Saturday, March 3, 2012

Perebutan Ruang Hidup di Lahan Sawit

http://regional.kompas.com/read/2011/07/17/18415991/Perebutan.Ruang.Hidup.di.Lahan.Sawit

(Sime Darby, Cargill)

Perebutan Ruang Hidup di Lahan Sawit
Irene Sarwindaningrum | Benny N Joewono | Minggu, 17 Juli 2011 | 18:41 WIB

KOMPAS.com - Konflik lahan sawit antara masyarakat dan perusahaan terus meletup di berbagai daerah di Sumatera Selatan. Perusahaan perkebunan dibuat pusing dengan berbagai aksi nekat masyarakat. Bagi masyarakat sendiri, hal ini adalah perebutan ruang hidup.

Ketegangan terasa ketika memasuki area afdeling I perkebunan kelapa sawit PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Betung di Kecamatan Lais, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, pertengahan Juni lalu. Dari balik tenda-tenda plastik oranye dan biru yang didirikan bawah pokok-pokok sawit, terlihat wajah-wajah waspada.

Di tenda utama yang didirikan di tengah jalan utama perkebunan, belasan orang dengan ketegangan yang sama telah menanti. Selama 18 hari mereka menduduki dan menghentikan aktivitas perkebunan sawit di afdeling 1 PTPN VII Unit Usaha Betung. "Kami harus waspada pada orang luar yang masuk ke sini. Siapa tahu provokator yang mau mengarahkan aksi ini ke perusakan karena kami maunya aksi damai saja," kata Joni (44), juru bicara warga.

Sebanyak 725 keluarga dari lima desa yang termasuk dalam wilayah eks-marga Teluk Kijing turut dalam pendudukan lahan tersebut. Mereka meninggalkan rumah dan berteduh di tenda-tenda selama belasan hari. Dua perempuan lanjut usia Ci Ima (70) dan Fatima (60) turut bergabung menemani putra mereka. Tuntutan mereka adalah pembagian plasma seluas 1.693 hektar.

Menurut Joni, lahan itu dulunya adalah lahan garapan masyarakat, baik untuk tanam karet ataupun mengambil hasil kayu. Tuntutan plasma telah diajukan sejak tahun 2002 itu, namun belum ada penyelesaian memuaskan. "Kami sudah berulangkali protes dan berunjukrasa ke pemerintah kabupaten. Tapi pemerintah pun hanya memberikan kata-kata dukungan dan surat imbauan. Tak pernah ada dukungan nyata," ucapnya.

Aksi pendudukan tersebut baru berakhir ketika warga menerima surat dari PTPN VII bahwa lahan plasma akan diupayakan dengan bantuan dari pemerintah daerah. Namun, surat itu pun dirasakan mengambang bagi mereka, karena belum ada kepastian kapan dan area mana yang akan digunakan sebagai lahan plasma.

Kesejahteraan rendah

Jika ditelusuri, berbagai tuntutan konflik lahan berakar pada masalah kesejahteraan. Menurut penuturan warga eks-marga Teluk Kijing, keberadaan perkebunan sawit di sekitar desa mereka tak menjamin masyarakat lebih sejahtera. Saat ini justru banyak penduduk yang menjadi buruh ke luar daerah untuk mencari pekerjaan. "Kami jadi seperti orang asing di tanah kami sendiri. Ada lahan di sekitar rumah sendiri, tapi tak bisa menggarapnya," ucap Joni.

Di Kecamatan Lawang Wetan, Kabupaten Musi Banyuasin, misalnya, ratusan warga dari tujuh desa pun berulangkali menggelar aksi unjukrasa kepada PT Guthrie Pecconina Indonesia (PT GPI). Kelompok masyarakat itu menuntut pembagian lahan plasma pada lahan seluas 2.970 hektar. Menurut mereka, lahan ini merupakan lahan desa yang ditanami sawit oleh perusahaan asal Malaysia itu.

