(Arta Graha)
STOP KONVERSI HUTAN UNTUK PERKEBUNAN BESAR (SAWIT)
Oleh : Rudy Handoko | 18-Sep-2008, 21:56:47 WIB
Lomba Tulis YPHL
Rudy Handoko Pontianak Kalimantan Barat
Lahan hutan yang telah mendapatkan persetujuan untuk dikonversi menjadi perkebunan besar semakin luas, dan ini mendapat persetujuan negara (pemerintah). Luar biasa memang pemerintah negara ini, di saat negara lain berupaya mempertahankan keaslian, kelestarian dan menjaga hijaunya hutan dan lingkungan lestari mereka, tapi negara ini malah menyiapkan perang bagi aktivis dan elemen masyarakat yang mereka anggap menjalankan ’propaganda’ anti sawit. Lihat saja, statemen dari Direktur Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, Ir Achmad Manggabarani seperti yang pernah dilansir oleh Pontianak Post. Bahwa Pemerintah Indonesia dan Malaysia sepakat mengumpulkan dana untuk melawan semua kampanye negatif terhadap ekspansi perkebunan kelapa sawit di dua negara tersebut. Seakan-akan negara ini perlu mengambil tindakan layaknya menghadapi kaum separatis saja yang bernama ’Gerakan Anti-Sawit,” sehingga harus dihentikan.
Ditambahkan pula seperti yang disampaikan pejabat publik pemerintahan yakni Sekda Ketapang yang menuding bahwa masyarakat yang menolak sawit adalah provokator. Argumennya tetap sama, bahwa sawit adalah komoditas ekspor yang menggiurkan, menghasilkan devisa dan bakal mensejahterakan rakyat. Lebih lanjut aparatur Departemen Pertanian ini menyatakan bahwa ”kita ini negara yang dianugerahi, Negara lain tidak bisa mengembangkan sawit karena tanahnya tidak cocok. Kita memiliki potensi untuk itu. Jadi sangat rugi, kalau potensi itu tidak bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin,”.
Entah pembenaran yang dipaksakan itu datang darimana, yang jelas Pak Dirjen pura-pura tidak tahu dengan adanya efek negatif nyata akibat perkebunan sawit yang semakin dipaksakan ekspansinya tersebut, rakyat semakin tertindas, tergusur dari hak-hak kepemilikan mereka, dan lingkungan semakin terdegradasi. Pertanyaannya, siapa yang sejahtera, dan untuk siap yang menikmati hasil tersebut, rakyatkah atau pemilik modal (baca: kapitalis) yang di ’backing’ negara. Bukankah hanya untuk pemilik modal kapitalis dan penguasa yang memberi izin dan mendapatkan nilai kontrak yang dapat untung. Sedangkan rakyat jadi kuli dan terjajah di tanah sendiri, belum lagi dampak negatifnya seperti bencana dan sebagainya.
Kemudian tak cukup itu, Dirjen menyatakan lagi agar para kelompok-kelompok yang menolak kelapa sawit bisa lebih arif. Dan, dengan bahasa ala Rezim, Dirjen menegaskan bahwa “Harus dikedepankan kepentingan nasional. Persoalan lingkungan yang selama ini dikampanyekan, kita sudah terapkan sistem terpadu yang komprehensif,”. Cukup kuatkah argumen itu?
Pertanyaannya, sistem terpadu seperti apa yang diterapkan dan terbukti mampu mengeliminir laju perusakan hutan dan semakin tidak seimbangnya daya dukung lingkungan akibat sawitisasi. Pernyataan Pak Dirjen yang mudah-mudahan terhormat hanya menampilkan sisi keuntungannya saja, bahwa kelapa sawit menjadi komoditas ekspor nomor dua setelah tekstil di luar minyak dan gas.
Bahwa hingga tahun 2006, nilai ekspor kelapa sawit mencapai USD 4,3 miliar dengan total produksi sebanyak 1,5 juta ton. Sehingga kelapa sawit dianggap menjadi andalan penghasil devisa bagi negara. Terang saja akan menggiurkan, tapi coba kaji efek negatifnya.
Namun itulah negara yang sudah memang setali tiga uang dengan kepentingan pemilik modal. Padahal pada sisi yang lain, kehidupan masyarakat yang bertopang pada sektor pertanian dan perkebunan dengan berbagai keanekaragaman tanaman, cukup besar dan potensial untuk dikembangkan. Karena perkebunan rakyat seperti karet, kopi dan lada merupakan salah satu tulang punggung terbesar perekonomian rakyat yang lebih menjanjikan, untuk penjualan hasil produksipun bisa kompetitif karena tidak hanya satu arah ke pabrik dan monopolistik seperti sawit. Persoalan kepemilikan pun langsung dimiliki oleh masyarakat, bukan dikuasai pemilik modal.
