Mantan Bupati Buol Amran
Batalipu Divonis 7,5 Tahun Penjara
ICHA RASTIKA
Kompas.com - 11/02/2013, 14:43 WIB
JAKARTA,
KOMPAS.com - Mantan Bupati Buol Amran Batalipu dijatuhi hukuman
tujuh tahun enam bulan penjara ditambah denda Rp 300 juta subsider enam bulan
kurungan. Selaku Bupati Buol pada 2012, Amran dianggap terbukti melakukan
tindak pidana korupsi secara berlanjut dengan menerima hadiah atau janji berupa
uang Rp 3 miliar dari PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP)/ PT Cipta Cakra
Mudaya (PT CCM) dalam dua tahap. Uang tersebut merupakan barter atas jasa Amran
yang membuat surat rekomendasi terkait izin usaha perkebunan dan hak guna usaha
perkebunan untuk PT HIP/ PT CCM di Buol.
Putusan ini dibacakan majelis
hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang terdiri dari Gusrizal
(ketua), dan tiga hakim anggota, yakni Made Hendra, Tati Hardiyanti, Joko
Subagyo, dan Slamet Subagyo dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta,
Senin (11/2/2013).
“Menyatakan Amran terbukti sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagai perbuatan
berlanjut. Menjatuhkan pidana selama tujuh tahun enam bulan penjara dan pidana
denda Rp 300 juta diganti kurungan enam bulan,” kata Ketua Majelis Hakim
Gusrizal.
Menurut majelis hakim, Amran
terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 12 huruf a
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 KUHP
sebagaimana dalam dakwaan pertama.
Putusan ini lebih ringan
dibanding tuntutan jaksa yang meminta Amran dihukum 12 tahun penjara ditambah
denda Rp 500 juta yang dapat diganti kurungan enam bulan. Menurut majelis
hakim, Amran menerima hadiah dari Hartati Murdaya selaku Direktur PT HIP dan PT
CCM berupa uang senilai total Rp 3 miliar. Uang tersebut diberikan dalam dua
tahap, melalui petinggi perusahaan tersebut, Yani Anshori dan Gondo Sudjono.
Adapun Hartati
divonis dua tahun delapan bulan penjara, sementara Yani dan
Gondo masing-masing satu setengah tahun, dan satu tahun penjara.
Ketiga orang ini hanya dianggap terbukti menyuap, yakni melanggar Pasal 5
Ayat 1 huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 Ayat
1 juncto Pasal
55 Ayat 1 ke-1 KUHP sehingga hukumannya lebih ringan.
Berdasarkan fakta persidangan,
kata hakim, pemberian uang Rp 3 miliar itu merupakan kesepakatan dalam
pembicaraan Amran dengan Hartati di suatu Hotel di Jakarta dan pembicaraan
keduanya melalui telepon. Sebelum pertemuan
itu, Amran meminta melalui Yani, Gondo, dan Arim (financial controller PT HIP) agar
dibantu dana Rp 3 miliar.
Sementara pihak PT HIP meminta
Amran membuat surat rekomendasi izin usaha perkebunan (IUP) yang ditujukan
kepada Gubernur Sulawesi Tengah, serta surat rekomendasi kepada Kepala Badan
Pertanahan Nasional terkait hak guna usaha (HGU) atas lahan seluas 4.500 hektar
milik PT CCM/PT HIP.
“Setelah terdakwa membuat surat
tersebut, Hartati mengucapkan terimakasih melalui telepon dan meminta dibuatkan
lagi satu surat, untuk lahan sisa luas 7.090 hektar yang akan dibarter dengan
uang Rp 2 miliar,” kata hakim Tati.
Padahal, lanjut hakim, Amran
mengetahui kalau pembuatan surat rekomendasi itu bukanlah kewajibannya atau
bertentangan dengan kewajibannya selaku Bupati Buol. Dalam memutuskan perkara
ini, majelis hakim pun menolak pembelaan pihak Amran yang berdalih kalau Amran sedang
cuti dalam rangka kampanye Pilkada Buol, saat uang itu diberikan.
Sementara menurut hakim,
pemberian suatu hadiah tidak harus dilakukan saat pegawai negeri atau
penyelenggara itu sedang menjalankan dinasnya. “Bisa juga diberikan di rumahnya
sebagai kenalan,” tambah hakim Tati. Meskipun tengah cuti, lanjutnya,
kedudukan Amran tetaplah bupati.
Majelis hakim juga
mempertimbangkan hal-hal yang dianggap meringankan maupun memberatkan hukuman
Amran. Adapun hal yang memberatkan, perbuatan Amran dianggap kontraproduktif
dengan upaya Pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi. Amran juga
telah menggunakan kewenangannya untuk mendapat keuntungan pribadi. Sedangkan
yang meringankan, Amran berlaku sopan selama persidangan, masih memiliki
tanggungan keluarga, dan belum pernah dihukum.
======================
Mantan anak buah Hartati
Murdaya ikhlas divonis 2 tahun
Sidang Hartati Murdaya. ©2013
Merdeka.com/Dwi Narwoko
Merdeka.com - Terdakwa kasus suap pengurusan
sertifikat Hak Guna Usaha dan Izin Usaha Perkebunan lahan kelapa sawit milik PT
Hardaya Inti Plantation, PT Cipta Cakra Murdaya, dan PT Sebuku Inti Plantation
di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, Totok Lestiyo, dijatuhi hukuman dua tahun
penjara oleh majelis hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta,
hari ini. Atas vonis itu, mantan Direktur PT Hardaya Inti Plantation dan bekas anak
buah pengusaha Siti Hartati
Murdaya itu mengaku ikhlas.
"Yang mulia majelis hakim, tim penasehat hukum, dan yang mulia jaksa penuntut umum, atas diterbitkannya vonis hari ini, saya menerima," kata Totok selepas mendengarkan pembacaan amar putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (16/12).
Sementara itu, tim jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi diwakili Jaksa Supardi menyatakan pikir-pikir atas putusan itu. "Kami akan pikir-pikir selama tujuh hari," kata Jaksa Supardi.