Kepala Desa Karang Anyar, Kecamatan Lawang Wetan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Ade Kurnia (42) mengatakan, sejak adanya perkebunan kelapa sawit di desanya membuat sungai dan sawah rusak. Masyarakat kehilangan pendapatan hingga separuhnya. "Sudah dua tahun ini sawah di desa kami gagal panen. Tiap musim hujan kebanjiran karena parit-parit dari perkebunan meluap ke sawah kami. Padahal, dulunya sawah itu bisa menyediakan beras untuk kebutuhan setahun," katanya.

Selain itu, warga juga tak bisa lagi mencari ikan di Sungai Lulung Bekuang, salah satu sungai terbesar di desa mereka. Hasil ikan merosot karena kondisi sungai rusak oleh perkebunan.

Perluasan masif

Seiring meningkatnya tuntutan masyarakat, perluasan kebun sawit berlangsung dengan sangat pesat. Di Sumatera Selatan, luas kebun sawit mencapai 818.248 hektar kebun sawit pada 2010. Pertumbuhan luas lahan sawit ini dua tahun cepat dari rancangan RTRW semula. Seharusnya, luas kebun sawit lebih dari 800 hektar di Sumsel tersebut baru tercapai pada tahun 2012.

Namun, kepemilikan lahan pun timpang. Sebanyak 55,56 persen kebun sawit di Sumsel merupakan kebun inti perusahaan, sebanyak 28,89 persen merupakan kebun plasma, dan hanya 15,55 persen yang merupakan kebun sawit rakyat. Sejumlah perkebunan sawit di Sumsel pun merupakan perusahaan asing sehingga banyak keuntungan sawit mengalir ke luar negeri.

Berdasar data Badan Pertanahan Nasional Sumatera Selatan, saat ini masih ada 30 sengketa lahan perkebunan yang belum terselesaikan. Adapun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan mencatat, konflik lahan terus memanas selama dua tahun terakhir. Setidaknya telah ada belasan aksi masyarakat karena konflik lahan sejak Januari 2011. Tahun 2010, jumlahnya meningkat dari tahun sebelumnya, menjadi sekitar 40 konflik, mulai dari unjukrasa hingga perusakan.

Aksi masyarakat pun bisa menjadi nekat. April lalu, sebanyak tujuh orang tewas dalam bentrokan masyarakat di Desa Sei Sodong, Kabupaten Ogan Komering Ilir dengan petugas keamanan peusahaan perkebunan sawit PT Sumber Wangi Alam.

Hal ini menunjukkan masyarakat kian frustasi karena konflik lahan ini. Keberpihakan pemerintah pun sangat minim dan masalah cenderung dibiarkan berlarut-larut. Jika dibiarkan, bisa jadi konflik kian besar dan meluas, kata D irektur Walhi Sumatera Selatan Anwar Sadat.

Upaya perusahaan

Dari pihak perusahaan perkebunan, berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Cara-cara negosiasi dan pemberian sumbangan ditempuh untuk mencari jalan tengah penyelesaian konflik. Termasuk juga membina warga untuk meningkatkan taraf hidup mereka.

Terkait lahan Teluk Kijing, Manajer Distrik Banyuasin PTPN VII M Natsir mengatakan, pihaknya sebenarnya sudah pernah menawarkan lahan plasma, namun warga menolak karena menilai lokasinya terlalu jauh.

Sebagai ganti, PTPN VII memberi sumbangan ternak sapi untuk dikelola masyarakat. Pada pemberian ternak sapi itu, warga eks-marga Teluk Kijing telah menandatangani surat perjanjian untuk tidak lagi mempermasalahkan lahan tersebut. "Tapi kok berulang lagi," tuturnya.

Pemberian lahan plasma dari lahan perkebunan, ucap Natsir, tak dapat dilakukan dengan mudah karena lahan tersebut merupakan aset negara. Berdasarkan data PTPN VII, lahan yang digunakan PTPN VII sendiri berstatus lahan negara.

