Thursday, January 25, 2018

Sawit korupsi di Buol Sulawesi in news clippings

Mantan Bupati Buol Amran Batalipu Divonis 7,5 Tahun Penjara
ICHA RASTIKA
Kompas.com - 11/02/2013, 14:43 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Bupati Buol Amran Batalipu dijatuhi hukuman tujuh tahun enam bulan penjara ditambah denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan. Selaku Bupati Buol pada 2012, Amran dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut dengan menerima hadiah atau janji berupa uang Rp 3 miliar dari PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP)/ PT Cipta Cakra Mudaya (PT CCM) dalam dua tahap. Uang tersebut merupakan barter atas jasa Amran yang membuat surat rekomendasi terkait izin usaha perkebunan dan hak guna usaha perkebunan untuk PT HIP/ PT CCM di Buol.
Putusan ini dibacakan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang terdiri dari Gusrizal (ketua), dan tiga hakim anggota, yakni Made Hendra, Tati Hardiyanti, Joko Subagyo, dan Slamet Subagyo dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (11/2/2013).
“Menyatakan Amran terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagai perbuatan berlanjut. Menjatuhkan pidana selama tujuh tahun enam bulan penjara dan pidana denda Rp 300 juta diganti kurungan enam bulan,” kata Ketua Majelis Hakim Gusrizal.
Menurut majelis hakim, Amran terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 KUHP sebagaimana dalam dakwaan pertama.
Putusan ini lebih ringan dibanding tuntutan jaksa yang meminta Amran dihukum 12 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta yang dapat diganti kurungan enam bulan. Menurut majelis hakim, Amran menerima hadiah dari Hartati Murdaya selaku Direktur PT HIP dan PT CCM berupa uang senilai total Rp 3 miliar. Uang tersebut diberikan dalam dua tahap, melalui petinggi perusahaan tersebut, Yani Anshori dan Gondo Sudjono.
Adapun Hartati divonis dua tahun delapan bulan penjara, sementara Yani dan Gondo masing-masing satu setengah tahun, dan satu tahun penjara. Ketiga orang ini hanya dianggap terbukti menyuap, yakni melanggar  Pasal 5 Ayat 1 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 Ayat 1 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP sehingga hukumannya lebih ringan.
Berdasarkan fakta persidangan, kata hakim, pemberian uang Rp 3 miliar itu merupakan kesepakatan dalam pembicaraan Amran dengan Hartati di suatu Hotel di Jakarta dan pembicaraan keduanya melalui telepon. Sebelum pertemuan itu, Amran meminta melalui Yani, Gondo, dan Arim (financial controller PT HIP) agar dibantu dana Rp 3 miliar.
Sementara pihak PT HIP meminta Amran membuat surat rekomendasi izin usaha perkebunan (IUP) yang ditujukan kepada Gubernur Sulawesi Tengah, serta surat rekomendasi kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional terkait hak guna usaha (HGU) atas lahan seluas 4.500 hektar milik PT CCM/PT HIP.
“Setelah terdakwa membuat surat tersebut, Hartati mengucapkan terimakasih melalui telepon dan meminta dibuatkan lagi satu surat, untuk lahan sisa luas 7.090 hektar yang akan dibarter dengan uang Rp 2 miliar,” kata hakim Tati.
Padahal, lanjut hakim, Amran mengetahui kalau pembuatan surat rekomendasi itu bukanlah kewajibannya atau bertentangan dengan kewajibannya selaku Bupati Buol. Dalam memutuskan perkara ini, majelis hakim pun menolak pembelaan pihak Amran yang berdalih kalau Amran sedang cuti dalam rangka kampanye Pilkada Buol, saat uang itu diberikan.
Sementara menurut hakim, pemberian suatu hadiah tidak harus dilakukan saat pegawai negeri atau penyelenggara itu sedang menjalankan dinasnya. “Bisa juga diberikan di rumahnya sebagai kenalan,” tambah hakim Tati.  Meskipun tengah cuti, lanjutnya, kedudukan Amran tetaplah bupati.
Majelis hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang dianggap meringankan maupun memberatkan hukuman Amran. Adapun hal yang memberatkan, perbuatan Amran dianggap kontraproduktif dengan upaya Pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi. Amran juga telah menggunakan kewenangannya untuk mendapat keuntungan pribadi. Sedangkan yang meringankan, Amran berlaku sopan selama persidangan, masih memiliki tanggungan keluarga, dan belum pernah dihukum.
======================
Mantan anak buah Hartati Murdaya ikhlas divonis 2 tahun
Senin, 16 Desember 2013 16:18Reporter : Aryo Putranto Saptohutomo
Sidang Hartati Murdaya. ©2013 Merdeka.com/Dwi Narwoko
Merdeka.com - Terdakwa kasus suap pengurusan sertifikat Hak Guna Usaha dan Izin Usaha Perkebunan lahan kelapa sawit milik PT Hardaya Inti Plantation, PT Cipta Cakra Murdaya, dan PT Sebuku Inti Plantation di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, Totok Lestiyo, dijatuhi hukuman dua tahun penjara oleh majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana KorupsiJakarta, hari ini. Atas vonis itu, mantan Direktur PT Hardaya Inti Plantation dan bekas anak buah pengusaha Siti Hartati Murdaya itu mengaku ikhlas.

"Yang mulia majelis hakim, tim penasehat hukum, dan yang mulia jaksa penuntut umum, atas diterbitkannya vonis hari ini, saya menerima," kata Totok selepas mendengarkan pembacaan amar putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (16/12).

Sementara itu, tim jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi diwakili Jaksa Supardi menyatakan pikir-pikir atas putusan itu. "Kami akan pikir-pikir selama tujuh hari," kata Jaksa Supardi.

Majelis hakim menyatakan Totok yang juga bekas anak buah pengusaha Siti Hartati Cakra Murdaya terbukti menyuap Bupati Buol, 
Amran Abdullah Batalipu, dalam pengurusan sertifikat Hak Guna Usaha dan Izin Usaha Perkebunan lahan kelapa sawit milik PT HIP, PT Cipta Cakra Murdaya, dan PT Sebuku Inti Plantation di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.

Hakim Ketua Gusrizal menyatakan, Totok juga dituntut pidana denda sebesar Rp 50 juta. Jika tidak dibayar, maka harus diganti hukuman kurungan selama tiga bulan.

Menurut Hakim Ketua Gusrizal, pertimbangan memberatkan Totok adalah perbuatannya mencederai tatanan pemerintah yang bersih dan bebas dari 
korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta tidak mendukung upaya pemerintah dalam menerapkan Good Corporate Governance (tata kelola pemerintahan yang baik). Sementara hal-hal meringankan adalah Totok belum pernah dihukum, menyesal dan mengakui terus terang perbuatannya, serta bersikap sopan selama masa persidangan.

Menurut Hakim Ketua Gusrizal, Totok terbukti melanggar dakwaan alternatif kesatu. Yakni Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto pasal 64 KUHPidana.

Menurut Hakim Taty Hadianty, Totok dengan sengaja memberikan hadiah atau janji, yakni uang Rp 3 miliar, kepada Amran supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Yaitu segera menerbitkan sertifikat Hak Guna Usaha dan Izin Usaha Perkebunan lahan kelapa sawit milik PT Cipta Cakra Murdaya di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah seluas 4500 hektar, serta sertifikat HGU dan IUP milik PT HIP seluas 22,780 hektar, serta IUP lahan perkebunan kelapa sawit di luar 4500 hektar dan 22,780 hektar diajukan oleh PT Sebuku Inti Plantation. PT Sebuku Inti Plantation adalah anak perusahaan PT CCM dan PT HIP yang juga milik Hartati.