Majelis hakim menyatakan Totok yang juga bekas anak buah pengusaha Siti Hartati Cakra Murdaya terbukti menyuap Bupati Buol, Amran Abdullah Batalipu, dalam pengurusan sertifikat Hak Guna Usaha dan Izin Usaha Perkebunan lahan kelapa sawit milik PT HIP, PT Cipta Cakra Murdaya, dan PT Sebuku Inti Plantation di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.
Hakim Ketua Gusrizal menyatakan, Totok juga dituntut pidana denda sebesar Rp 50 juta. Jika tidak dibayar, maka harus diganti hukuman kurungan selama tiga bulan.
Menurut Hakim Ketua Gusrizal, pertimbangan memberatkan Totok adalah perbuatannya mencederai tatanan pemerintah yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta tidak mendukung upaya pemerintah dalam menerapkan Good Corporate Governance (tata kelola pemerintahan yang baik). Sementara hal-hal meringankan adalah Totok belum pernah dihukum, menyesal dan mengakui terus terang perbuatannya, serta bersikap sopan selama masa persidangan.
Menurut Hakim Ketua Gusrizal, Totok terbukti melanggar dakwaan alternatif kesatu. Yakni Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto pasal 64 KUHPidana.
Menurut Hakim Taty Hadianty, Totok dengan sengaja memberikan hadiah atau janji, yakni uang Rp 3 miliar, kepada Amran supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Yaitu segera menerbitkan sertifikat Hak Guna Usaha dan Izin Usaha Perkebunan lahan kelapa sawit milik PT Cipta Cakra Murdaya di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah seluas 4500 hektar, serta sertifikat HGU dan IUP milik PT HIP seluas 22,780 hektar, serta IUP lahan perkebunan kelapa sawit di luar 4500 hektar dan 22,780 hektar diajukan oleh PT Sebuku Inti Plantation. PT Sebuku Inti Plantation adalah anak perusahaan PT CCM dan PT HIP yang juga milik Hartati.
Putusan itu lebih ringan dari tuntutan jaksa. Dua pekan lalu, Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut Totok dengan pidana penjara selama empat tahun. Tetapi, tuntutan pidana denda sama dengan vonis, yakni denda sebesar Rp 50 juta. Jika tidak dibayar, maka harus diganti hukuman kurungan selama tiga bulan.
"Yang mulia majelis hakim, tim penasehat hukum, dan yang mulia jaksa penuntut umum, atas diterbitkannya vonis hari ini, saya menerima," kata Totok selepas mendengarkan pembacaan amar putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (16/12).
Sementara itu, tim jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi diwakili Jaksa Supardi menyatakan pikir-pikir atas putusan itu. "Kami akan pikir-pikir selama tujuh hari," kata Jaksa Supardi.
Majelis hakim menyatakan Totok yang juga bekas anak buah pengusaha Siti Hartati Cakra Murdaya terbukti menyuap Bupati Buol, Amran Abdullah Batalipu, dalam pengurusan sertifikat Hak Guna Usaha dan Izin Usaha Perkebunan lahan kelapa sawit milik PT HIP, PT Cipta Cakra Murdaya, dan PT Sebuku Inti Plantation di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.
Hakim Ketua Gusrizal menyatakan, Totok juga dituntut pidana denda sebesar Rp 50 juta. Jika tidak dibayar, maka harus diganti hukuman kurungan selama tiga bulan.
Menurut Hakim Ketua Gusrizal, pertimbangan memberatkan Totok adalah perbuatannya mencederai tatanan pemerintah yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta tidak mendukung upaya pemerintah dalam menerapkan Good Corporate Governance (tata kelola pemerintahan yang baik). Sementara hal-hal meringankan adalah Totok belum pernah dihukum, menyesal dan mengakui terus terang perbuatannya, serta bersikap sopan selama masa persidangan.
Menurut Hakim Ketua Gusrizal, Totok terbukti melanggar dakwaan alternatif kesatu. Yakni Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto pasal 64 KUHPidana.
Menurut Hakim Taty Hadianty, Totok dengan sengaja memberikan hadiah atau janji, yakni uang Rp 3 miliar, kepada Amran supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Yaitu segera menerbitkan sertifikat Hak Guna Usaha dan Izin Usaha Perkebunan lahan kelapa sawit milik PT Cipta Cakra Murdaya di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah seluas 4500 hektar, serta sertifikat HGU dan IUP milik PT HIP seluas 22,780 hektar, serta IUP lahan perkebunan kelapa sawit di luar 4500 hektar dan 22,780 hektar diajukan oleh PT Sebuku Inti Plantation. PT Sebuku Inti Plantation adalah anak perusahaan PT CCM dan PT HIP yang juga milik Hartati.
Putusan itu lebih ringan dari tuntutan jaksa. Dua pekan lalu, Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut Totok dengan pidana penjara selama empat tahun. Tetapi, tuntutan pidana denda sama dengan vonis, yakni denda sebesar Rp 50 juta. Jika tidak dibayar, maka harus diganti hukuman kurungan selama tiga bulan.
===========================
Kasus suap izin lahan Buol,
eks anak buah Hartati dibui 2 tahun
Mural Koruptor. ©2013 Merdeka.com/M. Luthfi Rahman
Merdeka.com - Majelis hakim pada
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta,
menjatuhkan putusan kepada mantan Direktur PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP),
Totok Lestiyo, dengan pidana penjara selama dua tahun. Majelis hakim menyatakan
Totok terbukti menyuap Bupati Buol, Amran Abdullah Batalipu.
Bekas anak buah pengusaha Siti Hartati Cakra Murdaya memberi suap dalam pengurusan sertifikat Hak Guna Usaha dan Izin Usaha Perkebunan lahan kelapa sawit milik PT HIP, PT Cipta Cakra Murdaya, dan PT Sebuku Inti Plantation di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.
"Menjatuhkan putusan kepada terdakwa Totok Lestiyo berupa pidana penjara selama dua tahun, dikurangkan dari masa tahanan seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim, Gusrizal Lubis, saat membacakan amar putusan Totok di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (16/12).
Hakim Ketua Gusrizal menyatakan, Totok juga dituntut pidana denda sebesar Rp 50 juta. Jika tidak dibayar, maka harus diganti hukuman kurungan selama tiga bulan.