Lahan tersebut merupakan kawasan perkebunan Belanda yang pada masa kemerdekaan dinasionalisasi dan dikelola perkebunan negara. "Jadi memang tak pernah ada proses pembebasan lahan, karena memang tak perlu. Sebab sejak awal itu adalah lahan negara," kata Natsir menerangkan.

Anthony Yeow, Presiden Direktur PT Hindoli, perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin mengatakan, tuntutan lahan dari masyarakat sungguh membuat pusing perusahaan. "Klaim-klaim lahan masyarakat di Indonesia ini memang sangat rumit. Kami selalu berusaha mengalah dalam kasus seperti ini," ucapnya.

Di awal keberadaannya, PT Hindoli juga menghadapi sejumlah tuntutan dari masyarakat. Namun, gejolak padam tatkala masyarakat sekitar perkebunan sejahtera. Dengan sistem kemitraan, petani plasma PT Hindoli menikmati penghasilan rata-rata lebih dari Rp 2 juta sebulan. "Dari situ kami belajar, bahwa kunci menghindari konflik adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat sekitar," ujar Anthony.

Kepala Dinas Perkebunan Sumsel Singgih Himawan mengatakan, penataan kembali kepemilikan lahan sangat penting untuk meredam konflik. Ketimpangan kepemilikan lahan sawit diduga menjadi salah satu sumber konflik lahan. "Di karet nyaris tak pernah ada konflik karena 95 persen kebun karet dimiliki rakyat," ucapnya.

Menurut Singgih, Salah satu upaya mengurangi potensi konflik adalah dengan menggeser kepemilikan kebun sawit menjadi 60 persen kebun masyarakat dan 40 persen perusahaan. Artinya, pemerintah kabupaten dan kota perlu membatasi pemberian izin pada perusahaan perkebunan dan lebih memprioritaskan masyarakat.

Pembukaan perkebunan sawit tak disangkal telah membuka dan menggerakkan ekonomi di berbagai daerah terpencil. Namun, sudah saatnya pe merintah daerah lebih bijaksana dalam memberikan izin pembukaan perkebunan ini. Jangan sampai kemajuan membuat masyarakat kian merasa terpinggirkan di tanah kelahirannya sendiri.

10 Kasus Lahan Hari Ini Dibahas (Cargil)

10 Kasus Lahan Hari Ini Dibahas

PALEMBANG – Hari ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumsel, perusahaan perkebunan, dan Komisi I DPRD Sumsel akan duduk satu meja untuk merampungkan semua persoalan antara perusahaan perkebunan dan masyarakat. Sedikitnya ada 10 kasus yang akan diselesaikan,yakni masalah tuntutan masyarakat terhadap HGU dan lokasi PT Sumber Wangi Alam, PT Selatan Agro Makmur Lestari,PT Bumi Sriwijaya Sentosa di wilayah Kabupaten OKI.

Kemudian, PT Berkat Sawit Sejati, PT Hindoli, PT Sentosa Mulia Bahagia, PT Pakerin,PT Bumi Persada Permai, dan PT Proteksindo Utama Mulia di wilayah Kabupaten Muba. Lalu, sengketa lahan antara warga transmigrasi UPT Parit I Desa Tanjung Pule,Kecamatan Indralaya Utara; UPT II Rambutan, Desa Rambutan, Kecamatan Indralaya Utara; dan TSM Tanjung Pule,Kecamatan Indralaya Utara, Kabupaten Ogan Ilir (OI); dengan pemilik lahan KTM dan sejumlah perusahaan sawit.

Ketua Komisi I DPRD Sumsel Erza Saladin di Gedung DPRD Sumsel mengatakan dalam surat yang disampaikan Pemprov (Sumsel) kepada komisi I, disebutkan bahwa Pemprov akan menggelar rapat hari ini itu sudah keputusan final. Artinya keputusan finalnya ada pada hari ini.