Jika perkebunan sawit yang terus dikembangkan dengan mengkonversi hutan yang ada, maka belajarlah pada beberapa kasus di daerah-daerah yang telah ada, memang secara jangka pendek berdampak baik bagi pertumbuhan perekonomian, namun berdampak negatif dalam jangka panjang, baik bagi pengembangan perkebunan lain, pertanian juga bagi kelestarian lingkungan karena akan berdampak merusak lingkungan dan hutan. Kerugiannya bukan saja secara ekonomi, tapi kehancuran ekosistem, keanekaragaman hayati, penghancuran kultur sosial budaya masyarakat setempat, bencana alam banjir, erosi, longsor dan sebagainya karena keseimbangan ekosistem semakin tidak menentu.
Lihatlah bencana banjir yang terjadi di beberapa daerah seperti beberapa Kabupaten di Sumatera Utara dan Riau, juga di beberapa Kabupaten di Kalimantan Barat, jika musim penghujan tiba maka akan kebanjiran, sedangkan jika musim kemarau berkepanjangan maka akan kekeringan, bukankah hal ini terjadi akibat daya dukung hutan yang melemah sehingga tak mampu menjadi tanggul hidup yang menyerap dan menahan air, sebab daerah resapan air berkurang karena telah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan besar sawit.
Padahal fenomena perkebunan kelapa sawit, bukan rahasia umum lagi juga merupakan kedok penguasaan lahan dan perampokan hutan atas nama perkebunan. Sistem pengelolaan hutan yang diserahkan ke swasta tidak membuat masyarakat sejahtera, masyarakat pinggiran hutan tetap saja miskin, malah terus dikadali, malah menimbulkan konflik. Toh perkebunannya juga tidak membawa hasil yang bisa diharapkan untuk mensejahterakan masyarakat. Penguasa dan pengusaha sangat pintar dalam mengibuli masyarakat yang relatif polos dengan janji dan berbagai argumen bahwa jika hutan ditebang dan jika hutan dijadikan perkebunan maka akan mensejahterakan.
Contoh nyata seperti yang terjadi daerah saya, yakni di Kabupaten Kayong Utara, yang baru-baru ini terjadi permasalahan antara masyarakat Desa Matan Jaya Kecamatan Simpang Hilir Kabupaten Kayong Utara dengan pihak PT. Cipta Usaha Sejati (PT. CUS), yakni tentang indikasi adanya kesalahan prosedur dalam penggunaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit oleh PT. CUS terhadap lahan, tanah, perkebunan dan ladang milik masyarakat setempat.
Masyarakat desa tersebut merisaukan dan sempat melaporkan ke parlemen daearh setempat mengenai pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit oleh PT. CUS yang menimbulkan dampak negatif yang merugikan masyarakat setempat. Masyarakat merasa dirugikan atas pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit tersebut, karena lahan, tanah, perkebunan, dan areal ladang hingga pemukiman milik masyarakat yang digarap tanpa kompromi oleh pihak perusahaan, seperti di daerah yang paling dominan untuk lahan garapan yang terletak di areal Bukit Mulung, Mungguk Jereng serta di areal peladangan Payak Air Putih yang berada di Dusun Air Manis Desa Matan Jaya Kecamatan Simpang Hilir Kabupaten Kayong Utara, dan masih banyak lokasi lain yang disampaikan masyarakat setempat.
Modusnya sederhana saja, sepanjang yang dapat terlihat dan dipantau, banyak daerah-daerah yang masih terbakar, dengan hipotesa adanya indikasi kesengajaan dari pihak perusahaan untuk menghilangkan bukti bahwa areal tersebut adalah milik masyarakat. Sedangkan mengenai batas area masyarakat, ganti rugi dan perkebunan plasma yang dijanjikan oleh pihak perusahaan belum ada kejelasan. Malah dalam pertemuan yang pernah difasilitasi oleh parlemen setempat, masyarakat menyatakan bahwa pihak perkebunan tidak menghargai eksistensi perangkat desa diwilayahnya masing-masing, hanya karena/dengan dalih pihak perusahaan sudah mendapatkan rekomendasi dari Bupati atau pejabat yang lebih tinggi, terhadap pembukaan lahan tersebut.