Menurut Hakim Ketua Gusrizal, pertimbangan memberatkan Totok adalah perbuatannya mencederai tatanan pemerintah yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta tidak mendukung upaya pemerintah dalam menerapkan Good Corporate Governance (tata kelola pemerintahan yang baik). Sementara hal-hal meringankan adalah Totok belum pernah dihukum, menyesal dan mengakui terus terang perbuatannya, serta bersikap sopan selama masa persidangan.
Menurut Hakim Ketua Gusrizal, Totok terbukti melanggar dakwaan alternatif kesatu. Yakni Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto pasal 64 KUHPidana.
Menurut Hakim Taty Hadianty, Totok dengan sengaja memberikan hadiah atau janji, yakni uang Rp 3 miliar, kepada Amran supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Yaitu segera menerbitkan sertifikat Hak Guna Usaha dan Izin Usaha Perkebunan lahan kelapa sawit milik PT Cipta Cakra Murdaya di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah seluas 4500 hektar, serta sertifikat HGU dan IUP milik PT HIP seluas 22,780 hektar, serta IUP lahan perkebunan kelapa sawit di luar 4500 hektar dan 22,780 hektar diajukan oleh PT Sebuku Inti Plantation. PT Sebuku Inti Plantation adalah anak perusahaan PT CCM dan PT HIP yang juga milik Hartati.
Padahal, dalam peraturan Menteri Kehutanan, sebuah perusahaan hanya boleh memiliki surat izin lokasi dan sertifikat Hak Guna Usaha dengan luas lahan perkebunan maksimal 20 ribu hektar. Tetapi, lanjut Hakim Taty, Hartati memaksa supaya surat-surat itu segera diterbitkan, padahal luas lahan perkebunan kelapa sawit milik PT CCM dan PT HIP sudah melebihi ketentuan untuk diajukan dalam permohonan. Maka dari itu, Hartati memerintahkan Totok menghubungi Amran dan mendesaknya supaya mau menyanggupi permintaan itu.
"Bupati Buol Amran Abdullah Batalipu menyanggupi permintaan itu dengan imbalan sejumlah uang," kata Hakim Taty.
Hakim Anggota I Made Hendra mengatakan, uang sogok buat Amran diambil dari kas perusahaan PT HIP dan PT Cipta Cakra Murdaya, atas sepengetahuan Hartati Murdaya . Uang itu diserahkan bertahap sebanyak dua kali kepada Amran melalui Direktur Keuangan PT HIP, Arim, General Manajer Supporting PT HIP Yani Anshori, dan Direktur Operasional PT HIP, Gondo Sudjono Notohadi Susilo. Dia melanjutkan, Totok juga sempat memberikan bantuan survei politik kepada Amran yang saat itu akan maju kembali sebagai calon petahana di pemilihan umum kepala daerah Kabupaten Buol.
Saat itu, Totok atas sepengetahuan Hartati menunjuk lembaga survei Saiful Muzani Research Consulting (SMRC) untuk mengadakan survei politik untuk Amran, menjelang pemilukada Kabupaten Buol. Tetapi, menurut Saiful, tingkat keterpilihan Amran terpaut jauh ketimbang lawan politiknya.
Amran yang mengetahui hal itu juga melobi Hartati Murdaya supaya mau menyumbang buat pemenangan Amran. Hartati setuju dan memerintahkan Totok mencairkan uang Rp 1 miliar untuk diberikan kepada Amran dengan dalih bantuan pembelian sembako dan kampanye. Uang itu diantarkan oleh Arim dan Yani ke rumah Amran pada tengah malam. Tak lama setelah penyerahan duit itu, Amran memerintahkan Asisten I Kabupaten Buol, Amir Rihan Togila, segera mengurus dan menerbitkan Izin Lahan dan IUP PT HIP dan PT SIP.
"Arim dan Yani kemudian mengambil surat izin lahan serta IUP milik PT HIP dan PT SIP di kantor Amran pada pukul 09.00 WITA keesokan harinya," kata Hakim Made Hendra.
Sementara pengiriman uang kedua, yakni Rp 2 miliar, dilakukan oleh Yani dan Gondo. Fulus itu diberikan supaya Amran segera menerbitkan sertifikat Hak Guna Usaha dan IUP lahan kepala sawit milik PT CCM. Duit itu diantar ke rumah peristirahatan Amran, di Villa Leok, Kabupaten Buol.
"Uang itu dikeluarkan terdakwa dari kas perusahaan PT HIP atas sepengetahuan Hartati Murdaya," ujar Hakim Made Hendra.
Menurut Hakim Anggota Mathius Samiaji, proses pemberian uang Rp 3 miliar kepada Amran melalui Arim, Yani, Gondo telah direncanakan oleh Hartati dan Totok. Dia menyimpulkan, perbuatan itu tidak berdiri sendiri dan merupakan satu kesatuan atas beberapa kejadian perbuatan bersama-sama atas permintaan Hartati.
Bekas anak buah pengusaha Siti Hartati Cakra Murdaya memberi suap dalam pengurusan sertifikat Hak Guna Usaha dan Izin Usaha Perkebunan lahan kelapa sawit milik PT HIP, PT Cipta Cakra Murdaya, dan PT Sebuku Inti Plantation di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.
"Menjatuhkan putusan kepada terdakwa Totok Lestiyo berupa pidana penjara selama dua tahun, dikurangkan dari masa tahanan seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim, Gusrizal Lubis, saat membacakan amar putusan Totok di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (16/12).
Hakim Ketua Gusrizal menyatakan, Totok juga dituntut pidana denda sebesar Rp 50 juta. Jika tidak dibayar, maka harus diganti hukuman kurungan selama tiga bulan.
Menurut Hakim Ketua Gusrizal, pertimbangan memberatkan Totok adalah perbuatannya mencederai tatanan pemerintah yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta tidak mendukung upaya pemerintah dalam menerapkan Good Corporate Governance (tata kelola pemerintahan yang baik). Sementara hal-hal meringankan adalah Totok belum pernah dihukum, menyesal dan mengakui terus terang perbuatannya, serta bersikap sopan selama masa persidangan.