Putusan itu lebih ringan dari tuntutan jaksa. Dua pekan lalu, Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut Totok dengan pidana penjara selama empat tahun. Tetapi, tuntutan pidana denda sama dengan vonis, yakni denda sebesar Rp 50 juta. Jika tidak dibayar, maka harus diganti hukuman kurungan selama tiga bulan.

===========================
Kasus suap izin lahan Buol, eks anak buah Hartati dibui 2 tahun
Senin, 16 Desember 2013 15:36Reporter : Aryo Putranto Saptohutomo
Mural Koruptor. ©2013 Merdeka.com/M. Luthfi Rahman
Merdeka.com - Majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana KorupsiJakarta, menjatuhkan putusan kepada mantan Direktur PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP), Totok Lestiyo, dengan pidana penjara selama dua tahun. Majelis hakim menyatakan Totok terbukti menyuap Bupati Buol, Amran Abdullah Batalipu.

Bekas anak buah pengusaha 
Siti Hartati Cakra Murdaya memberi suap dalam pengurusan sertifikat Hak Guna Usaha dan Izin Usaha Perkebunan lahan kelapa sawit milik PT HIP, PT Cipta Cakra Murdaya, dan PT Sebuku Inti Plantation di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.

"Menjatuhkan putusan kepada terdakwa Totok Lestiyo berupa pidana penjara selama dua tahun, dikurangkan dari masa tahanan seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim, Gusrizal Lubis, saat membacakan amar putusan Totok di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (16/12).

Hakim Ketua Gusrizal menyatakan, Totok juga dituntut pidana denda sebesar Rp 50 juta. Jika tidak dibayar, maka harus diganti hukuman kurungan selama tiga bulan.

Menurut Hakim Ketua Gusrizal, pertimbangan memberatkan Totok adalah perbuatannya mencederai tatanan pemerintah yang bersih dan bebas dari 
korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta tidak mendukung upaya pemerintah dalam menerapkan Good Corporate Governance (tata kelola pemerintahan yang baik). Sementara hal-hal meringankan adalah Totok belum pernah dihukum, menyesal dan mengakui terus terang perbuatannya, serta bersikap sopan selama masa persidangan.

Menurut Hakim Ketua Gusrizal, Totok terbukti melanggar dakwaan alternatif kesatu. Yakni Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto pasal 64 KUHPidana.

Menurut Hakim Taty Hadianty, Totok dengan sengaja memberikan hadiah atau janji, yakni uang Rp 3 miliar, kepada Amran supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Yaitu segera menerbitkan sertifikat Hak Guna Usaha dan Izin Usaha Perkebunan lahan kelapa sawit milik PT Cipta Cakra Murdaya di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah seluas 4500 hektar, serta sertifikat HGU dan IUP milik PT HIP seluas 22,780 hektar, serta IUP lahan perkebunan kelapa sawit di luar 4500 hektar dan 22,780 hektar diajukan oleh PT Sebuku Inti Plantation. PT Sebuku Inti Plantation adalah anak perusahaan PT CCM dan PT HIP yang juga milik Hartati.

Padahal, dalam peraturan Menteri Kehutanan, sebuah perusahaan hanya boleh memiliki surat izin lokasi dan sertifikat Hak Guna Usaha dengan luas lahan perkebunan maksimal 20 ribu hektar. Tetapi, lanjut Hakim Taty, Hartati memaksa supaya surat-surat itu segera diterbitkan, padahal luas lahan perkebunan kelapa sawit milik PT CCM dan PT HIP sudah melebihi ketentuan untuk diajukan dalam permohonan. Maka dari itu, Hartati memerintahkan Totok menghubungi Amran dan mendesaknya supaya mau menyanggupi permintaan itu.

"Bupati Buol 
Amran Abdullah Batalipu menyanggupi permintaan itu dengan imbalan sejumlah uang," kata Hakim Taty.

Hakim Anggota I Made Hendra mengatakan, uang sogok buat Amran diambil dari kas perusahaan PT HIP dan PT Cipta Cakra Murdaya, atas sepengetahuan 
Hartati Murdaya . Uang itu diserahkan bertahap sebanyak dua kali kepada Amran melalui Direktur Keuangan PT HIP, Arim, General Manajer Supporting PT HIP Yani Anshori, dan Direktur Operasional PT HIP, Gondo Sudjono Notohadi Susilo. Dia melanjutkan, Totok juga sempat memberikan bantuan survei politik kepada Amran yang saat itu akan maju kembali sebagai calon petahana di pemilihan umum kepala daerah Kabupaten Buol.

Saat itu, Totok atas sepengetahuan Hartati menunjuk lembaga survei Saiful Muzani Research Consulting (SMRC) untuk mengadakan survei politik untuk Amran, menjelang pemilukada Kabupaten Buol. Tetapi, menurut Saiful, tingkat keterpilihan Amran terpaut jauh ketimbang lawan politiknya.

Amran yang mengetahui hal itu juga melobi 
Hartati Murdaya supaya mau menyumbang buat pemenangan Amran. Hartati setuju dan memerintahkan Totok mencairkan uang Rp 1 miliar untuk diberikan kepada Amran dengan dalih bantuan pembelian sembako dan kampanye. Uang itu diantarkan oleh Arim dan Yani ke rumah Amran pada tengah malam. Tak lama setelah penyerahan duit itu, Amran memerintahkan Asisten I Kabupaten Buol, Amir Rihan Togila, segera mengurus dan menerbitkan Izin Lahan dan IUP PT HIP dan PT SIP.

"Arim dan Yani kemudian mengambil surat izin lahan serta IUP milik PT HIP dan PT SIP di kantor Amran pada pukul 09.00 WITA keesokan harinya," kata Hakim Made Hendra.

Sementara pengiriman uang kedua, yakni Rp 2 miliar, dilakukan oleh Yani dan Gondo. Fulus itu diberikan supaya Amran segera menerbitkan sertifikat Hak Guna Usaha dan IUP lahan kepala sawit milik PT CCM. Duit itu diantar ke rumah peristirahatan Amran, di Villa Leok, Kabupaten Buol.

"Uang itu dikeluarkan terdakwa dari kas perusahaan PT HIP atas sepengetahuan Hartati Murdaya," ujar Hakim Made Hendra.

Menurut Hakim Anggota Mathius Samiaji, proses pemberian uang Rp 3 miliar kepada Amran melalui Arim, Yani, Gondo telah direncanakan oleh Hartati dan Totok. Dia menyimpulkan, perbuatan itu tidak berdiri sendiri dan merupakan satu kesatuan atas beberapa kejadian perbuatan bersama-sama atas permintaan Hartati.

=========================================
Busyro: Di negeri ini ada korupsi by design, merinding kita
Selasa, 10 Desember 2013 11:42Reporter : Islahudin
Busyro nonton sidang Luthfi Hasan. ©2013 Merdeka.com
Merdeka.com - Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas memaparkan maraknya korupsipejabat publik di hadapan kepala daerah. Dia menjadikan kasus Luthfi Hasan Ishaaqsebagai contoh bagaimana aturan impor sapi didesain untuk melakukan tindakan korupsi.