Meski begitu, Erza mengaku belum mengetahui bentuk keputusan finalnya itu seperti apa, apakah akan didefinitifkan, misalkan HGU-nya di evaluasi, apakah HGU-nya dibatalkan atau yang lain.

“Intinya nasib bagaimana masyarakat, jangan sampai masyarakat transmigrasi terkatung- katung lagi,”kata dia.

Menurut politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, sebenarnya masalah ini dapat disederhanakan. Contohnya kalau memang peruntukan lahan itu untuk transmigrasi maka sebaiknya dikembalikan saja. Namun, misalkan ada win win solution dan masyarakat ingin dipin-dahkan, yakinkan bahwa lahan yang akan digunakan itu tidak bermasalah.

“Jangan sampai nanti, dipindahkan ke suatu tempat ternyata bermasalah lagi. Karena kami baru saja dari lapangan. Ada kasus PT TBL, di mana sekitar 300-an hektare luas lahan yang seharusnya lahan itu untuk transmigrasi tapi malah masuk ke HGU ke PT TBL, itu terjadi di Desa Prambahan Baru, Kecamatan Banyuasin I,”jelas Erza. (Morino)


PT Rea Kaltim Bakal Didemo Warga

http://www.korankaltim.co.id/read/news/2012/23385/pt-rea-kaltim-bakal-didemo-warga-.html

PT Rea Kaltim Bakal Didemo Warga

TENGGARONG – Warga Desa Long Beleh Haloq, Kecamatan Kembang Janggut, Kutai Kartanegara (Kukar) pada Sabtu (11/2) nanti berencana akan menggelar aksi unjuk rasa di lahan PT Rea Kaltim, perusahaan kelapa sawit terbesar yang ada di kecamatan tersebut.

Unjuk rasa dilakukan lantaran warga setempat hingga kini belum mendapatkan kepastian terkait lahan yang berada 500 meter sekitar bibir sungai Sentekan yang pernah dijanjikan akan diserahkan PT Rea Kaltim kepada masyarkat.

Salah satu warga Marsuni mengatakan, warga sudah berang dengan sikap PT Rea Kaltim yang terus menunda waktu menyerahkan lahan yang sekarang sedang digarap PT Rea Kaltim. “Kami ingin ada kepastian dari Rea Kaltim,” katanya.Dikatakannya, unjuk rasa ini akan dilakukan seluruh warga Desa Long Beleh Haloq guna

“memancing” para pemilik dan investor PT Rea Kaltim yang selama ini di Jakarta agar ke Kembang Janggut. “Selama ini pimpinan PT Rea Kaltim tidak pernah bertemu dengan kami (warga Long Beleh Aloq, Red.) untuk membahas mengenai lahan tersebut,” ucapnya.“Kami ingin bertemu para pemilik PT Rea Kaltim, karena jika hanya melalui perwakilan atau humas menemui kami, maka jawabannya pasti belum ada keputusan dari pimpinan, maka dari itu kami melakukan unjuk rasa ini,” ujarnya.

Menurutnya masyarakat sekitar sangat memerlukan lahan tersebut untuk bertani dan berkebun atau menjadikannya lokasi perumahan lantaran berada di pinggir Sungai Sentekan, oleh karena itu masyarakat ngotot agar tanah diserahkan dengan cepat agar masyarakat bisa menggarap lahan tersebut. (ami911)

REA Kaltim Ingkari Plasma, Warga Serbu Kantor Bupati Kukar

http://www.korankaltim.co.id/read/news/2012/24820/kontak.html

REA Kaltim Ingkari Plasma, Warga Serbu Kantor Bupati Kukar

REA Kaltim Ingkari Plasma, Warga Serbu Kantor Bupati Kukar

TENGGARONG – Ratusan warga Desa Ritan Baru dan Tukung Ritan, Tabang, Kutai Kartanegara (Kukar), Selasa (28/2) kemarin menyerbu Kantor Bupati Kukar. Mereka mengadukan ketidak adilan nasib ke Bupati Kukar Rita Widyasari terkait pengelolaan lahan kelapa sawit. Warga kedua desa dipimpin Kades Ritan Baru Jaeng Ingan dan Kades Tukung Ritan Yoseph Yen.