Menurut Hakim Ketua Gusrizal, Totok terbukti melanggar dakwaan alternatif kesatu. Yakni Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto pasal 64 KUHPidana.
Menurut Hakim Taty Hadianty, Totok dengan sengaja memberikan hadiah atau janji, yakni uang Rp 3 miliar, kepada Amran supaya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Yaitu segera menerbitkan sertifikat Hak Guna Usaha dan Izin Usaha Perkebunan lahan kelapa sawit milik PT Cipta Cakra Murdaya di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah seluas 4500 hektar, serta sertifikat HGU dan IUP milik PT HIP seluas 22,780 hektar, serta IUP lahan perkebunan kelapa sawit di luar 4500 hektar dan 22,780 hektar diajukan oleh PT Sebuku Inti Plantation. PT Sebuku Inti Plantation adalah anak perusahaan PT CCM dan PT HIP yang juga milik Hartati.
Padahal, dalam peraturan Menteri Kehutanan, sebuah perusahaan hanya boleh memiliki surat izin lokasi dan sertifikat Hak Guna Usaha dengan luas lahan perkebunan maksimal 20 ribu hektar. Tetapi, lanjut Hakim Taty, Hartati memaksa supaya surat-surat itu segera diterbitkan, padahal luas lahan perkebunan kelapa sawit milik PT CCM dan PT HIP sudah melebihi ketentuan untuk diajukan dalam permohonan. Maka dari itu, Hartati memerintahkan Totok menghubungi Amran dan mendesaknya supaya mau menyanggupi permintaan itu.
"Bupati Buol Amran Abdullah Batalipu menyanggupi permintaan itu dengan imbalan sejumlah uang," kata Hakim Taty.
Hakim Anggota I Made Hendra mengatakan, uang sogok buat Amran diambil dari kas perusahaan PT HIP dan PT Cipta Cakra Murdaya, atas sepengetahuan Hartati Murdaya . Uang itu diserahkan bertahap sebanyak dua kali kepada Amran melalui Direktur Keuangan PT HIP, Arim, General Manajer Supporting PT HIP Yani Anshori, dan Direktur Operasional PT HIP, Gondo Sudjono Notohadi Susilo. Dia melanjutkan, Totok juga sempat memberikan bantuan survei politik kepada Amran yang saat itu akan maju kembali sebagai calon petahana di pemilihan umum kepala daerah Kabupaten Buol.
Saat itu, Totok atas sepengetahuan Hartati menunjuk lembaga survei Saiful Muzani Research Consulting (SMRC) untuk mengadakan survei politik untuk Amran, menjelang pemilukada Kabupaten Buol. Tetapi, menurut Saiful, tingkat keterpilihan Amran terpaut jauh ketimbang lawan politiknya.
Amran yang mengetahui hal itu juga melobi Hartati Murdaya supaya mau menyumbang buat pemenangan Amran. Hartati setuju dan memerintahkan Totok mencairkan uang Rp 1 miliar untuk diberikan kepada Amran dengan dalih bantuan pembelian sembako dan kampanye. Uang itu diantarkan oleh Arim dan Yani ke rumah Amran pada tengah malam. Tak lama setelah penyerahan duit itu, Amran memerintahkan Asisten I Kabupaten Buol, Amir Rihan Togila, segera mengurus dan menerbitkan Izin Lahan dan IUP PT HIP dan PT SIP.
"Arim dan Yani kemudian mengambil surat izin lahan serta IUP milik PT HIP dan PT SIP di kantor Amran pada pukul 09.00 WITA keesokan harinya," kata Hakim Made Hendra.
Sementara pengiriman uang kedua, yakni Rp 2 miliar, dilakukan oleh Yani dan Gondo. Fulus itu diberikan supaya Amran segera menerbitkan sertifikat Hak Guna Usaha dan IUP lahan kepala sawit milik PT CCM. Duit itu diantar ke rumah peristirahatan Amran, di Villa Leok, Kabupaten Buol.
"Uang itu dikeluarkan terdakwa dari kas perusahaan PT HIP atas sepengetahuan Hartati Murdaya," ujar Hakim Made Hendra.
Menurut Hakim Anggota Mathius Samiaji, proses pemberian uang Rp 3 miliar kepada Amran melalui Arim, Yani, Gondo telah direncanakan oleh Hartati dan Totok. Dia menyimpulkan, perbuatan itu tidak berdiri sendiri dan merupakan satu kesatuan atas beberapa kejadian perbuatan bersama-sama atas permintaan Hartati.
=========================================
Busyro: Di negeri ini ada
korupsi by design, merinding kita
Busyro nonton sidang Luthfi
Hasan. ©2013 Merdeka.com
Merdeka.com - Wakil Ketua KPK Busyro
Muqoddas memaparkan maraknya korupsipejabat
publik di hadapan kepala daerah. Dia menjadikan kasus Luthfi Hasan
Ishaaqsebagai contoh bagaimana aturan impor sapi didesain
untuk melakukan tindakan korupsi.
"Tadi malam sudah diputus vonis untuk Luthfi Hasan Ishaaq meskipun belum inkracht (tetap). Tindak pidana pencucian uangnya sudah disahkan dan asetnya diambil," kata Busyro di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (9/12).
Busro mengungkapkan, korupsi yang berbahaya justru dimulai dari peraturan yang didesain untuk korupsi. Dia mencontohkan bagaimana dalam peraturan impor sapi yang membuat peternak lokal tidak bisa menyuplai kebutuhan dalam negeri.
"Di negeri kita ada kebijakan korupsi by design. Korupsi yang paling berdampak ini adalah yang melalui by design ini. Ini bisa lihat bagaimana dalam kasus impor sapi yang membuat peternak lokal tidak bisa ngapa-ngapain. Banyak kebijakan lain yang kami telisik lagi. Merinding kita lihat datanya. Tapi mari kita sama-sama perbaiki," papar Busyro.
Selain itu Busyro juga menyentil Bupati Buol, Amran Batalipu dan Hartati Murdayadalam penjualan izin tanah. Busyro meminta kepada kepala daerah yang hadir untuk tidak meniru Amran dalam hal izin tanah.