"Tadi malam sudah diputus vonis untuk 
Luthfi Hasan Ishaaq meskipun belum inkracht (tetap). Tindak pidana pencucian uangnya sudah disahkan dan asetnya diambil," kata Busyro di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (9/12).

Busro mengungkapkan, korupsi yang berbahaya justru dimulai dari peraturan yang didesain untuk korupsi. Dia mencontohkan bagaimana dalam peraturan impor sapi yang membuat peternak lokal tidak bisa menyuplai kebutuhan dalam negeri.

"Di negeri kita ada kebijakan korupsi by design. 
Korupsi yang paling berdampak ini adalah yang melalui by design ini. Ini bisa lihat bagaimana dalam kasus impor sapi yang membuat peternak lokal tidak bisa ngapa-ngapain. Banyak kebijakan lain yang kami telisik lagi. Merinding kita lihat datanya. Tapi mari kita sama-sama perbaiki," papar Busyro.

Selain itu Busyro juga menyentil Bupati Buol, 
Amran Batalipu dan Hartati Murdayadalam penjualan izin tanah. Busyro meminta kepada kepala daerah yang hadir untuk tidak meniru Amran dalam hal izin tanah.

"KPK sudah banyak nangkap kepala daerah. Contohnya kasus Bupati Buol, kasusnya penjual izin tanah. Harusnya tanah itu dikelola masyarakat Buol. Tapi malah izinnya dijual ke pengusaha salah satu partai besar di Jakarta. Bapak-bapak tidak perlu mencontoh yang seperti itu," terang Busyro. 
[tts]

======================
Amran Batalipu Minta Mantan Anak Buahnya Dijadikan Tersangka
Senin, 11 Februari 2013 22:35 WIB
Amran Batalipu Minta Mantan Anak Buahnya Dijadikan Tersangka
TRIBUN/DANY PERMANA
Mantan Bupati Buol Amran Batalipu usai menjalani sidang vonis perkaranya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (11/2/2013). Amran divonis 7 tahun 6 bulan dan dena Rp 300 juta karena terlibat kasus suap menyuap dalam pengurusan hak guna usaha perkebunan kelapa sawit PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP) dan PT Cipta Cakra Murdaya (PT CCM). TRIBUNNEWS/DANY PERMANA
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA--Mantan Bupati Buol, Amran Batalipu, meminta anak buahnya, Asisten I Bupati Buol yang juga Ketua Tim Lahan, Amir Rihan Togila, ikut ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi kepengurusan izin usaha perkebunan dan hak guna usaha perkebunan di Buol.

Amran juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua petinggi PT Hardaya Inti Plantation, Totok Lestiyo (direktur) dan Arim (financial controller) sebagai tersangka.Permintaan ini disampaikan Amran kepada Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta seusai mendengarkan pembacaan vonis, Senin (11/2/2013).

"Arim dan Totok ini yang menjembatani saya dan salah satu staf saya, Amir Rihan Togila, terlibat jelas. Demi keadilan, kami berharap hakim sampaikan ke jaksa penuntut umum agar tiga orang ini dijadikan tersangka," kata Amran.

Amran bahkan mengaku pernah dijanjikan penyidik KPK kalau ketiga orang itu bakal menjadi tersangka. Menjawab permintaan ini, Ketua Majelis Hakim Tipikor Gusrizal mengatakan bahwa pihaknya tidak berwenang menetapkan seseorang jadi tersangka.

Penetapan seseorang menjadi tersangka, tergantung pada penyidik KPK."Jadi tugas kami hanya menerima, memeriksa, dan memutus perkara. Tergantung pada penyidik apakah (seseorang) menjadi tersangka atau saksi," kata Gusrizal.

Tak patah arang, Amran kembali beragumen. Dia pun mencontohkan persidangan kasus dugaan suap Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID). Dalam kasus itu, katanya, majelis hakim bisa mendesak jaksa KPK untuk menjadikan pengusaha Haris Surahman sebagai tersangka. Tidak lama setelah desakan itu disampaikan, KPK pun menetapkan Haris sebagai tersangka.

"Waktu itu hakim menyampaikan ke JPU (jaksa penuntut umum) agar Haris jadi tersangka. Alhamdulillah disikapi penyidik KPK dan menjadikan tersangka," ujar Amran. Selain itu, dia menilai Amir patut jadi tersangka karena menurutnya, pria itu ikut mendapatkan uang dari Hartati senilai Rp 100 juta.

Kendati demikian, Majelis Hakim Tipikor tetap menolak permintaan Amran ini. "Keluhan saudara bukan kewenangan majelis, itu kewenangan penyidik," tepis hakim Gusrizal.

Dalam kasus dugaan suap di Buol, majelis hakim Tipikor menjatuhkan vonis tujuh tahun enam bulan penjara ditambah denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan kepada Amran.

Sebagai Bupati Buol pada 2012, Amran dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut dengan menerima hadiah atau janji berupa uang Rp 3 miliar dari PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP)/ PT Cipta Cakra Mudaya (PT CCM).

Uang tersebut merupakan barter atas jasa Amran yang membuat surat rekomendasi terkait izin usaha perkebunan dan hak guna usaha perkebunan untuk PT HIP/ PT CCM di Buol. Hadiah dari Hartati itu, menurut hakim, diberikan dalam dua tahap melalui petinggi PT HIP, Yani Anshori dan Gondo Sudjono.

==========================
MA Anulir Vonis Bebas Mantan Bupati Buol   
Kamis, 19 January 2017 20:12 WIBPenulis: Nur Aivanni

ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
MAHKAMAH Agung (MA) menganulir vonis bebas yang diberikan kepada mantan Bupati Buol Amran H Batalipu. Majelis hakim yang diketuai oleh Artidjo Alkostar tersebut kemudian menjatuhkan hukuman 8 tahun penjara. Demikian disampaikan oleh Juru Bicara MA Suhadi.
"Iya benar (MA menganulir vonis bebas Amran)," saat dihubungi Media Indonesia, Kamis (19/1). Ia menambahkan selain hukuman penjara, Amran juga dikenakan hukuman denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan.
Untuk diketahui, Amran divonis bebas oleh Pengadilan Tipikor Palu. Dalam putusan tersebut, terdapat dissenting opinion yakni dari tiga majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, dua majelis hakim menyatakan Amran tidak terbukti korupsi dana panjar kas Kabupaten Buol tahun 2010.
Namun, jaksa penuntut umum tidak terima dengan putusan tersebut dan kemudian mengajukan kasasi ke MA.
Majelis hakim yang dipimpin Artidjo dengan anggota MS Lumme dan Abdul Latief tersebut pun mengabulkan kasasi jaksa. Selain pidana penjara dan denda yang dijatuhkan, Amran pun harus membayar uang pengganti senilai Rp 2.378.359.300. Apabila tidak membayar uang pengganti tersebut, maka hukumannya akan ditambah selama tiga tahun penjara. OL-2
=============================
Perusahaan Ayin Dukung Amran Batalipu di Pemilukada Buol
55
Jakarta (26/07/2012) Perusahaan milik anak Artalita Suryani alias Ayin, PT Sonokeling Buana ikut mendukung tersangka Bupati Buol, Amran Batalipu sebagai syarat membuka perkebunan di Buol, Sulawesi Tengah. Di kantor KPK, Jakarta hari ini, kuasa hukum Ayin, Teuku Nasrullah mengatakan saat mengajukan permohonan membuka lahan tahun 2010, Amran mengajukan 3 syarat utama  yaitu serius membangun usaha dan membuat perkebunan Plasma milik petani berbarengan dengan perkebunan inti milik perusahaan. Selain itu, ia meminta  petani yang bekerja dibawah PT Sonokeling untuk memberikan suara pada Amran saat Pemilu Kada. Menurut Nasrullah, saat Pemilu Kada di Buol, Juli lalu direksi PT Sonokeling sudah menghimbau petani untuk memilih Amran. Meski begitu, Ayin sudah tidak lagi memiliki hubungan administratif dengan PT Sonokeling karena dilimpahkan ke anaknya, Rommy Dharma Setiyawan.
Kuasa hukum Artalita Suryani alias Ayin, Teuku Nasrullah menambahkan dalam pemeriksaan KPK terhadap kliennya Selasa lalu di KBRI Singapura penyidik menanyakan mengenai hubungannya dengan 3 tersangka kasus ini yaitu Amran Batalipu, pengusaha Gondo Sujono dan Yani Anshori. Menurut Ayin ia tidak mengenal dan tidak pernah berhubungan dengan mereka Nasrullah menjelaskan bahwa kedatangannya ke KPK ini untuk mendampingi anak Ayin, Rommy Dharma Setiyawan yang diperiksa terkait kasus dugaan suap untuk pengurusan Hak Guna Usaha di Kabupaten Buol. Selain Rommy, KPK hari ini juga memeriksa direktur utama PT Sonokeling Buana, Saiful Rizal. (eko/ary)
==========================
Mantan Bupati Buol dituntut 12 tahun penjara
 Kamis, 10 Januari 2013 12:20 WIB
Jaksa menuntut mantan Bupati Buol Amran Batalipu dijatuhi hukuman penjara selama 12 tahun, denda Rp500 juta dan membayar uang pengganti Rp3 miliar. (ANTARA/Rosa Panggabean)


