GREENPEACE, AROGANSI KOLONIAL | for everyone |
“KEBUN SAWIT BANGKRUT, SEORANG IBU BAKAR DIRI”.
Demikian judul berita harian Kompas, 13 November 2008. Keluarga Mashudi sempat menikmati manisnya kehidupan berkat penghasilan milyaran rupiah per tahun dari 130 hektare kebun sawit miliknya. Ketika harga buah sawit terjun bebas dari Rp.1500 menjadi hanya Rp.500 per kg, keluarga ini kontan tidak mempunyai penghasilan sama sekali. Ongkos produksi sudah lebih tinggi dari harga jual. Isteri Mashudi putus asa lalu bunuh diri.
Hancurnya harga minyak sawit, malapetaka bagi bangsa Indonesia.
Lebih dari 2 juta keluarga menggantungkan hidupnya pada kebun kelapa sawit miliknya. Harga minyak sawit yang melambung 2 tahun terakhir telah membuat kehidupan petani sawit sangat sejahtera.
2 juta keluarga lainnya mendapat nafkah bekerja di perusahaan perkebunan besar. Mereka turut menikmati berkah meningkatnya harga minyak sawit berupa bonus akhir tahun dan berbagai fasilitas kesejahteraan yang lebih baik.
Kemudian, masih ada jutaan keluarga yang mendapat penghasilan dari berbagai kegiatan penunjang usaha perkebunan kelapa sawit, yang bekerja di berbagai industri hilir, di sektor distribusi dan perdagangan terkait minyak kelapa sawit.
Ringkasnya, industri minyak sawit adalah sumber kehidupan bagi puluhan juta jiwa rakyat Indonesia.
Di sisi lain, negara menerima pemasukan puluhan trilyun rupiah dari pungutan ekspor minyak sawit dan berbagai pajak yang dipungut dari sektor perkebunan kelapa sawit serta industri hilirnya.
Merosotnya harga minyak sawit di pasar dunia telah memiskinkan jutaan keluarga Indonesia. Harga yang tidak lagi cukup untuk menutupi biaya produksi telah mengakibatkan kerugian (negative income) bagi petani kelapa sawit maupun perkebunan besar. Dikuatirkan industri perbankanpun akan terkena dampaknya. Petani dan perkebunan besar tidak mampu lagi memenuhi kewajibannya membayar bunga pinjaman, apalagi cicilan pokok.
Sadar atau tidak, seluruh rakyat Indonesiapun terkena dampaknya karena negara kehilangan penerimaan puluhan trilyun rupiah untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum.
Perkebunan kelapa sawit dan industri hilirnya sangatlah vital bagi kehidupan bangsa Indonesia. Penurunan harga CPO adalah malapetaka bagi jutaan rakyat Indonesia.
Minyak Sawit sahabat rakyat Indonesia, dimusuhi LSM Barat.
Minyak sawit yang tidak dapat tumbuh di belahan bumi Utara adalah momok yang menakutkan bagi minyak kedelai dan minyak sayur lainnya yang menjadi produk andalan petani Eropa dan Amerika. Banyak alasan mengapa minyak sawit lebih layak menggantikan minyak kedelai.
a. Tanaman kedelai sangat tidak bersahabat dengan lingkungan karena membutuhkan lahan 10 kali luasan yang dibutuhkan kelapa sawit untuk memproduksi jumlah minyak yang sama.
b. Daya serap karbonnya sangat rendah, jauh dibawah kelapa sawit yang daya serap karbonnya setara dengan hutan sekunder.
c. Tanah untuk pertanian kedelai, yang adalah tanaman musiman, berulang ulang harus diolah setiap tahunnya yang mengakibatkan pencemaran terlepasnya karbon dioksida dari tanah ke atmosfir sementara kelapa sawit baru ditanam ulang setiap 25 tahun.
d. Biaya produksi minyak sawit yang lebih rendah mengakibatkan minyak kedelai tidak mampu bersaing.
e. Kandungan Trans Fatty Acid (TFA) yang berbahaya bagi kesehatan yang ditemukan di minyak kedelai telah mendorong konsumen beralih ke minyak sawit yang bebas TFA.
Tidak dapat dihindari, dominasi minyak kedelai akhirnya tergeser oleh minyak sawit. Pada tahun 2004 penjualan minyak sawit melampaui volume minyak kedelai.
Akibatnya, tekanan terhadap minyak sawit Indonesia semakin gencar dan keras dilakukan oleh LSM Barat. Kampanye anti sawit dengan jargon cinta orang utan, penyelamatan paru paru dunia, pemanasan global dan perubahan iklim menjadi isu strategis untuk menghambat minyak sawit di pasar dunia. Kekuatan finansil di belakang LSM Eropa berhasil membentuk opini bahwa minyak sawit adalah musuh lingkungan dan karena itu dilarang untuk digunakan sebagai bahan bakar nabati (biofuel), bahkan harus dilarang masuk ke pasar Eropa.