"KPK sudah banyak nangkap kepala daerah. Contohnya kasus Bupati Buol, kasusnya penjual izin tanah. Harusnya tanah itu dikelola masyarakat Buol. Tapi malah izinnya dijual ke pengusaha salah satu partai besar di Jakarta. Bapak-bapak tidak perlu mencontoh yang seperti itu," terang Busyro. [tts]
"Tadi malam sudah diputus vonis untuk Luthfi Hasan Ishaaq meskipun belum inkracht (tetap). Tindak pidana pencucian uangnya sudah disahkan dan asetnya diambil," kata Busyro di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (9/12).
Busro mengungkapkan, korupsi yang berbahaya justru dimulai dari peraturan yang didesain untuk korupsi. Dia mencontohkan bagaimana dalam peraturan impor sapi yang membuat peternak lokal tidak bisa menyuplai kebutuhan dalam negeri.
"Di negeri kita ada kebijakan korupsi by design. Korupsi yang paling berdampak ini adalah yang melalui by design ini. Ini bisa lihat bagaimana dalam kasus impor sapi yang membuat peternak lokal tidak bisa ngapa-ngapain. Banyak kebijakan lain yang kami telisik lagi. Merinding kita lihat datanya. Tapi mari kita sama-sama perbaiki," papar Busyro.
Selain itu Busyro juga menyentil Bupati Buol, Amran Batalipu dan Hartati Murdayadalam penjualan izin tanah. Busyro meminta kepada kepala daerah yang hadir untuk tidak meniru Amran dalam hal izin tanah.
"KPK sudah banyak nangkap kepala daerah. Contohnya kasus Bupati Buol, kasusnya penjual izin tanah. Harusnya tanah itu dikelola masyarakat Buol. Tapi malah izinnya dijual ke pengusaha salah satu partai besar di Jakarta. Bapak-bapak tidak perlu mencontoh yang seperti itu," terang Busyro. [tts]
======================
Amran Batalipu Minta Mantan Anak Buahnya Dijadikan Tersangka
Senin, 11 Februari 2013 22:35 WIB
TRIBUN/DANY PERMANA
Mantan Bupati Buol Amran Batalipu usai menjalani
sidang vonis perkaranya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (11/2/2013).
Amran divonis 7 tahun 6 bulan dan dena Rp 300 juta karena terlibat kasus suap
menyuap dalam pengurusan hak guna usaha perkebunan kelapa sawit PT Hardaya Inti
Plantation (PT HIP) dan PT Cipta Cakra Murdaya (PT CCM). TRIBUNNEWS/DANY PERMANA
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA--Mantan
Bupati Buol, Amran Batalipu, meminta anak buahnya, Asisten I Bupati Buol yang
juga Ketua Tim Lahan, Amir Rihan Togila, ikut ditetapkan sebagai tersangka
dalam kasus dugaan korupsi kepengurusan izin usaha perkebunan dan hak guna
usaha perkebunan di Buol.
Amran juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menetapkan dua petinggi PT Hardaya Inti Plantation, Totok Lestiyo (direktur)
dan Arim (financial controller) sebagai tersangka.Permintaan ini disampaikan
Amran kepada Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta seusai
mendengarkan pembacaan vonis, Senin (11/2/2013).
"Arim dan Totok ini yang menjembatani saya dan
salah satu staf saya, Amir Rihan Togila, terlibat jelas. Demi keadilan, kami
berharap hakim sampaikan ke jaksa penuntut umum agar tiga orang ini dijadikan
tersangka," kata Amran.
Amran bahkan mengaku pernah dijanjikan penyidik KPK
kalau ketiga orang itu bakal menjadi tersangka. Menjawab permintaan ini, Ketua
Majelis Hakim Tipikor Gusrizal mengatakan bahwa pihaknya tidak berwenang
menetapkan seseorang jadi tersangka.
Penetapan seseorang menjadi tersangka, tergantung pada
penyidik KPK."Jadi tugas kami hanya menerima, memeriksa, dan memutus
perkara. Tergantung pada penyidik apakah (seseorang) menjadi tersangka atau
saksi," kata Gusrizal.
Tak patah arang, Amran kembali beragumen. Dia pun
mencontohkan persidangan kasus dugaan suap Dana Penyesuaian Infrastruktur
Daerah (DPID). Dalam kasus itu, katanya, majelis hakim bisa mendesak jaksa KPK
untuk menjadikan pengusaha Haris Surahman sebagai tersangka. Tidak lama setelah
desakan itu disampaikan, KPK pun menetapkan Haris sebagai tersangka.
"Waktu itu hakim menyampaikan ke JPU (jaksa
penuntut umum) agar Haris jadi tersangka. Alhamdulillah disikapi penyidik KPK
dan menjadikan tersangka," ujar Amran. Selain itu, dia menilai Amir patut
jadi tersangka karena menurutnya, pria itu ikut mendapatkan uang dari Hartati
senilai Rp 100 juta.
Kendati demikian, Majelis Hakim Tipikor tetap menolak
permintaan Amran ini. "Keluhan saudara bukan kewenangan majelis, itu
kewenangan penyidik," tepis hakim Gusrizal.
Dalam kasus dugaan suap di Buol, majelis hakim Tipikor
menjatuhkan vonis tujuh tahun enam bulan penjara ditambah denda Rp 300 juta
subsider enam bulan kurungan kepada Amran.
Sebagai Bupati Buol pada 2012, Amran dianggap terbukti
melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut dengan menerima hadiah atau
janji berupa uang Rp 3 miliar dari PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP)/ PT
Cipta Cakra Mudaya (PT CCM).
Uang tersebut merupakan barter atas jasa Amran yang
membuat surat rekomendasi terkait izin usaha perkebunan dan hak guna usaha
perkebunan untuk PT HIP/ PT CCM di Buol. Hadiah dari Hartati itu, menurut
hakim, diberikan dalam dua tahap melalui petinggi PT HIP, Yani Anshori dan
Gondo Sudjono.