Jakarta (ANTARA News) - Mantan Bupati Buol Amran Batalipu dituntut hukuman penjara 12 tahun, denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp3 miliar karena dianggap terbukti menerima suap dalam penerbitan Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan Hak Guna Usaha (HGU).

Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, Jaksa Penuntut Umum Irene Putri mengatakan bisa terdakwa tidak membayar uang pengganti dan denda maka harta bendanya akan disita atau terdakwa dipidana selama dua tahun.

Menurut jaksa, Amran terbukti bersalah berdasarkan pasal 12 huruf a Undang-undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang sebagaimana dakwaan pertama.

"Hal-hal yang memberatkan atas terdakwa adalah melakukan perlawanan saat dilakukan penangkapan, berbelit-belit saat dilakukan pemeriksaan dan sebagai kepala daerah tidak memberikan contoh yang baik," tambah jaksa.

Menurut jaksa, pada 15 April 2012 di gedung Pusat Niaga Pekan Raya Jakarta (PRJ), Amran bertemu dengan Pemilik PT Citra Cakra Murdaya (CCM) dan PT Hartati Inti Plantation (HIP) Hartati Murdaya, Kepala Perwakilan PT HIP di Sulawesi Tengah Yani Ansori, Direktur Operasional PT HIP dan Totok Lestiyo, Direktur PT HIP dan Financial Controller PT HIP Arim membahas survei hasil pilkada di Buol.

Pada 11 Juni 2012 Amran kembali bertemu dengan Totok Lestiyo, Arim dan Hartati di gedung PRJ.

Menurut jaksa, Hartati meminta agar terdakwa menerbitkan surat-surat terkait dengan penerbitan IUP dan HGU untuk tanah seluas 4.500 hektare dan tanah di luar tanah tersebut yang masih merupakan bagian 75 ribu hektare di Buol yang merupakan milik PT CCM dan PT HIP.

"Hartati memberikan bantuan untuk kampanye Pilkada senilai Rp3 miliar," tambah jaksa.

Jaksa menyatakan, terdakwa sudah menerima semua uang dari PT HIP dan PT CCM yang selanjutnya digunakan untuk kampanye pilkada.

"Uang itu juga telah habis digunakan untuk kampanye pilkada dan sampai sekarang uang Rp3 miliar itu belum dikembalikan padahal uang tersebut tindak pidana koruspi," kata jaksa.

Amran dan tim pengacaranya akan menyampaikan nota pembelaan atas tuntutan jaksa tersebut pada Senin, 21 Januari 2013.

(D017)



Editor: Maryati
COPYRIGHT © ANTARA 2013
======================
Hartati divonis 2 tahun 8 bulan
 Senin, 4 Februari 2013 13:39 WIB
Hartati divonis 2 tahun 8 bulan
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menyatakan Siti Hartati Murdaya bersalah melakukan suap dalam pengurusan izin usaha perkebunan dan hak guna usaha.(ANTARA/Rosa Panggabean)


Jakarta (ANTARA News) - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Senin menjatuhkan vonis hukuman penjara selama dua tahun dan delapan bulan serta denda Rp150 juta subsider tiga bulan tahanan kepada pengusaha Siti Hartati Murdaya, terdakwa kasus suap pengurusan izin usaha perkebunan dan hak guna usaha di Buol, Sulawesi Tengah.

"Menyatakan terdakwa Siti Hartati Murdaya secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut," kata Ketua Majelis Hakim, Gusrizal.

Vonis tersebut masih lebih rendah dari tuntutan jaksa. Sebelumnya jaksa meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara selama lima tahun dan denda Rp250 juta subsider empat bulan penjara.

Dalam amar putusannya, majelis hakim menilai mantan anggota Komisi Ekonomi Nasional (KEN) tersebut terbukti memberikan hadiah atau janji kepada penyelenggara negara yaitu Bupati Buol, Amran Batalipu, supaya berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Menurut majelis, pemberian uang Rp1 miliar melalui Arim dan Yani dan Rp2 miliar melalui Yani dan Gondo kepada Amran Batalipu membuktikan bahwa unsur menjanjikan sesuatu telah terpenuhi.

Pemberian uang tersebut, menurut hakim, digunakan untuk mendapatkan surat rekomendasi dalam pengurusan hak guna usaha PT Citra Cakra Murdaya (CCM) yang masih satu kelompok perusahaan PT Hardaya Inti Plantation (HIP) untuk lahan seluas 4.500 hektare yang telah ditanami dan sisa lahan seluas 50 ribu hektare.

Menurut hakim, tindakan Hartati memberikan uang kepada Bupati Buol untuk mendapat surat rekomendasi PT CCM padahal PT HIP yang masih dalam satu kelompok perusahaan sudah mendapat HGU seluas 22 ribu hektare sehingga melanggar peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 2 tahun 1999.

Hakim menyatakan, menurut ketentuan itu areal HGU maksimal adalah 20 ribu hektare. "Jadi pemberian uang kepada Amran tidak sepatutnya dan dilakukan dengan kesengajaan supaya mendapat surat rekomendasi," jelas hakim.

"Majelis menganggap telepon pada 20 Juni 2012 oleh terdakwa bukanlah basa-basi atau ethok-ethok seperti dalam pledoi terdakwa karena dalam pembicaraan itu terdakwa meminta agar Amran membuat surat karena terdakwa keberatan dengan PT Sonokeling," ungkap Hakim.

Bupati Buol Amran Batalipu, menurut hakim, menyanggupi permintaan pemberian surat rekomendasi tersebut dan terdakwa menyatakan sanggup memberikan Rp1 miliar terlebih dulu dari permintaan dana Rp3 miliar.