Mereka tak berhasil menemui bupati karena sedang mengikuti Lemhanas di Jakarta. Mereka diterima Wakil Bupati Kukar HM Ghufron Yusuf di Ruang Serba Guna Setkab Kukar sekitar Pukul 10.15 Wita. Yoseph Yen mengatakan, warga berharap Pemkab Kukar memfasilitasi mereka menagih janji pembagian plasma sawit dari PT Sasana Yuda Bakti.

Masyarat menilai anak perusahaan REA Kaltim tersebut ingkar janji terkair pembagian plasma setelah lahan warga digunakan untuk perkebunan kepala sawit sejak 2008 lalu. Dilanjutkannya, pertemuan ini merupakan follow up pertemuan sebelumnya pada 10 November 2010 lalu di Hotel Mesra Samarinda. Saat itu, pihak perusahaan menjanjikan dua item.

Pertama, pihak perusahaan siap membangun kebun plasma untuk masyarakat seluas dua hektare per Kepala Keluarga (KK)-nya, dan menyanggupi menyisihkan sebagian dari kebun sawit untuk warga jika memang lahan tersebut kurang.

“Warga sudah muak dengan janji-janji pihak perusahaan yang ingin memberikan pembagian plasma sawit selama ini. Mereka janji memberikan lahan seluas dua hektar ketiap KK karena mengunakan lahan warga desa sejak pertama kali beroperasi. Namun nyatanya nihil,” kata Yoseph.

Ia menuding tidak ada itikad baik perusahaan dalam menyelesaian persoalan ini. Diungkapkannya, selama empat tahun terakhir, kedua belah sudah bertemu sebanyak empat kali. Namun tak kunjung ada kepastian.

“Tidak ada itikad baik dari perusahaan, padahal warga sudah merelakan lahannya untuk ditanami sawit milik mereka dan berharap mendapatkan pembagian plasma. Giliran warga menagih haknya, malah mereka seperti ini,” tutur Yoseph.

Sementara itu, Ghufron hanya bisa menampung aspirasi warga. Guhfron beralasan tidak dalam kedudukan mengambil keputusan. Semua aspirasi tersebut nantinya akan disampaikan ke bupati. Diketahui, ada 830 KK di dua desa itu yang berhak menerima pembagian plasma. Ke-830 KK tersebut tersebar di Desa Ritan Baru (328 KK) dan di Desa Tukung Ritan (502 KK), sehingga perusahaan wajib menyiapkan lahan seluar 560 hektare.(ale)

Kanal Sawit Hancurkan Rawa Gambut Tripa

http://puhaba.com/local-news/nagan-raya/1630-kanal-sawit-hancurkan-rawa-gambut-tripa.html

Puhaba-Nagan Raya | Kanal-kanal besar telah membelah hutan rawa. Pohon-pohon besar telah habis ditebang, yang tersisa hanyalah beberapa pohon berdiameter kecil saja. Alih fungsi lahan juga membuat warga kesulitan mendapatkan air bersih, kehilangan mata pencarian, dan terancam konflik antara satwa dengan warga. Satwa seperti orangutan, beruang, dan harimau, sudah mulai terganggu dihabitatnya dan mulai sering terlihat lari ke permukiman warga. Secara psikologis, warga merasa sangat cemas untuk keluar beraktifitas ditengah situasi seperti ini.

“Tingginya laju degradasi hutan rawa gambut di Rawa Tripa akibat pembukaan perkebunan sawit sudah pada tingkat mencemaskan," kata anggota Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) Teuku M Zulfikar. TKPRT merupakan koalisi sejumlah lembaga pemerhati lingkungan hidup di Provinsi Aceh, di antaranya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh.