==========================
MA Anulir Vonis Bebas Mantan Bupati Buol
Kamis, 19 January 2017 20:12
WIBPenulis: Nur Aivanni
ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
MAHKAMAH Agung (MA) menganulir
vonis bebas yang diberikan kepada mantan Bupati Buol Amran H Batalipu. Majelis
hakim yang diketuai oleh Artidjo Alkostar tersebut kemudian menjatuhkan hukuman
8 tahun penjara. Demikian disampaikan oleh Juru Bicara MA Suhadi.
"Iya benar (MA menganulir
vonis bebas Amran)," saat dihubungi Media Indonesia, Kamis (19/1). Ia
menambahkan selain hukuman penjara, Amran juga dikenakan hukuman denda Rp200
juta subsider enam bulan kurungan.
Untuk diketahui, Amran divonis
bebas oleh Pengadilan Tipikor Palu. Dalam putusan tersebut, terdapat dissenting
opinion yakni dari tiga majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut,
dua majelis hakim menyatakan Amran tidak terbukti korupsi dana panjar kas
Kabupaten Buol tahun 2010.
Namun, jaksa penuntut umum tidak
terima dengan putusan tersebut dan kemudian mengajukan kasasi ke MA.
Majelis hakim yang dipimpin
Artidjo dengan anggota MS Lumme dan Abdul Latief tersebut pun mengabulkan
kasasi jaksa. Selain pidana penjara dan denda yang dijatuhkan, Amran pun harus
membayar uang pengganti senilai Rp 2.378.359.300. Apabila tidak membayar uang
pengganti tersebut, maka hukumannya akan ditambah selama tiga tahun penjara.
OL-2
=============================
Perusahaan Ayin Dukung Amran
Batalipu di Pemilukada Buol
55
Jakarta (26/07/2012)
Perusahaan milik anak Artalita Suryani alias Ayin, PT Sonokeling Buana ikut
mendukung tersangka Bupati Buol, Amran Batalipu sebagai syarat membuka
perkebunan di Buol, Sulawesi Tengah. Di kantor KPK, Jakarta hari ini, kuasa
hukum Ayin, Teuku Nasrullah mengatakan saat mengajukan permohonan membuka lahan
tahun 2010, Amran mengajukan 3 syarat utama yaitu serius membangun usaha
dan membuat perkebunan Plasma milik petani berbarengan dengan perkebunan inti
milik perusahaan. Selain itu, ia meminta petani yang bekerja dibawah PT
Sonokeling untuk memberikan suara pada Amran saat Pemilu Kada. Menurut
Nasrullah, saat Pemilu Kada di Buol, Juli lalu direksi PT Sonokeling sudah
menghimbau petani untuk memilih Amran. Meski begitu, Ayin sudah tidak lagi
memiliki hubungan administratif dengan PT Sonokeling karena dilimpahkan ke
anaknya, Rommy Dharma Setiyawan.
Kuasa hukum Artalita
Suryani alias Ayin, Teuku Nasrullah menambahkan dalam pemeriksaan KPK terhadap
kliennya Selasa lalu di KBRI Singapura penyidik menanyakan mengenai hubungannya
dengan 3 tersangka kasus ini yaitu Amran Batalipu, pengusaha Gondo Sujono dan
Yani Anshori. Menurut Ayin ia tidak mengenal dan tidak pernah berhubungan
dengan mereka Nasrullah menjelaskan bahwa kedatangannya ke KPK ini untuk
mendampingi anak Ayin, Rommy Dharma Setiyawan yang diperiksa terkait kasus
dugaan suap untuk pengurusan Hak Guna Usaha di Kabupaten Buol. Selain Rommy,
KPK hari ini juga memeriksa direktur utama PT Sonokeling Buana, Saiful Rizal.
(eko/ary)
==========================
Mantan Bupati Buol dituntut 12
tahun penjara
Kamis, 10 Januari 2013 12:20 WIB
Jaksa menuntut mantan
Bupati Buol Amran Batalipu dijatuhi hukuman penjara selama 12 tahun, denda
Rp500 juta dan membayar uang pengganti Rp3 miliar. (ANTARA/Rosa Panggabean)
Jakarta (ANTARA News) - Mantan Bupati Buol Amran
Batalipu dituntut hukuman penjara 12 tahun, denda Rp500 juta subsider enam
bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp3 miliar karena dianggap terbukti
menerima suap dalam penerbitan Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan Hak Guna Usaha
(HGU).
Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, Jaksa Penuntut Umum Irene Putri mengatakan bisa terdakwa tidak membayar uang pengganti dan denda maka harta bendanya akan disita atau terdakwa dipidana selama dua tahun.
Menurut jaksa, Amran terbukti bersalah berdasarkan pasal 12 huruf a Undang-undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang sebagaimana dakwaan pertama.
"Hal-hal yang memberatkan atas terdakwa adalah melakukan perlawanan saat dilakukan penangkapan, berbelit-belit saat dilakukan pemeriksaan dan sebagai kepala daerah tidak memberikan contoh yang baik," tambah jaksa.
Menurut jaksa, pada 15 April 2012 di gedung Pusat Niaga Pekan Raya Jakarta (PRJ), Amran bertemu dengan Pemilik PT Citra Cakra Murdaya (CCM) dan PT Hartati Inti Plantation (HIP) Hartati Murdaya, Kepala Perwakilan PT HIP di Sulawesi Tengah Yani Ansori, Direktur Operasional PT HIP dan Totok Lestiyo, Direktur PT HIP dan Financial Controller PT HIP Arim membahas survei hasil pilkada di Buol.
Pada 11 Juni 2012 Amran kembali bertemu dengan Totok Lestiyo, Arim dan Hartati di gedung PRJ.
Menurut jaksa, Hartati meminta agar terdakwa menerbitkan surat-surat terkait dengan penerbitan IUP dan HGU untuk tanah seluas 4.500 hektare dan tanah di luar tanah tersebut yang masih merupakan bagian 75 ribu hektare di Buol yang merupakan milik PT CCM dan PT HIP.
"Hartati memberikan bantuan untuk kampanye Pilkada senilai Rp3 miliar," tambah jaksa.
Jaksa menyatakan, terdakwa sudah menerima semua uang dari PT HIP dan PT CCM yang selanjutnya digunakan untuk kampanye pilkada.