Atas putusan tersebut baik Hartati maupunn tim jaksa penuntut umum menyatakan pikir-pikir. "Saya pikir-pikir yang mulia," kata Hartati.

(D017)




Editor: Maryati
COPYRIGHT © ANTARA 2013
======================

Bekas anak kesayangan Hartati Murdaya dijebloskan ke penjara

Senin, 23 September 2013 18:30Reporter : Putri Artika R
Merdeka.com - Mantan Direktur Utama PT Hardaya Inti Plantation Totok Lestiyo dijebloskan ke dalam tahanan usai diperiksa penyidik KPK. Totok yang bekas anak emas Siti Hartati Murdaya itu ditahan di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta.

"Ditahan untuk 20 hari pertama sejak hari ini," ujar Jubir KPK Johan Budi SP , Senin (23/9).

Totok sendiri saat keluar enggan berkomentar apapun kepada wartawan yang menunggunya di lobi KPK. Totok langsung masuk ke dalam mobil tahanan KPK yang membawanya ke Rutan Cipinang.

Totok disangkakan pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau pasal 13 UU 13 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No. 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Totok merupakan orang kepercayaan Hartati Murdaya. Hartati sempat mengaku dikhianati oleh anak buahnya sendiri lantaran menyeretnya dalam kasus ini. Kasus ini berawal dari tangkap tangan KPK kepada Manajer PT Hardaya Inti Plantation Yani Anshori di Buol, Sulawesi Selatan.

Dari penangkapan itu, kemudian KPK juga mengejar GM PT Cipta Cakra Murdaya Gondo Sudjono yang ditangkap bersama-sama dua orang lainnya yakni Sukirno dan Dedi Kurniawan. Mereka ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta, sehari setelah operasi tangkap tangan di Buol. Sedangkan penerima suap yakni Bupati Buol Amran, melarikan diri yang pada akhirnya di tangkap di rumahnya. Kesemuanya telah menjalani sidang dan putusan vonis.

Hartati diputus bersalah oleh Majelis Pengadilan Tipikor karena terbukti menyuap Rp 3 miliar kepada Bupati Buol untuk pengurusan HGU lahan kelapa sawit di Buol Sulawesi Selatan atas PT CCM. Hartati pun banding dan banding itu ditolak oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Kini, pihak Hartati mengajukan kasasi ke MA. [did]



Thursday, December 7, 2017

Palm Oil Sustainability Initiatives: ISPO, RSPO, POIG & SPOM, etc...

ISPO

Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) is a policy taken by the government of Indonesia, which is in this context, Ministry of Agriculture, aims to increase competitiveness of the Indonesian palm oil in the world market and to take part in the framework of fulfilling the commitment of President of republic of Indonesia in reducing greenhouse gas emissions as well as to pay attention to environmental problems. Visit ISPO webpage at http://www.ispo-org.or.id/index.php?lang=ina 

RSPO

RSPO will transform markets to make sustainable palm oil the norm. Missions are (1) Advance the production, procurement, finance and use of sustainable palm oil products; (2) Develop, implement, verify, assure and periodically review credible global standards for the entire supply chain of sustainable palm oil; (3) Monitor and evaluate the economic, environmental and social impacts of the uptake of sustainable palm oil in the market; and (4) Engage and commit all stakeholders throughout the supply chain, including governments and consumers. Visit homepage of the RSPO at https://www.rspo.org/about

POIG 

The Palm Oil Innovation Group (POIG) is a multi-stakeholder initiative that strives to achieve the adoption of responsible palm oil production practices by key players in the supply chain through developing and sharing a credible and verifiable benchmark that builds upon the Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), and creating and promoting innovations. Visit homepage of the POIG at http://poig.org/

SPOM

Sustainable Palm Oil Manifesto: As growers, traders and processors, non-governmental organisations, end-users and financial institutions, we are committed to ensuring sustainability in the entire chain from cultivation to consumption. In line with this commitment, we propose to enhance the RSPO Principles and Criteria (P&C) with three specific objectives:
i) To build traceable and transparent supply chains; ii) To accelerate the journey to no deforestation through the conservation of high carbon stock (HCS) forests and the protection of peat areas regardless of depth, and iii) To increase the focus on driving beneficial economic change and to ensure a positive social impact on people and communities.

SPOM document in pdf is accessible at http://www.ioigroup.com/Content/S/PDF/Sustainable_Palm_Oil_Manifesto.pdf

Monday, March 20, 2017

PTPN II PRAFI RESMI DIBELI YONGJIN

MANOKWARI - Sekitar 30 tahun akrab dengan masyarakat Manokwari terutama warga di Distrik Warmare, Prafi dan Masni, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II Tanjung Morawa akhirnya akan segera ‘’angkat koper’’ dari daerah ini. Hal ini setelah perusahaan perkebunaan yang berpusat di Sumatera Utara menjual aset-asetnya dalam proses pelelangan yang dilangsungkan di Mess PTPN II di Swafen,Jumat (9/5) pagi.

Direktur Perencanaan dan Pengembangan PTPN II Tanjung Morawa, Hakim Bako menyebut, kurun waktu 30 tahun bersama warga Manokwari cukup lama. Sebenarnya sangat berat meninggalkan areal perkebunan kelapa sawit (PKS) ini. Namun demi kepentingan masyarakat luas, maka PTPN II rela melepas aset-asetnya di Manokwari ini. â€¨Ã¢€˜Ã¢€™Hari ini merupakan hari bersejarah, setelah kurang lebih 30 tahun beroperasi di Manokwari, akhirnya harus tinggalkan. 
Banyak suka duka yang terjadi. Tentu, sangat sedih melepas ini (perkebunan kelapa sawit),’’ tandas Hakim Bako usai proses pelelangan, kemarin.
Proses lelang dengan perantara Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Sorong berlangsung lancar. Disaksikan perwakilan dari Kejaksaan Tinggi Papua, BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) Provinsi Papua Barat serta para investor.
Setelah melalui proses lelang, akhirnya aset-aset PTPN II Tanjung Morawa di Unit Kebun Prafi jatuh pada PT Yongjing Investindo yang beralamat kantor di Jalan Sultan Agung 58 C Pasar Manggis Jakarta Selatan. 
Perusahaan ini menjadi pemenang tender setelah menawar Rp.87.310.000.000.
Aset-aset PTPN II Unit Kebun Prafi yang dilelang meliputi 3.300 hektar sesuai sertifikat HGU (Hak Guna Usaha) Nomor 11,24 November 1998, satu unit pabrik kelapa sawit kapasitas terpasang 60 ton TBS/jam beserta sarana dan prasarana di Distrik Warmare, Prafi dan Masni.
Apa alasan PTPN II hingga menjual perkebunan kepala sawit dan pabrik pengolahan di Prafi, Manokwari ini? Hakim Bako yang ditemui koran ini menjelaskan, selama ini, pihak perusahaan cukup sulit mengontrol dan mengawasi unit di Prafi karena dibatasi jarak. ‘’Dilelang bukan karena alami kerugian tapi pengawasan yang terlalu jauh dari Medan. 
Tidak efisien kalau control dari Medan. Proses pelelangan ini kita laksanakan sesuai peraturan perundang-undangan dan dilaksanakan oleh KPKNL Sorong. Juga didampingi BPKP dan Kejaksaan,’’ ujar Hakim Bako.
PTPN II sudah menempuh langkah-langkah proses pelelangan, diawali dengan pengumuman di dua harian, Kompas dan Radar Sorong, 30 April 2014 lalu. Selanjutnya dilaksanakan Aanwijzing pada, Rabu,7 Mei. Saat Aanwijzing ada 3 perusahaan yang ikut, PT Pedco, PT P Papua Doberi Mandiri (Padoma) BUMD Prov Papua Barat, dan PT Yongjing Investindo. 
‘’Pada saat itu kita jelaskan sejelas-jelasnya apa yang telah diumumkan di surat kabar,’’ jelasnya.
Namun ternyata, pada hari pelelangan, Jumat kemarin, hanya jajaran PT Yongjing Investindo yang hadir. Lagi pula, dua perusahaan lainnya tidak menyampaikan penawaran sesuai persyaratan tender serta tidak menyetor jaminan di bank sebesar 20 persen dari harga limit lelang Rp 87,3 miliar. ‘’Hanya satu (perusahaan) yang memenuhi maka, mereka lah sebagai penawar dan lolos ikut dalam pelelangan,’’ tukas Hakim Bako lagi.
Hakim Bako perlu menjelaskan, bahwa yang dijual ini merupakan aset milik PT PN II sesuai HGU, yakni kebun inti kelapa sawit dan sejumlah aset lainnya. 
Sedangkan kebun plasma merupakan milik masyarakat. ‘’Ya, tujuannya supaya masyarakat (pemilik kebun plasma) bisa lebih baik,’’ tandasnya.
Untuk penyerahan aset dari PT PN II kepada PT Yongjing Investindo sebagai pemenang tender, lanjut Hakim Bako, perlu proses. Namun demikin, PT PN II tidak akan meninggalkan perkebunan ini begitu saja, tapi akan melakukan pendampingan terhadap perusahaan baru. ‘’Ini juga tidak menganggu dengan aktivitas perusahaan dan karyawan,’’ imbuh lagi.(lm)

