itu saja belum cukup.
“Kami berharap Majelis Hakim menghukum Atuk Annas dengan hukuman setinggi-tingginya termasuk hak politiknya dicabut,” kata Emerson dari ICW.
ICW, Jikalahari dan riau corruption trial mendesak agar:
1. Selain Atuk Annas dituntut setinggi-tingginya, majelis hakim juga dalam pertimbangannya harus menyebutkan bahwa Surya Darmadi dan Zulkifli Hasan bagian dari tindak pidana korupsi yang dilakukan Atuk Annas.
2. KPK segera menetapkan Surya Darmadi dan PT Duta Palma sebagai tersangka pemberi suap kepada Annas Mammun.(rls)
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
Annas Maamun Dibui, Kapan Surya Darmadi Bos Duta Palma Diproses KPK?
Rabu, 15 Juli 2015 13:27
,
JAKARTA - Pengadilan
Tipikor Bandung telah menjatuhkan vonis 6 tahun penjara kepada Annas
Maamun mantan Gubernur Riau karena terbukti bersalah sebagai penerima
suap dalam kasus alih fungsi kawasan hutan di Riau. Bersama Annas
turut pula dihukum perantara kasus suap tersebut yaitu Gulat Medali
Emas Manurung yang divonis 3 tahun penjara.
Dari
segi beratnya hukuman, vonis terhadap Annas Maamun dan Gulat Manurung
patut diparesiasi karena memang vonisnya cukup berat dibanding
kasus-kasus serupa, namun dari segi penuntasan perkara kasus tersebut
masih terasa menggantung karena pemberi suap sama sekali belum
disentuh," ujar Said Bakhrie, juru bicara Paguyuban Alumni FH UI
dalam rilisnya kepada tribunnews.com, Rabu (15/7/2015).
"Suap
adalah tindak pidana yang hanya bisa terjadi jika ada peran dari
pemberi, perantara dan penerima, jika salah satunya tidak berkenan
memberi atau menerima maka tindak pidana tersebut tidak akan bisa
terjadi," tambahnya.
Dijelaskan,
sebagaimana terungkap dalam amar putusan Annas Maamun dan Gulat
Manurung bahwa salah satu pemberi suap dalam perkara tersebut adalah
Surya Dharmadi pemilik PT Duta Palma. Gulat Manurung sebagai
perantara memasukkan lahan Duta Palma kedalam rencana alih fungsi
lantaran kedekatannya dengan Annas.
Lahan
yang diupayakan dalam usulan revisi berlokasi di Kabupaten Inhu
seluas 18 ribu hektare. Mulanya, lahan tersebut merupakan kawasan
hutan, namun Surya Darmadi meminta bantuan Gulat untuk melobi Annas
agar memasukkannya menjadi usulan revisi sehingga diubah menjadi Area
Penggunaan Lain (APL) agar legal ditanami sawit.
Dalam
UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor secara jelas diatur bahwa baik
pemberi suap, perantara suap maupun penerima suap sama-sama melanggar
hukum dan sama-sama harus diadili dan dihukum.
"Kita
bisa melihat kasus suap lain sebagai rujukan seperti kasus Arthalita
Suryani dan Urip Tri Gunawan, kasus Hartatai Murdaya dan Bupati Amran
Batalipu, serta kasus Akil Mohtar dan Ratu Atut Chosiyah. Dalam
ketiga kasus tersebut baik pemberi suap, perantara dan penerima suap
sama-sama diadili dan dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Tipikor,"
katanya.
Setiap
warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum, begitu
juga Surya Dharmadi. Sebagai warga negara, lanjutnya, ia tidak boleh
dibiarkan menjadi kebal hukum , jika ia benar memberi suap
sebagaimana diurai dalam putusan Annas dan Gulat maka ia harus
bertanggung-jawab sesuai dengan hukum yang berlaku.
KPK
dan Pengadilan Tipikor mempunyai kewajiban untuk memastikan hukum
benar-benar ditegakkan dengan adil dalam kasus ini. Mereka harus
ingat bahwa kredibilitas KPK dan Pengadilan Tipikor saat ini sedang
diuji.
"Kami
berharap dalam waktu paling lama satu bulan, proses peradilan
terhadap Surya Dharmadi sudah digelar di Pengadilan Tipikor,"
harap Said. (*)
No comments:
Post a Comment