Kemudian masyarakat menyatakan kurang adanya sisi positif yang diterima masyarakat akan keberadaan perusahaan pada wilayahnya, dengan tingkat perekonomian masyarakat yang rendah, tidak seperti yang mereka harapkan, malah seakan masyarakat tidak dapat berperan serta atau dengan kata lain masyarakat hanya sebagai penonton dan tidak mendapatkan apa-apa. (Sumber: Catatan Pribadi yang di komparasikan dengan hasil Kunjungan Kerja DPRD KKU).
Namun lagi-lagi penyelesaian tak kunjung datang, pemerintah dan parlemen daerah setempat juga cenderung abai dan membiarkan, malah mendiamkan persoalan ini agar dengan sendirinya akan hilang. Jika begini adanya, maka tampak sekali bahwa hak-hak warga ditindas dan dimarjinalkan. Pemerintah yang berkewajiban untuk membela hak-hak warga apalagi jika terkait dengan status fungsi lahan dan hutan seharusnya mengambil tindakan yang pro rakyat dan pro lingkungan, bukan malah mendiamkan atau “pro pihak perusahaan-pemodal.”Sekarang tidak semua masyarakat bisa dibodoh-bodohi dengan kalimat bahwa sawit menyejahterakan.
Mestinya negara sadar untuk tidak memaksakan diri mendorong investor sawit untuk merusak hutan, kehidupan sosial-budaya, merampas hak ulayat, merampas sumber penghasilan mereka melalui kebun dan hasil hutan serta pertanian, dan menindas rakyat atas nama kesejahteraan ala sawit. Pemerintah saya rasa bukannya tuli, tapi telah kehilangan nurani dan suara hati, bahwa yang harus disejahterakan adalah rakyatnya, bukan mementingkan kepentingan pribadi dan pemilik modal. Begitu habis masa jaya sawit yang cuma 10-15 tahun, siapa yang menanggung kerugian akibat tanaman monokultur ini yang bisa mencapai puluhan tahun.
Siapa yang menanggung beban derita akibat bencana banjir, kekeringan dan hilangnya mata pencaharian serta rusaknya tatanan sosial-budaya. Kemudian, seharusnya para aparat pemerintahan baik mulai dari dinas, DPRD sampai kepada camat dan bahkan kepala desa, janganlah buta mata-buta telinga, atau malah mengatas-namakan masyarakat desa menyatakan persetujuan, mengundang investor sawit, masuk tanpa pernah dengan cerdas memahami efek negatifnya. Apalagi jika kebijakan diambil tanpa melibatkan masyarakat.
Jangan menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki, seakan-akan rakyat itu tak mengerti apa-apa. Sungguh luar biasa kebijakan negara ini, sudah seperti begitu tunduk kepada kekuatan modal dengan kebijakan melepaskan segala pengelolaan sumber daya alam termasuk hutan untuk perkebunan besar seperti sawit atas nama kesejahteraan. Para pengambil kebijakan harusnya menyadari, bahwa dalam tiap kebijakan yang dibuat hendaknya jangan sekadar dilihat dari satu perspektif saja yakni perspektif nilai ekonomisnya, tapi harusnya mempertimbangkan keseimbangan ekologis.
Stop Ekspansi dan Konversi Hutan untuk Perkebunan Besar! Ini harusnya menjadi mindset berpikir para pengambil kebijakan jika mereka menyadari bahaya ekspansi dan konversi skala besar hutan untuk perkebunan. Jika hal ini tidak dilaksanakan maka, boleh jadi luas areal hutan hijau dari hari ke hari, bulan ke bulan dan tahun ke tahun akan semakin berkurang drastis, yang tentunya semakin mengurangi daya dukung lingkungan, sehingga kitapun akan semakin sering melihat terjadinya bencana baik bencana alam, dan bencana sosial berupa perubahan sosial kultur yang negatif, konflik sosial dan sebagainya.
Stop Ekspansi dan Konversi Hutan untuk Perkebunan Besar! Ini juga harus terus dikampanyekan secara massif baik oleh elemen masyarakat sipil dan kelompok penekan (pressure group), sehingga terbangun gerakan yang terintegrasi dan mampu mempengaruhi opini dan kebijakan, dengan harapan adanya perubahan kebijakan yang pro penghentian konversi hutan tersebut baik di tingkat nasional maupun di daerah-daerah. Dengan adanya kesefahaman bersama bahwa hutan harus dijaga agar tidak terlalu mudah mengubah fungsi hutan menjadi perkebunan besar, maka mudah-mudahan laju deforestisasi dapat diminimalisir, sehingga kita dapat mewariskan kepada generasi berikutnya, hutan yang masih hijau dengan segala keaneka-ragaman hayati di dalamnya. Semoga!
No comments:
Post a Comment