Kategori : Manokwari
- See more at: http://www.radarsorong.com/read/2014/05/10/23752/PTPN-II-Prafi-Resmi-Dibeli-Yongjin#sthash.iAqHNEQr.dpuf

PTPN XIII Bangkrut, Pejabatnya Semakin Gendut, Harta Menumpuk

http://www.harianjayapos.com/detail-12907-ptpn-xiii-bangkrut-pejabatnya-semakin-gendut-harta-menumpuk.html

Selasa, 26 Juli 2016 - 05:54:16 WIB
PTPN XIII Bangkrut, Pejabatnya Semakin Gendut, Harta MenumpukKategori: Kalimantan Barat - Dibaca: 2681 kali

Baca Juga:

Pontianak, Jaya Pos
Perkembangan informasi terakhir, aset PTPN XIII dalam laporan di atas kertas mencapai 5 triliun rupiah termasuk di dalamnya aset bergerak maupun aset tidak bergerak.
Namun, jika diamati dari kaca mata ekonomi, mustahil bila ada kata-kata bangkrut alias kolaps. Padahal, pada tahun 2004 total aset PTPN XIII (aset baru) sekitar Rp 1,2 triliun dapat memberikan keuntungan hingga Rp 400 miliar pertahun.

Karyawan setingkat Golongan II bisa mendapatkan bonus dengan rata-rata 3 bulan gaji hingga 5 bulan gaji pokok pertahun. Sedangkan setingkat Golongan III (Staf) perusahaan dapat memeroleh tunjangan lain-lain hingga ratusan juta rupiah setiap tahunnya di era kepemimpinan Dirut Ir Akmal Hasibuan hingga di era Ir Hartoyo, yang tidak mengenal kata rugi, karena 90% lahan PTPN XIII dihibahkan oleh masyarakat dengan pola kerja sama 80-20, dari jumlah lahan masyarakat seluas 10 ha, diserahkan kepada perusahaan.

Masyarakat petani hanya mendapatkan lahan seluas 2 ha, pola Perkebunan Inti Rakyat itupun dibayar dengan cara pemotongan hasil produksi petani 30% yang disebut dengan petani Plasma. Namun, begitu aset semakin besar hingga mencapai 5 triliunan justru karyawan sama sekali tidak mendapatkan apa-apa, bahkan penggajian sering macet dan terkadang gaji sering dicicil serta utang membengkak.

Oknum-oknum di Bagian Produksi setingkat Asisten Kebun hingga ke Manager, bahkan hingga ke tingkat jajaran Direksi berlomba-lomba menggeruk keuntungan pribadi, memperkaya diri sendiri dengan mengorbankan aset diatas kertas sebagai agunan pinjaman dengan alasan proyek pengembangan areal.

Kenyataannya yang ada malah penjualan lahan areal yang sudah produksi kepada pihak swasta atau ke pihak pribadi yang mengakibatkan PTPN XIII yang berkantor pusat di Pontianak Kalbar sedang diambang kebangkrutan.
“Seperti pada pemberitaan Jaya Pos sebelumnya, akibat dari korupsi yang berkelanjutan boleh dibilang aset PTPN XIII sudah tergadai hingga 30 tahun kedepan,” ungkap sumber.

Dibalik kebangkrutan PTPN XIII tidak lain diakibatkan bobroknya sistem manajemen dari level direksi hingga ke tingkat kebun. Sejak kepemipinan Ir Akmal Hasibuan aroma korupsi besar-besaran sudah terendus ke permukaan bahkan sudah pernah ditangani Kejaksaan Tinggi Kalbar.

Namun, yang paling parah justru di tangan Ir RHN, Direktur Utama beserta pejabat jajaran setingkat Direktur Pengembangan, Direktur SDM, Direktur Keuangan, Direktur Produksi bahkan setingkat Kabag, GM, hampir merata terindikasi korupsi sehingga indentik di kalangan masyarakat bahwa PTPN XIII yang merupakan BUMN milik pemerintah itu, merupakan sarang korupsi.

Informasi dari berbagai sumber yang sangat layak dipercaya, menyebutkan sejumlah nama pelaku korupsi di ruang lingkup PTPN XIII, serta harta bergerak maupun tidak bergerak milik para pelaku.

“Bila benar-benar aparat terkait mau menindak lanjuti hingga ke meja hijau, kami akan menujukkannya dan siap untuk menjadi saksi demi penyelamatan PTPN XIII serta demi kesejahteraan karyawan serta kemaslahatan masyarakat,” tantang sumber.(Ruli S)

Thursday, December 1, 2016

Head of BRG Must Urge Companies to Restore in Area 36 Burned Corporations

Original Indonesian text at:
http://jikalahari.or.id/kabar/rilis/kepala-brg-harus-mendesak-perusahaan-melakukan-restorasi-di-area-36-korporasi-terbakar/

This is a google translate text:
Head of BRG Must Urge Companies to Restore in Area 36 Burned Corporations