"Uang itu juga telah habis digunakan untuk kampanye pilkada dan sampai sekarang uang Rp3 miliar itu belum dikembalikan padahal uang tersebut tindak pidana koruspi," kata jaksa.
Amran dan tim pengacaranya akan menyampaikan nota pembelaan atas tuntutan jaksa tersebut pada Senin, 21 Januari 2013.
(D017)
Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis, Jaksa Penuntut Umum Irene Putri mengatakan bisa terdakwa tidak membayar uang pengganti dan denda maka harta bendanya akan disita atau terdakwa dipidana selama dua tahun.
Menurut jaksa, Amran terbukti bersalah berdasarkan pasal 12 huruf a Undang-undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang sebagaimana dakwaan pertama.
"Hal-hal yang memberatkan atas terdakwa adalah melakukan perlawanan saat dilakukan penangkapan, berbelit-belit saat dilakukan pemeriksaan dan sebagai kepala daerah tidak memberikan contoh yang baik," tambah jaksa.
Menurut jaksa, pada 15 April 2012 di gedung Pusat Niaga Pekan Raya Jakarta (PRJ), Amran bertemu dengan Pemilik PT Citra Cakra Murdaya (CCM) dan PT Hartati Inti Plantation (HIP) Hartati Murdaya, Kepala Perwakilan PT HIP di Sulawesi Tengah Yani Ansori, Direktur Operasional PT HIP dan Totok Lestiyo, Direktur PT HIP dan Financial Controller PT HIP Arim membahas survei hasil pilkada di Buol.
Pada 11 Juni 2012 Amran kembali bertemu dengan Totok Lestiyo, Arim dan Hartati di gedung PRJ.
Menurut jaksa, Hartati meminta agar terdakwa menerbitkan surat-surat terkait dengan penerbitan IUP dan HGU untuk tanah seluas 4.500 hektare dan tanah di luar tanah tersebut yang masih merupakan bagian 75 ribu hektare di Buol yang merupakan milik PT CCM dan PT HIP.
"Hartati memberikan bantuan untuk kampanye Pilkada senilai Rp3 miliar," tambah jaksa.
Jaksa menyatakan, terdakwa sudah menerima semua uang dari PT HIP dan PT CCM yang selanjutnya digunakan untuk kampanye pilkada.
"Uang itu juga telah habis digunakan untuk kampanye pilkada dan sampai sekarang uang Rp3 miliar itu belum dikembalikan padahal uang tersebut tindak pidana koruspi," kata jaksa.
Amran dan tim pengacaranya akan menyampaikan nota pembelaan atas tuntutan jaksa tersebut pada Senin, 21 Januari 2013.
(D017)
Editor: Maryati
COPYRIGHT © ANTARA 2013
COPYRIGHT © ANTARA 2013
======================
Hartati divonis 2 tahun 8
bulan
Senin, 4 Februari 2013 13:39 WIB
Majelis Hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menyatakan Siti Hartati Murdaya
bersalah melakukan suap dalam pengurusan izin usaha perkebunan dan hak guna
usaha.(ANTARA/Rosa Panggabean)
Jakarta (ANTARA News) - Majelis hakim Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Senin menjatuhkan vonis hukuman penjara
selama dua tahun dan delapan bulan serta denda Rp150 juta subsider tiga bulan
tahanan kepada pengusaha Siti Hartati Murdaya, terdakwa kasus suap pengurusan
izin usaha perkebunan dan hak guna usaha di Buol, Sulawesi Tengah.
"Menyatakan terdakwa Siti Hartati Murdaya secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut," kata Ketua Majelis Hakim, Gusrizal.
Vonis tersebut masih lebih rendah dari tuntutan jaksa. Sebelumnya jaksa meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara selama lima tahun dan denda Rp250 juta subsider empat bulan penjara.
Dalam amar putusannya, majelis hakim menilai mantan anggota Komisi Ekonomi Nasional (KEN) tersebut terbukti memberikan hadiah atau janji kepada penyelenggara negara yaitu Bupati Buol, Amran Batalipu, supaya berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Menurut majelis, pemberian uang Rp1 miliar melalui Arim dan Yani dan Rp2 miliar melalui Yani dan Gondo kepada Amran Batalipu membuktikan bahwa unsur menjanjikan sesuatu telah terpenuhi.
Pemberian uang tersebut, menurut hakim, digunakan untuk mendapatkan surat rekomendasi dalam pengurusan hak guna usaha PT Citra Cakra Murdaya (CCM) yang masih satu kelompok perusahaan PT Hardaya Inti Plantation (HIP) untuk lahan seluas 4.500 hektare yang telah ditanami dan sisa lahan seluas 50 ribu hektare.
Menurut hakim, tindakan Hartati memberikan uang kepada Bupati Buol untuk mendapat surat rekomendasi PT CCM padahal PT HIP yang masih dalam satu kelompok perusahaan sudah mendapat HGU seluas 22 ribu hektare sehingga melanggar peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 2 tahun 1999.
Hakim menyatakan, menurut ketentuan itu areal HGU maksimal adalah 20 ribu hektare. "Jadi pemberian uang kepada Amran tidak sepatutnya dan dilakukan dengan kesengajaan supaya mendapat surat rekomendasi," jelas hakim.
"Majelis menganggap telepon pada 20 Juni 2012 oleh terdakwa bukanlah basa-basi atau ethok-ethok seperti dalam pledoi terdakwa karena dalam pembicaraan itu terdakwa meminta agar Amran membuat surat karena terdakwa keberatan dengan PT Sonokeling," ungkap Hakim.
Bupati Buol Amran Batalipu, menurut hakim, menyanggupi permintaan pemberian surat rekomendasi tersebut dan terdakwa menyatakan sanggup memberikan Rp1 miliar terlebih dulu dari permintaan dana Rp3 miliar.
Atas putusan tersebut baik Hartati maupunn tim jaksa penuntut umum menyatakan pikir-pikir. "Saya pikir-pikir yang mulia," kata Hartati.
(D017)
"Menyatakan terdakwa Siti Hartati Murdaya secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut," kata Ketua Majelis Hakim, Gusrizal.