Pemerintahan Aceh didesak oleh Walhi Aceh untuk segera mencabut izin perkebunan sawit yang diberikan kepada PT Kallista Alam di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) itu. Direktur Eksekutif Walhi Aceh TM Zulfikar di Banda Aceh, sebelumnya mengatakan, “Gubernur Aceh mengeluarkan izin usaha perkebunan budidaya kepada PT Kallista Alam untuk areal seluas 1.605 hektare di rawa gambut Tripa, Kabupaten Nagan Raya. Padahal, areal tersebut masuk dalam KEL. Ia mengatakan Walhi Aceh sudah menyurati gubernur terkait desakan tersebut. Upaya ini dilakukan untuk menyelamatkan wilayah hutan di KEL yang dilindungi tersebut. Menurut Zulfikar, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 tahun 2008 tentang rencana tata ruang nasional, wilayah KEL merupakan kawasan strategis nasional dengan fungsi lindung.

Geuchik (Kepala Desa) dari 21 Desa di Nagan Raya protes pembukaan lahan oleh PT Kalista Alam di Rawa Tripa. Menurut mereka, masyarakat di desa mereka telah menjadi korban pembukaan lahan hutan rawa gambut Tripa untuk perkebunan sawit di Kabupaten Nagan Raya, Aceh.

Ibduh, Geusyik Desa Sumber Bakti, mengungkapkan, “Lahan hutan yang kini dibuka untuk perkebunan sawit PT Kalista Alam seluas 1.605 hektar tersebut dahulu merupakan hutan rawa lebat dengan pohon-pohon besar. Namun sejak tahun 2009 lahan itu telah menjadi kebuh sawit. "Setelah pembukaan kanal-kanal sawit, ikan, madu, dan sumber protein yang biasa kami dapatkan di hutan Rawa Tripa kini sudah langka.”

Izin PT Kallista Alam tersebut kini sedang dalam proses persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh. Pengacara WALHI Aceh meminta diadakan sidang lapangan. Namun pengacara tergugat menolak hal itu dengan alasan bahwa objek perkara adalah masalah administrasi negara, tidak perlu ke lapangan. Hakim belum memutuskan apakah perlu sidang lapangan atau tidak. (AA)

Mandiri to lend Rp 189b to oil palm cooperatives

http://www.thejakartapost.com/news/2012/03/02/mandiri-lend-rp-189b-oil-palm-cooperatives.html  Mandiri to lend Rp 189b to oil palm cooperatives The Jakarta Post | Fri, 03/02/2012 9:01 AM A | A | A |  State-owned largest lender PT Bank Mandiri Tbk signed on Thursday deals to disburse loans to cooperatives of oil palm farmers, in a move to boost the amount of credit disbursed to small and medium enterprises (SMEs) this year.

Mandiri agreed to lend a total of Rp 189 billion (US$20.79 million) to four cooperatives fostered by the Sinar Mas Group, one of Indonesia’s major palm oil producers. The four cooperatives are: Kopsa Puyang ana, which will receive Rp 56.8 billion to work 1,024 hectares of land in West Kalimantan; Kopsa Mitra Bintang Moda, which has secured 59.49 billion to work 1,062 hectares of land in West Kalimantan; Kopsa Mitra Cipta Sejahtera with Rp 51.88 billion to work 936 hectares of land in West Kalimantan; and Kopsa Reantakam with Rp 21.08 billion to work 400 hectares in South Kalimantan.

A total of more than 1,700 farmers will be covered by the credits.

Mandiri’s commercial and business banking director, Sunarso, said the company has set interest rates at around 11 percent. The loans will mature in five years.

“However, the farmers will only bear 7 percent, while the remainder will be subsidized by the government. The 7 percent interest rates are also capitalized in total loans,” Sunarso said.

Mandiri included the loans to the four cooperatives in its scheme to provide credit for bio-energy development and plantation revitalization (KPEN-RP). With the national program, launched in 2007, Mandiri has committed to disburse Rp 11 trillion of the total national commitment, which includes other banks, of Rp 38.6 trillion.