Jakarta, Wednesday 30 November 2016- Jikalahari report on forest and land fires within the concession areas and concessions of 49 HTI and Palm Oil Plantation Industries in Riau during 2014-2016 to Nazier Foead, Head of the Peat Restoration Agency (BRG) at BRG Jakarta office. Nazir Foead received the report directly from Woro Supartinah (Coordinator Jikalahari) in this case representing Eyes On the Forest (EoF). EoF is a coalition made up of Jikalahari, Walhi Riau and WWF Riau.
Ka. BRG in accepting the report expressed appreciation of what EoF has done in monitoring the burning land and it is an input for BRG to make the necessary efforts.
The report of 49 corporations contains the results of field investigations of forest and land fires in concessions and company areas. A total of 36 out of 49 corporations are in deep-peat areas. The 36 companies above the peat areas with depths between 0.5 and more than 4 meters consist of:
HTI 19 Company: PT Rimba Rokan Lestari, PT Riau Andalan Pulp and Paper, PT Bina Duta Laksana, PT Sumatera Riang Lestari, PT Suntara Gaja Pati, PT Siak Raya Timber, PT Bukit Raya Pelalawan, PT Dexter Timber Perkasa Indonesia, PT Ruas Utama Jaya, KUD Bina Jaya Langgam, PT Putri Lindung Bulan, PT Arara Abadi (Duri District, Nilo, Pulau Muda - Merawang and Siak Berbari), PT Sumatera Riang Lestari Block IV Rupat, PT Rimba Rokan Perkasa, PT Satria Perkasa Agung, PT Triomas FDI and PT Seraya Sumber Lestari.
Palm Oil Plantation 17 companies: PT Sinar Sawit Sejahtera, PT Andika Permata Sawit Lestari, PT Raja Garuda Mas Sejati, PT Pan United, PT Parawira, PT Alam Sari Lestari, PT Nirmala, PT Agroraya Gematrans, PT Berak Anekayasa, PT Bumireksa Nusa Sejati PT Duet Rija, PT Guntung Hasrat Makmur, PT Pancasurya Agrindo, PT Pusaka Mega Bumi Nusantara, PT Setia Agrindo Lestari, PT Tesso Indah and PT Langgam inti Hibrindo.
There are 6 companies that replant in burnt areas: PT Sinar Sawit Sejahtera, PT Parawira, PT Sumatera Riang Lestari, PT Rimba Lazuardi, PT Siak Raya Timber and PT Dexter Timber Perkasa Indonesia, PT Triomas FDI and PT Seraya Sumber Lestari.
"The average burnt area has been planted with oil palm and acacia about 1 year old. This further reinforces the notion that land burning is intentionally done to fertilize the land, so that land can then be planted.
Clearly, this action is contradictory to the Ministerial Letter of the Minister of Environment and Forestry number S.494 / MENLHK-PHPL / 2015 on the Prohibition on the Opening of Peat Land published November 3, 2015 said: (1) "Government policy is determined to no longer be able to do new opening or exploitation of peatlands. Therefore, the development of forestry and plantation business is not with land clearing in peat areas. "
And Letter of Instruction of the Minister of Environment and Forests (LHK) S.495 / 2015 dated November 5, 2015 on Peatland Management Instructions, it is stipulated that: "Land clearing is prohibited for new planters, even in areas with concession licenses , "And" It is prohibited to carry out planting activities on burned fields and forests in the process of law enforcement and recovery. "
"EoF encourages BRG to urge companies to immediately restore in the corridors of 36 corporations that have been burned for damaging peat and causing climate change," Woro Supartinah said.
Contact:
Woro Supartinah, Coordinator of Jikalahari, 081317566965
Okto Yugo Setiyo, Advocacy and Campaign Staff of Jikalahari, 0853 7485 6435

Indonesia's Forest-Fire Problem Is Nowhere Close to Being Solved. Here's Why



Updated: December 13, 2016 2:41 AM ET | Originally published: December 1, 2016
Brake lights illuminate a mound of spiny palm fruits lying beside a road outside Tesso Nilo National Park on the Indonesian island of Sumatra. Laborers are spearing them and heaving them onto the bed of a truck when two farmers approach.
“Sure, we’re growing oil palm in the national park, so what?” one of them shouts at TIME. “Foreigners always come and cause problems. If you were from an environmental organization, we would’ve smashed your car. And then you’re lucky. In the next village they would’ve killed you!”
At the moment, the threats are just that. A few months earlier, a team of forest-crime investigators stripped a nearby village before they were chased away with sticks. In August, locals detained officials investigating a fire and threatened to kill them. But the area is tense, and actual violence may only be a matter of time.
More trees are being felled in Indonesia than in any other country — most of them to create room for palm plantations. Palm oil is used for the world’s processed food, cosmetics and, increasingly, in biodiesel industries. But producing it involves clearing vast tracts of forest by burning. In 2015, flames consumed a combined area roughly the size of Massachusetts. In five months, the fires emitted more greenhouse gases than Japan or Germany do in a year; destroying orangutan and tiger habitats. The epic fires, by creating a choking annual smog that drifts across the region, may have also caused the early deaths of an estimated 100,000 people across Indonesia, Malaysia and Singapore.
Wetter weather this year — compared with the tinderbox conditions created by the El Nino phenomenon in 2015 — provided some relief. Burning in many provinces occurred at only a fraction of 2015 levels, and damp vegetation meant that fewer fires burned out of control. But at the same time, relying on something as changeable as the weather is no strategy at all.
“We have to be realistic about change,” Rolf Skar, forest campaign director at Greenpeace USA, tells TIME. “There’s no magic wand.”
In central Sumatra’s Riau province — the heart of what has rapidly become the country’s primary export earner — the problems of deforestation are made plain. To find the natural rainforest that once covered the province, you need to drive for at least three hours from the airport to Tesso Nilo National Park, one of the most biodiverse lowland forests in the world. Or perhaps it was, given that half of the forest cover has been lost since 2000.
“Every time we go on patrol we find illegal loggers,” says Ruswanto, head of Flying Squad, a WWF-sponsored group monitoring the park. “We would at least need four teams to patrol all of their entrances into the forest.”
Confrontations are testy. The Flying Squad classifies local villages as red, yellow or green, depending on their hostility, and reports logging violations to park management — but the park’s armed rangers do not always respond immediately, allowing most perpetrators to get away.
The encroachment shows no signs of abating. Earlier this year, an investigation revealed that palm oil from the park ends up in products labeled as sustainable in the West. And a report by Amnesty International released Wednesday documented labor abuses at plantations in Indonesia that allegedly supply palm oil to global brands.
Asian Agri, the owner of the local mill, claims that it cuts contact with farmers in breach of logging rules. But a Edy, the farmer who threatened TIME, says the mill only refused his fruit for a week.
In a letter to TIME, Asian Agri strongly denied any wrongdoing and emphasized its commitment to sustainable practices. It said that it did not tolerate “illegal FFB” — using the industry abbreviation for “fresh fruit bunches” — and said that it was implementing “full FFB traceability” in conjunction with an NGO, Setara Jambi.
When persuaded to talk, Edy said “We want to protect the forest too, but we need to survive.” He claimed that plantation companies have taken over his village’s land. “No one brings any solutions. They only shoot at us when they see us in the forest.”
It’s easy to pick on small-time farmers like Edy. The big players reportedly responsible for the lion’s share of Riau’s approximately 2 million hectares of illegal plantations — unregistered plots owned by people with influence — are more difficult to handle.
“Of 513 palm oil companies in Riau, 378 don’t have a valid license,” alleges Made Ali, deputy coordinator of Jikalahari, a coalition of local environment groups. “They are owned by 20 people with connections to, and protection from, political parties.”
There has been some accountability — in 2014, Riau’s governor was jailed for 14 years, in part for improper handling of forest permits — but there has been little actual change.
Commuters drive through thick haze in Tumbang Nusa, Central Kalimantan, on Oct. 25, 2015.
Commuters drive through thick haze in Tumbang Nusa, Central Kalimantan, on Oct. 25, 2015.