Vonis tersebut masih lebih rendah dari tuntutan jaksa. Sebelumnya jaksa meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara selama lima tahun dan denda Rp250 juta subsider empat bulan penjara.
Dalam amar putusannya, majelis hakim menilai mantan anggota Komisi Ekonomi Nasional (KEN) tersebut terbukti memberikan hadiah atau janji kepada penyelenggara negara yaitu Bupati Buol, Amran Batalipu, supaya berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Menurut majelis, pemberian uang Rp1 miliar melalui Arim dan Yani dan Rp2 miliar melalui Yani dan Gondo kepada Amran Batalipu membuktikan bahwa unsur menjanjikan sesuatu telah terpenuhi.
Pemberian uang tersebut, menurut hakim, digunakan untuk mendapatkan surat rekomendasi dalam pengurusan hak guna usaha PT Citra Cakra Murdaya (CCM) yang masih satu kelompok perusahaan PT Hardaya Inti Plantation (HIP) untuk lahan seluas 4.500 hektare yang telah ditanami dan sisa lahan seluas 50 ribu hektare.
Menurut hakim, tindakan Hartati memberikan uang kepada Bupati Buol untuk mendapat surat rekomendasi PT CCM padahal PT HIP yang masih dalam satu kelompok perusahaan sudah mendapat HGU seluas 22 ribu hektare sehingga melanggar peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 2 tahun 1999.
Hakim menyatakan, menurut ketentuan itu areal HGU maksimal adalah 20 ribu hektare. "Jadi pemberian uang kepada Amran tidak sepatutnya dan dilakukan dengan kesengajaan supaya mendapat surat rekomendasi," jelas hakim.
"Majelis menganggap telepon pada 20 Juni 2012 oleh terdakwa bukanlah basa-basi atau ethok-ethok seperti dalam pledoi terdakwa karena dalam pembicaraan itu terdakwa meminta agar Amran membuat surat karena terdakwa keberatan dengan PT Sonokeling," ungkap Hakim.
Bupati Buol Amran Batalipu, menurut hakim, menyanggupi permintaan pemberian surat rekomendasi tersebut dan terdakwa menyatakan sanggup memberikan Rp1 miliar terlebih dulu dari permintaan dana Rp3 miliar.
Atas putusan tersebut baik Hartati maupunn tim jaksa penuntut umum menyatakan pikir-pikir. "Saya pikir-pikir yang mulia," kata Hartati.
(D017)
Editor: Maryati
COPYRIGHT © ANTARA 2013
COPYRIGHT © ANTARA 2013
======================
Bekas
anak kesayangan Hartati Murdaya dijebloskan ke penjara
Merdeka.com - Mantan Direktur Utama PT Hardaya Inti Plantation Totok Lestiyo
dijebloskan ke dalam tahanan usai diperiksa penyidik KPK. Totok yang bekas anak
emas Siti Hartati Murdaya itu
ditahan di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta.
"Ditahan untuk 20 hari pertama sejak hari ini," ujar Jubir KPK Johan Budi SP , Senin (23/9).
Totok sendiri saat keluar enggan berkomentar apapun kepada wartawan yang menunggunya di lobi KPK. Totok langsung masuk ke dalam mobil tahanan KPK yang membawanya ke Rutan Cipinang.
Totok disangkakan pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau pasal 13 UU 13 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No. 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Totok merupakan orang kepercayaan Hartati Murdaya. Hartati sempat mengaku dikhianati oleh anak buahnya sendiri lantaran menyeretnya dalam kasus ini. Kasus ini berawal dari tangkap tangan KPK kepada Manajer PT Hardaya Inti Plantation Yani Anshori di Buol, Sulawesi Selatan.
Dari penangkapan itu, kemudian KPK juga mengejar GM PT Cipta Cakra Murdaya Gondo Sudjono yang ditangkap bersama-sama dua orang lainnya yakni Sukirno dan Dedi Kurniawan. Mereka ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta, sehari setelah operasi tangkap tangan di Buol. Sedangkan penerima suap yakni Bupati Buol Amran, melarikan diri yang pada akhirnya di tangkap di rumahnya. Kesemuanya telah menjalani sidang dan putusan vonis.
Hartati diputus bersalah oleh Majelis Pengadilan Tipikor karena terbukti menyuap Rp 3 miliar kepada Bupati Buol untuk pengurusan HGU lahan kelapa sawit di Buol Sulawesi Selatan atas PT CCM. Hartati pun banding dan banding itu ditolak oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Kini, pihak Hartati mengajukan kasasi ke MA. [did]
"Ditahan untuk 20 hari pertama sejak hari ini," ujar Jubir KPK Johan Budi SP , Senin (23/9).
Totok sendiri saat keluar enggan berkomentar apapun kepada wartawan yang menunggunya di lobi KPK. Totok langsung masuk ke dalam mobil tahanan KPK yang membawanya ke Rutan Cipinang.
Totok disangkakan pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau pasal 13 UU 13 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No. 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Totok merupakan orang kepercayaan Hartati Murdaya. Hartati sempat mengaku dikhianati oleh anak buahnya sendiri lantaran menyeretnya dalam kasus ini. Kasus ini berawal dari tangkap tangan KPK kepada Manajer PT Hardaya Inti Plantation Yani Anshori di Buol, Sulawesi Selatan.
Dari penangkapan itu, kemudian KPK juga mengejar GM PT Cipta Cakra Murdaya Gondo Sudjono yang ditangkap bersama-sama dua orang lainnya yakni Sukirno dan Dedi Kurniawan. Mereka ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta, sehari setelah operasi tangkap tangan di Buol. Sedangkan penerima suap yakni Bupati Buol Amran, melarikan diri yang pada akhirnya di tangkap di rumahnya. Kesemuanya telah menjalani sidang dan putusan vonis.
Hartati diputus bersalah oleh Majelis Pengadilan Tipikor karena terbukti menyuap Rp 3 miliar kepada Bupati Buol untuk pengurusan HGU lahan kelapa sawit di Buol Sulawesi Selatan atas PT CCM. Hartati pun banding dan banding itu ditolak oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Kini, pihak Hartati mengajukan kasasi ke MA. [did]
No comments:
Post a Comment