However, as of March, Mandiri had only disbursed Rp 2.29 trillion. Sunarso said the availability of land for oil palm was one of several problems hampering Mandiri in its attempt to accelerate loan disbursements for plantations.

Sunarso said that the loans to the oil palm cooperatives were part of Mandiri’s plan to increase credit to SMEs this year. Mandiri, he said, disbursed Rp 30.2 trillion ($3.32 billion) in credit to SME’s from a total lending of around Rp 380 trillion last year. “We are targeting credit for SMEs to reach Rp 40 trillion this year and hope to have a portfolio of Rp 73 trillion of lending to SMEs in 2014,” Sunarso said on Wednesday.

The figure is in keeping with Mandiri’s annual increases in lending to SMEs, which rose by around 30 percent from 2005 to 2011. The bank said it had disbursed credit to more than 40,000 SMEs.

Sunarso said that Mandiri implemented healthy credit to SMEs with a non-performing loans (NPL) ratio of 2.46 percent last year. He added that Mandiri wanted to hold 10 percent to 12 percent of shares in the SME credit market. — JP/Raras Cahyafitri

Smart spends Rp 1.35t on new plantation

(Sinar Mas)
http://www.thejakartapost.com/news/2012/03/02/smart-spends-rp-135t-new-plantation.html Smart spends Rp 1.35t on new plantation Raras Cahyafitri, The Jakarta Post, Jakarta | Fri, 03/02/2012 8:59 AM A | A | A |

Publicly listed palm-based consumer company PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (Smart) is adding up to 30,000 hectares to its oil palm plantation holdings with a total investment of Rp 1.35 trillion (US$148 million).

Smart chief executive officer Susanto said that the expansion would include planting 10,000 hectares in West Kalimantan, 5,000 hectares in Central Kalimantan and 2,000 hectares in South Kalimantan.

“The remaining expansion will be in Sumatra,” Susanto said on Thursday.

He said that Smart had secured land for the new plantation areas, adding that the company was unlikely to acquire any more land in the near future.

According to Smart’s website, the company’s palm plantations have a total coverage area of approximately 138,100 hectares. However, as a parent company, Susanto said, Smart held 460,000 hectares of oil palm plantations.

Investment in the new plantations, Susanto said, would be about Rp 45 million per hectares.

“However, this is a cost-to-maturity investment, meaning that we invest from the start of planting until the plants bear fruit. We will finance 65 percent of the spending through bank loans and the remaining 35 percent from our equity,” Susanto said, adding that Bank Mandiri and BRI were among the lenders cooperating with his company.

Oil palms take approximately four years to bear fruit and have a productive age of 25 years.

Smart’s main businesses include cultivating and harvesting palm trees, processing fresh fruit bunches into crude palm oil (CPO) and palm kernels, and refining CPO into derivative products such as cooking oil, margarine and shortening.

Susanto said that the company expected its CPO production to grow by about 10 percent this year.

“We produced about 2 million metric tons of CPO last year, only about 7 percent of national production,” Susanto said, adding that national production would reach 25 million metric tons this year.

According to its website, Smart, which is related to the Sinar Mas Group, operates 15 mills, four kernel crushing plants and four refineries to process CPO.

Susanto said that the company had allocated $400 million to $500 million this year to increase the capacities of its refineries in Jakarta, Surabaya and South Kalimantan.

“In 2011, our processing capacity was about 1.35 million metric tons. This year, we want to double the capacity to 2.6 million tons,” he said.

The increased refineries’ capacities are expected to help the company process all of its CPO in the country. Currently, the company exports part of its CPO to India, China and Europe.

Knowing Malaysian Palm Oil Investors in Indonesia

https://www.palmoilmagazine.com/news/8504/knowing-malaysian-palm-oil-investors-in-indonesia   Main News | 21 January 2021 , 06:02 WIB ...