Tak pelak lagi, harga CPO anjlok jauh dibawah harga minyak kedelai, mengakibatkan penderitaan bagi jutaan petani sawit dan keluarganya, serta tewasnya Nurjani isteri Mashudi, bunuh diri karena putus asa kebahagiaanya dirampas oleh LSM Eropa.
Menjadi bangsa yang bermartabat.
“Tidak ada satu bangsa di dunia ini yang layak memerintah bangsa lain,” kata bung Karno saat memperingati Hari Kebangkitan Nasional ke-50. Tidak ada bangsa yang dapat memerintah bangsa lain sebaik bangsa itu sendiri.
LSM Eropa, seperti Greenpeace dan LSM lainnya, dengan kekuatan ekonomi raksasa di belakangnya memposisikan diri sebagai polisi dunia yang menentukan hitam putihnya suatu negara. Mereka menentukan aturan yang harus dipatuhi oleh dunia, terutama negara berkembang. Mereka bahkan merasa dirinya adalah penguasa kolonial yang berhak untuk berbuat apapun di negeri orang. Dengan kekuatan uangnya, berulang kali Greenpeace dengan bebas menghadang dan mencorang-coreng kapal pengangkut CPO di pelabuhan negara berdaulat, Indonesia. Luar biasa.
Cukup sudah pelecehan dan penghinaan ini. LSM nasional harus mampu mengawal sendiri industri bangsanya berjalan di koridor yang aman, tidak merusak lingkungan dan habitatnya.
Indonesia adalah bangsa yang berdaulat, yang harus menjaga martabatnya dalam pergaulan dunia. Untuk itu, undang undang dan peraturan telah dibuat dan ditetapkan berkesesuaian dengan norma norma yang diterima masyarakat internasional. LSM nasional harus mampu mengusulkan penyesuaian undang undang dan peraturan terkait dengan perkembangan dunia yang berubah dengan cepat. Lebih dari itu, LSM nasional harus pula mampu mengawasi pemerintah dalam penegakan hukum secara tegas.
Mengawal dan mendidik dunia usaha bekerja sesuai norma dan prinsip internasional, membantu pemerintah untuk menyempurnakan dan menjamin ditegakkannya peraturan dan hukum yang berlaku, adalah dua peranan penting yang harus dipikul oleh LSM nasional dengan penuh dedikasi.
Namun, untuk dapat menjalankan peranannya secara mandiri, sejajar dengan LSM luar negeri, negara dan masyarakat Indonesia haruslah bertanggung jawab mendukung pembiayaan kegiatan LSM nasional. Ketergantungan banyak LSM nasional kepada dana dari LSM dan instansi lain di luar negeri haruslah dihentikan. Hanya dengan demikianlah LSM Indonesia bisa berdiri tegak, tidak lagi membungkuk dihadapan LSM dunia.
Siapa mengotori, dia harus membersihkan.
Pola pikir yang beranggapan bahwa fungsi hutan Indonesia adalah untuk menyerap pencemaran karbon dunia adalah pola pikir yang sesat.
Adalah fakta bahwa 80% pencemaran karbon dunia yang menciptakan gas rumah kaca penyebab pemanasan global, berasal dari alat transportasi dan pabrik pabrik di negara negara Eropa dan Amerika Serikat. Hutan alam di dua benua itu, yang seharusnya menyerap gas karbon yang mereka hasilkan, telah mereka tebang habis. Mereka megotori udara dan tidak punya hutan untuk membersihkannya. Karena itu negara negara adi kuasa itu mendatangi negara negara pemilik hutan tropis dan mendiktenya untuk menghisap setiap kotoran gas karbon yang mereka buang.
Kalau tidak mampu membersihkan, jangan mengotori. Mereka harus menghentikan pencemaran yang mereka lakukan. Janganlah berlagak seperti seorang tuan menyuruh hambanya membersihkan kotoran tuannya. Zaman perbudakan sudah berlalu.
Hutan Indonesia adalah milik bangsa Indonesia dan digunakan untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Prasyaratnya adalah, adanya perencanaan tata ruang dan wilayah yang baik.
Sangatlah tidak adil bila LSM Eropa menghalanginya, terlebih bila alasannya untuk membersihkan kotoran mereka.
Adalah adil bila dunia membiarkan Indonesia memanfaatkan lahannya secara bertanggung jawab, demi kesejahteraan rakyatnya, termasuk untuk perkebunan kelapa sawit.
Penulis: Maruli Gultom
Pancoran, 24 November 2008
(Tulisan di atas adalah naskah asli dari artikel berjudul “Green Peace, Arogansi Kolonial” yang dimuat di harian SUARA PEMBARUAN edisi 5 Desember 2008)
No comments:
Post a Comment