Ba Ismoyo—AFP/Getty Images
Since last year’s fires, Jakarta has launched a string of initiatives. The national anticorruption agency is zeroing in on affected provinces like Riau. District officials have been told they will lose their jobs if they are unable to control fires. Law enforcers have doubled the number of people arrested in connection with forest fires. An agency has been created to monitor and restore destroyed peatlands. (Drained for cultivation, these areas can burn several meters underground, making them the chief contributor to the seasonal haze that blankets this part of Southeast Asia.) President Joko “Jokowi” Widodo has also promised to issue a new moratorium on further deforestation before year’s end.
“If translated properly into law, this could be a game changer,” says Arief Wijaya, climate-and-forests associate of the environmental organization World Resources Institute (WRI).
Hopes are best kept tempered. The last moratorium, from 2011, did not cover the vast amount of forest that companies had already been approved to clear. Neither were violations subject to criminal punishment. More drastic measures face opposition from those within the administration who claim that a comprehensive ban on deforestation would hurt the vital palm oil industry. But last year’s fires cost Indonesia at least $16 billion — almost as much as its annual palm oil exports, and double the cost of damage and losses from the 2004 tsunami. If Indonesia is successful in curbing its CO2 emissions, the country could even expect an inflow of funds. Norway, for one, has promised $1 billion as part of the U.N. initiative REDD+. (An equivalent pledge to Brazil in 2008 accelerated a precipitous drop in deforestation of the Amazon.)
“As soon as the moratoriums are implemented, we are ready to release our funds,” Vidar Helgesen, the Norwegian Minister of Environment, tells TIME.
For proper implementation, improved law enforcement is crucial. A dozen companies have been taken to court for involvement in the 2015 fires, but only one was found guilty. Activists on the ground report an unwillingness by police to advance cases, because evidence collection is difficult. This feeds a climate of impunity, and is aggravating relations with neighboring countries. Singapore is hit with debilitating haze every year. In 2015, air pollution reached hazardous levels, closing schools and costing the city-state an estimated $517 million in economic losses. It spawned the campaign We Breathe What We Buy, which led to supermarkets banning Indonesian agribusiness products.
As the financial center of the region — and hub for many of the agribusiness conglomerates — Singapore’s signals carry weight. In July, Indonesia’s pulp-and-paper giant APP, which has been targeted by Singaporean campaigns, announced a $20 million investment in fire prevention and monitoring. This year, fires in its concessions reportedly dropped greatly.
Smoke rises from a forest fire in this aerial photograph taken in Ogan Komering Ilir, South Sumatra province Indonesia, on Oct. 30, 2015
Smoke rises from a forest fire in this aerial photograph taken in Ogan Komering Ilir, South Sumatra province Indonesia, on Oct. 30, 2015

Dimas Ardian—Bloomberg/Getty Images
“It’s too early to say, but a number of companies facing prosecution under [Singapore’s] Transboundary Haze Act have become very cautious,” Susan Minnemeyer, director of WRI’s program Global Forest Watch, tells TIME.
Technology is playing increasingly important role in monitoring the fires. Global Forest Watch has developed a satellite model that is used by the Singapore government, mapping out land types, concession rights and fire hot spots. With it, the city-state and others are able to track the direction and origin of smoke plumes. In August, a group of NGOs used satellite imagery to pin a South Korean company to the burning of 50,000 hectares of virgin rainforest in the eastern provinces in Papua region and Maluku Islands.
At the same time, connecting the data with specific companies can be tricky. Land permits have been handled in such a haphazard way that authorities use several competing maps. Reconciling them has proven hard.
“The technology is there,” Greenpeace’s Skar tells TIME. “But there are elements within the government that benefit from status quo.”
There are other problems that need to be solved. Vast deforested tracts are still officially labeled state forest. Changing their designation could improve their management.
Hundreds of land disputes also need to be settled. Many hark back decades, to a government scheme to alleviate poverty and boost agribusiness. The scheme peaked in the 1980s when millions of poor people were moved from overpopulated areas of the archipelago to the scantily populated forests, where they were assisted to start and manage commercial plantations.
Land rights of locals, especially indigenous people, were often ignored or sidestepped. The development has pushed most Orang Rimba, an ethnic group on Sumatra whose name literally means the “people of the forest,” to a life of poverty in remote areas.
“The people from Java came here and gave my parents rice and cassava, and asked them to move to another part of the jungle,” Nggilo, chief of an Orang Rimba tribe in Jambi province, tells TIME.
“It feels like we’ve been murdered in our own homes.”

Monday, October 3, 2016

Indonesia to re-investigate 15 companies linked to 2015 forest fires

Indonesian National Chief of Police Gen. Tito Karnavian has ordered recently-appointed Riau Regional Police Chief, Brigadier General Zulkarnain to re-investigate 15 companies suspected of being involved in forest and land fires in 2015.
The companies were issued Surat Penghentian Penyelidikan Perkara (SP3), or Cessation of Case Research, letters. SP3 letters signal the termination of investigations, and are issued when there is not enough evidence, or when the case is discovered to not be criminal in nature during the investigations.
Zulkarnain replaces Riau Police Chief Brigadier General Supriyanto.
It was Supriyanto's predecessor, former Riau Police Chief Brigadier General Bambang Dolly H who had issued SP3 letters to the 15 corporations, Riau Online reported on 2 October. The issuance of the SP3 letters came to light only six months later during Supriyanto's term.
After the handover ceremony at the State Police School in Pekanbaru on Saturday (1 Oct), Zulkarnain said to reporters, "Regarding the SP3, National Chief of Police directly ordered me to form a special team to re-investigate the case."
He added that he had also been ordered to collaborate with environmental activist to resolve last year’s cases involving companies alleged to have been responsible for land and forest burning.
"Beside the special team, I also plead with other activists to help me," he said.
Zulkarnain, who was former the police chief of North Maluku, urged people and corporations to stop burning the land, regardless of the circumstances.
"The penalty is heavy, do not burn anymore. The police do not delight in arresting people for burning. The police does not hate the person, but the actions," he concluded.
Earlier, National Police Chief Gen. Tito Karnavian explained that he had summoned Supriyanto to the Police Headquarters to explore the use of rigorous forensic investigation, especially for cases involving forest and land fires in Riau.
"The problems in Riau are multi-faceted, requiring intelligence and investigation; and understanding why the SP3 letters were issued," said Karnavian at Police Headquarters in Jakarta, Friday, 30 September.
In July last year, forest fires raged across Riau. In relation to the fires,15 companies and 25 people were hauled to court. However, three months later, the police issued SP3 letters to the 15 companies in January 2016.
Head of the Police Criminal Investigation Bureau, Commissioner-General Ari Dono Sukmanto, previously explained that there were at least three reasons why the cases were halted, reported Kompas.
He said the first reason is that the burned areas no longer belonged to the companies because they had been returned. Second, although there was a dispute on burnt land, the lands were not owned by the companies.
"Third, the companies had attempted to extinguish the fire, according to the infrastructure facility studies. The experts said there was no element of intent or negligence," said Ari Dono at the Parliament Complex at Senayan, Jakarta on 26 July 2016.
Ari Dono also said they were still investigating the process by which the SP3 letters were granted. However, he gave his assurance that the release of the SP3 had been the result of a process of inquiry and investigation. Investigators had called witnesses and experts during the investigation of the 15 companies.

Knowing Malaysian Palm Oil Investors in Indonesia

https://www.palmoilmagazine.com/news/8504/knowing-malaysian-palm-oil-investors-in-indonesia   Main News | 21 January 2021 , 06:02 WIB ...